SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Rabu, 08 Juli 2009

Fasilitas Jaksa di Balik Kasus Prita

Jaksa dan Polisi Disebut Dapat Fasilitas Gratis di RS Omni ; Senin, Kejagung Akan Periksa Kajati Banten dan Kajari Tangerang ; Demo Mendukung Prita Berlangsung di Makassar ; Akademisi: Kasus Prita Kekang Kebebasan Berekspresi
---------------------------------------------------------
Sabtu, 6 Juni 2009

Jakarta, Tribun - Kejaksaan Agung (Kejagung) RI akan memeriksa semua pejabat struktural di Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten terkait kasus penahanan Prita Mulyasari.

Pemeriksaan dilakukan menyusul beredarnya kabar yang menyebutkan, sejumlah pejabat kejaksaan dan pejabat kepolisian mendapatkan fasilitas kesehatan gratis di Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, Tangerang.

"Kita sudah mendalami informasi itu. Surat perintah pemeriksaan sudah saya buat dan mereka akan diperiksa pada hari Senin (8/6). Semuanya kita periksa, termasuk kajari (Tangerang) dan kajatinya (Banten)," kata Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejagung Hamzah Tadja di kantornya, Jakarta Selatan, Jumat (5/6).

RS Omni adalah pihak yang berperkara dengan Prita dalam kasus pencemaran nama baik dan tuduhan pelanggaran Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UUITE) sehingga ibu dua anak yang mengeluhkan pelayanan RS Omni melalui emal itu sempat dipenjara.
Sementara itu kecaman terhadap sikap jaksa yang sempat menahan Prita dan menyeretnya ke meja hijau terus mengalir, termasuk di Makassar.

Puluhan aktivis NGO dan jurnalis di Makassar yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sulawesi Selatan untuk Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Pers berunjuk rasa di depan Monumen Mandala, Jl Jenderal Sudirman, Makassar, kemarin siang.

Aksi tersebut menuntut majelis hakim yang menyidangkan Prita Mulyasari, Upi Asmaradhana, dan para terdakwa yang dijerat tuduhan pencemaran nama baik karena membuat pengaduan dibebaskan atas nama keadilan.

Upi adalah jurnalis yang juga diajukan ke pengadilan dengan tuduhan pencemaran nama baik oleh mantan Kapolda Sulselbar, Irjen Polisi Sisno Adiwinoto.

Haram

Menurut Hamzah, siapapun pejabat kejaksaan apalagi, kajari diharamkan mendapatkan fasilitas dari mereka yang terlibat dalam kasus.

"Saya akan perintahkan ke tim pemeriksa untuk mempertanyakan semua itu. Apa betul ada informasi itu. Pada dasarnya tidak boleh," jelas mantan Kajati Sulselbar ini.

Bila ada jaksa yang terbukti terlibat, maka sanksinya mulai dari teguran tertulis hingga pemecatan. Menurutnya, kejagung akan memeriksa kasus tersebut secara profesional.

Kasus ini bermula saat Prita memeriksakan kesehatannya di RS Omni Internasional, Agustus tahun lalu. Warga Tangerang ini mengeluhkan pelayanan yang diberikan oleh RS Omni Internasional dan juga dokter yang merawatnya melalui surat elektronik kepada sejumlah rekannya.

RS Omni Internasional kemudian merasa nama baiknya tercemar lantaran surat Prita tersebar di banyak milis. Pihak RS Omni kemudian menyomasi Prita dan mengadukannya ke polisi hingga kemudian ditahan sejak 13 Mei lalu.

Dia baru dibebaskan setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama sejumlah organisasi lembaga swadaya masyarakat (LSM) melakukan tekanan ke pemerintah.
Tekanan juga dilakukan oleh kalangan blogger dan facebooker di dunia maya sehingga menimbulkan gerakan bersama melawan tindakan kesewenang-wenangan tersebut.

Kuasa Hukum RS Omni Internasional, Risma Situmorang mengatakan pihaknya keberatan dengan isi e-mail Prita. "Kami keberatan karena di e-mail ada istilah 'penipuan' RS Omni Internasional Alam Sutera," kata Risma.

Tiga calon presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jusuf Kalla, dan Megawati Soekarnoputri pun berkomentar soal kasus Prita. Bahkan, Megawati dan rombongan langsung membesuk Prita di penjara.

UU Belanda

Unjuk rasa yang diikuti kurang lebih 50-an aktivis NGO dan jurnalis itu juga mendesak pencabutan pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pencemaran Nama Baik dengan ancaman hukuman 1,4 tahun penjara dan pasal 311 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik Secara Tertulis dengan ancaman empat tahun penjara.

