Dalam kegundahan menyaksikan
menjamurnya aneka Hypermarket, supermarket dan khususnya minimarket,
akhirnya saya menuliskan pesan provokatif di fesbuk Ilham Arief
Sirajuddin. Tentu saja, ia adalah walikota Makassar dan juga ketua
Partai Demokrat Sulawesi Selatan. Tapi, pesan saya ini tertuju kepada
dirinya selaku walikota Makassar. Begini saya bilang,
Walikota Makassar gagal melindungi rakyatnya saat ia membiarkan
gerai-gerai ALFA MART dan INDO MARET semakin merajalela di tempat di
mana banyak warganya melindungi diri dari desakan ekonomi melalui buka
kios-kios rumahan. Benar-benar tak punya rasa kepedulian!
Selama seminggu tak satupun merespon pesan saya itu, termasuk si empunya
dinding, Ilham Arief Sirjuddin. Setelah tujuh hari kemudian barulah
seorang memberi respon. Ia seorang pengajar di Fakultas Ekonomi Unhas.
Begini responnya:
Bung Ishak, Mari melihatnya lebih komprehensif. Pertama, dari sisi
pemilik, gerai Alfamart dan Indo Maret itu dimiliki oleh
pengusaha-pengusaha lokal dalam bentuk franchise. Bahkan mereka lebih
diuntungkan oleh jaminan disribusi barang. kedua, dari sisi pekerja atau
karyawan, kehadiran gerai ini paling tidak menampung 5-10 tenaga kerja
per-unit. Artinya, memberi manfaat dalam penciptaan lapangan kerja.
Ketiga dari sisi konsumen, masih perlu dibuktikan apakah gerai ini
berkompetisi dangan pasar tradisional atau justru gerai ini menjadi
kompetitor dari pasar moderen lainnya seperti Carrefour atau Matahari.
Tetapi saya setuju bahwa perlu ada aturan atas keberadaan pasar modern
dan kebijakan untuk pengembangan pasar tradisional.
Iming-iming daya serap tenaga kerja dan harga murah
Membaca responnya, saya menjadi senang. Lalu segera saya membalas respon
itu seperti ini: Saya sudah melihatnya lebih komprehensif, Bung.
Memang, pengusaha lokal bisa turut serta dalam kerjasama model franchise
itu, dan modal awalnya paling rendah adalah 300 juta. Soal mereka akan
diuntungkan oleh urusan distribusi barang, jelas saja, dengan modal 300
juta itu mereka layak mendapatkannya.
Itu tentu strategi dagang, misalnya Alfamart (PT Sumber Alfaria Trijaya
Tbk) yang memiliki Distribution Center sendiri (DC) yang memungkinkan
[melalui MOU dengan produsen] menampung seluruh barang dagangan untuk
menjamin distribusi berjalan lancar dari DC ke toko. Namun, dengan model
seperti ini, model distribusi barang konvensional yang berlangsung
sekarang akan terganggu. Misalnya, rumah warga (pelaku ekonomi
mikro/kecil) dengan toko kelontongannya atau kita sebut disini
gadde-gadde memperoleh barang dengan tiga cara.
Pertama, dari agen melalui sales yang berkendaraan motor, Kedua, membeli
langsung ke toko grosir milik pedagang lokal atau etnis Tionghoa. Dan
ketiga, beberapa produk seperti makanan jadi, kue-kue [jalangkote],
kripik, manisan buah, nasi kuning dan sebagainya (yang tentu saja tidak
diterima di Alfamart maupun Indomaret karena diproduksi di rumah oleh
ibu-ibu rumah tangga. Mereka menitipkan jualannya dengan sistem
konsinyasi, yang laku saja dibayar. Agen sendiri memperoleh barangnya
dari pabrik dan mereka mengantarnya kepada pengecer dengan mobil kampas.
Adapun mengenai statemen anda bahwa satu toko Alfamart bisa membuka 5 -
10 tenaga kerja, maka anda tentu bisa bayangkan juga sudah berapa banyak
orang di Makassar ini yang menciptakan sendiri lapangan kerjanya tanpa
membebani pemerintah. Gadde-gadde yang jumlahnya ratusan ribu ini
merupakan penopang hidup keluarga-keluarga kecil di kota Makassar, dan
bila ini merugi dan akhirnya tutup maka keresahan dan kerawanan sosial
akan terjadi.
Seperti Walmart di Amerika Serikat yang mottonya Always Low Price,
Alfamart juga demikian, belanja puas, Harga Pas. Harga murah memang
menjadi target untuk menyedot lebih banyak pelanggan. Tapi, hukum
ekonomi meminimalkan pengeluaran dengan keuntungan sebesar-besarnya
tentu berlaku. Harga rendah yang ditawarkan di satu sisi selalu menuntut
pengetatan di sisi lain, misalnya saja gaji pegawai yang rendah di
tengah jam kerja yang panjang, belum lagi pegawai yang beresiko
mengganti barang yang hilang dan seterusnya dan seterusnya.
Dan kalau anda bilang, minimarket tidak berkompetisi dengan pasar
‘tradisional’ (saya lebih suka menyebutnya pasar lokal karena menyebut
kata tradisional saja sudah menunjukkan betapa rujukan modernisme seolah
mendarah daging dalam pikiran ini) tetapi berkompetisi dengan
supermarket dan hypermarket maka saya justru menyebutnya bahwa ketiga
level market ini (mini: Alfamart dan Indomaret; super: Giant dan
Alfamidi; Hyper: Carrefour dan Diamond [kini Lotte]) adalah sedang
bersatu padu menghancurkan kekuatan ekonomi kecil dan mikro di Makassar.
Padahal sektor ekonomi ini menjadi katup pengaman bagi warga (khususnya
berpendapatan rendah) kalau-kalau pekerjaan utama mereka terhenti,
semisal pemecatan atau bangkrut.
Memang, ekspansi ritel bermodal besar ini skalanya di Makassar ini belum
mengkhawatirkan, tetapi belajar dari sejarah di tempat lain seperti
WALMART di Amerika yang telah meluluhlantakkan home industry, toko-toko
kelontong, dan mengakuisisi banyak minimarket di sana membuatnya menjadi
gurita dan memonopoli bisnis ini. Contoh yang dekat di Tangerang yang
mana Alfamart juga sudah menggurita dengan ratusan gerainya dan membuat
walikotanya was-was.
Melihat dari sudut bukan-konsumen tapi Ekonomi Politik
Namun, dosen ekonomi Unhas ini menanggapi pemikiran saya dengan
mengangkat pendapatnya dari sudut pandang konsumen. Baginya, dari sisi
ekonomi, pelaku usaha di bidang distributor atau pedagang yang lebih
banyak itu lebih disukai karena mendorong kompetisi diantara mereka.
Untuk menjual dengan marjin yang lebih rendah sehingga harga menjadi
lebih rendah juga yang secara agregat menguntungkan konsumen. Maka
menjamurnya pasar moderen besar sampai yang gerai dari sisi konsumen itu
menguntungkan. Tentu menjadi soal bila melihatnya dari aspek
kepentingan pedagang skala kecil. Bung Ishak menyebutnya pemilik
gadde-gadde atau pedagang [di rumah dan] pasar lokal.
Hanya saja untuk konteks Makassar, lanjut kawan ini, ia tidak terlalu
khawatir akan dampak kompetisi toko atau gerai moderen ini, sebab
tradisi Makassar adalah tradisi saudagar yang sudah menjadi saudagar
global sejak abad ke-16. Sehingga saya menduga tidak mudah bagi toko
retail modern menguasai perdagangan di Makassar sebagaimana di Tangerang
atau kota lainya. Sebab ada tradisi saudgar yang kuat sehingga memiliki
kemampuan berkonpetisi dan bertahan hidup.
Kawan ini justru mengkwatirkan pada sisi produksi, kemampaun masyarakat
Makassar untuk produksi atau meningkatkan nilai tambah suatu barang
masih perlu upaya yg optimal. Baginya, kita tidak bisa mengandalkan
kemampuan menjual barang. Ia menganjurkan kepada pemerintah atau pihak
swasta untuk lebih membenahi sektor produksi baik yang berbasis industri
besar ataupun industri rumah tangga.
Atas responnya itu, sayapun memberi tanggapan. Dalam hal bisnis, memang
konsumen diperebutkan. Siapa kuat dia yang memanen konsumen. Urusan kuat
dan tidak kuat itulah bermain ragam elemen kuasa, seperti modal
finansial, modal politik, dan modal sosial. Bila anda percaya bahwa
saudagar Makassar punya tradisi panjang dan dengan model persaingan
apapun ia bisa bertahan, maka itu tentu berlaku pada level besar dan
meso, namun rentan pada level kecil dan mikro.
Masalahnya kemudian, persaingan bisnis rupanya bukan hanya persaingan
memperebutkan konsumen dengan mekanisme pasar dengan hukum permintaan
dan penawaran saja, ia melibatkan unsur lain semisal politik atau
ekonomi politik untuk merecoki mekanisme ini. Watak pengusaha ‘minimize
cost maximize utilities’ sudah berurat akar pada strategi dan perilaku
dagang mereka. Dalam konteks inilah saya memandangnya, saya tidak yakin
dan nyaris tak percaya bila perseruan bisnis di level raksasa kemudian
bisa menjaga yang kecil dan mikro di pasar maupun di rumah-rumah warga.
Ingat, selain kita semua adalah konsumen, banyak dari kita adalah juga
pelaku usaha.
Tentu butuh penelitian lebih lanjut untuk membuktikan kedua asumsi ini.
Perdebatan mengenai ekspansi mini, super, dan hypermarket yang akan
mengganggu eksistensi ekonomi rakyat yang selama ini ada atau sebaliknya
juga terjadi di beberapa institusi formal, seperti di lembaga
legislatif dan KADIN. Kedua pendapat ini membutuhkan data yang akurat
untuk melahirkan satu paket kebijakan yang berpihak pada warga dan bukan
hanya pada pengusaha. Kita tak bisa berhenti pada level asumsi belaka.
Untuk itu, sebaiknya pemerintah segera melakukan satu riset mendalam
sebelum kerawanan sosial yang dikhawatirkan ini benar-benar menjadi
nyata.
Dikutip dari Facebook Ishak Salim
http://www.facebook.com/notes/ishak-salim/ancaman-gurita-minimarket/10150226228861867
Akses : Rabu, 05-09-2012