Sebab dalam sejarahnya, pasal 310 dan 311 dalam KUHP itu diadopsi dari UU Penjajah Belanda yang mengadopsi dari UU Perancis saat masih menjajah Belanda.

"Kenapa Indonesia yang sudah merdeka lebih setengah abad itu masih menerapkan UU yang memberangus orang kritis. Karena itu kami mendesak Pasal 310 dan 311 KUHP maupun Pasal 27 Ayat 3 Undang-undang (UU) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang ancaman hukumannya enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar itu dicabut," ujar Rahmat Zena, penanggung jawab aksi tersebut.

Menurut Zena, baik kasus yang dialami Prita, Upi Asmaradhana, Khoe Seng Seng, dan Kwee Meng Loan yang sama-sama dijerat Pasal 310 dan 311 yang saat ini diproses hukum karena tuduhan pencemaran nama baik, merupakan pelanggaran atas hak-hak kebebasan informasi dan hak untuk menyatakan pendapat.

Kedua hak tersebut merupakan hak asasi paling mendasar yang seharusnya dilindungi oleh konstitusi, UU HAM dan berbagai ratifikasi konvensi internasional. Kasus yang menimpa mereka merupakan preseden buruk bagi penegakan HAM dan demokrasi di Indonesia.

"Karena itu, tanpa bermaksud mengintervensi independensi hakim, kami berharap Prita dan Upi yang kasusnya masing-masing masih bergulir di pengadilan agar dibebaskan dari segala tuntutan hukum atas nama keadilan," tegas Jumadi Mappanganro, korlap aksi tersebut.

Aksi tersebut berlangsung damai. Puluhan aparat keamanan berpakaian seragam maupun berpakian sipil terlihat berjaga-jaga di sekitar lokasi aksi. Aksi ini juga ditandai penandatangan spanduk dukungan terhadap gerakan KJTKP Makassaar di atas selembar kain panjang berwarna putih.

Sebelum aksi berakhir, satu persatu perwakilan organisasi menyampaikan orasinya. Di antaranya Direktur LBH Kota Makassar Abdul Muttalib, Ketua Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulawesi Selatan Nasrullah Nara, dan Tamzil Thahir dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar.

Turut berorasi adalah Sri Endang Sulastri dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, Maqbul Halim dari Lembaga Studi Informasi dan Media Massa (eLSIM), Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulsel Rusdin Tompo, dan Fajriani Langgeng dari LBH Kota Makassar.

Di akhir aksi, mereka membacakan seluruh isi pernyataan sikapnya. Di antaranya mendesak pencabutan segala ketentuan hukum pidana tentang pencemaran nama baik karena sering disalahgunakan untuk membungkam hak kemerdekaan masyarakat mengeluarkan pendapat .

Secara umum KUHP perlu ditinjau ulang. Khusus Pasal 310 dan 311 tentang pencemaran nama baik harus dihapus karena bertentangan dengan semangat demokrasi dan perbaikan layanan publik. Juga bertentangan dengan hak kebebasan berpendapat berekspresi.

Koalisi itu juga meminta kejagung harus memeriksa motif jaksa penyidik menahan Prita dan mendesak institusi kepolisian dan kejaksaan agar bekerja lebih profesional.
Mereka juga meminta seluruh aparat penegak hukum dan elemen masyarakat menghargai dan menghormati kebebasan pers, kebebasan berpendapat, mengadu, dan berekspresi.

Mengekang

Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Hasanuddin, Muliadi Mau, mengatakan, kasus Prita sudah menciderasi demokrasi dan mengekan kebebasan warga menyampaikan pendapat.

Menurutnya, pesaan yang disampaikan melalui email sifatnya adalah komunikasi antarpersona atau sangat pribadi. "Apakah salah warga masyarakat menyampaikan keluhan yang dialaminya oleh sebuah institusi pelayanan, termasuk pelayanan kesehatan," kata peneliti senior pada Lembaga Studi Informasi dan Media Massa (eLSIM) Makassar ini.

Menurutnya, bila pihak RS Omni dan aparat penegak hukum menganggap ada pelanggaran karena email tersebut kemudian menyebar ke mailing list, blog, dan facebook, tidak serta merta Prita bisa langsung dijerat dengan UU ITE dan pencemaran nama baik.

"Adalah wajar bila ada perlawana bersama yang dilakukan karena ini memang menjadi ancaman serius bagi kebebasan berekspres di tengah publik," kata anggota Koalisi Kebebasan Akses Informasi Publik ini.(Persda Network/cw2/axa/jum)

-----
http://tribun-timur.com/read/artikel/31994
Tanggal 8 Juni 2009
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim