SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Kamis, 18 Juni 2009

JK “Liar”, SBY dan Mega Membosankan

Posting seorang yang mengaku bernama Horion pada Kompasiana (http://public.kompasiana.com/2009/06/12/jk-%E2%80%9Cliar%E2%80%9D-sby-dan-mega-membosankan/)

Oleh harison - 12 Juni 2009 - Dibaca 3207 Kali -

Genderang “perang” kampanye Pilpres sudah ditabuh. Tiga capres mau tak mau –tentu saja mau— jadi fokus utama masyarakat Indonesia. Berbagai forum digelar sebagai panggung buat tiga capres untuk unjuk gigi. Tapi satu hal yang berubah dan tak sepertinya tak ada niat untuk mengubah: gaya presentasi kampanye SBY dan Mega masih sangat membosankan.

Maaf, membosankan di sini tentu saja untuk ukuran saya. Subyektif? Pasti!

Apakah ada orang lain sepikiran dengan saya? Barangkali ada. Ya, barangkali. Karena untuk mem-verivikasi asumsi saya di atas, paling tidak harus ada survei. Dan sepanjang pengetahuan saya yang pendek, belum ada survei yang mengukur “tingkat kebosanan” masyarakat terkait dengan gaya berkampanye (baik yang interaktif maupun yang monolog) para capres. Mungkin menarik juga kalo disurvei, seberapa berpengaruhkan gaya ketika berkampanye di panggung, di tempat publik, di televisi, maupun di media lain terhadap preferensi pemilih dalam menentukan capres yang dipilih?

Jujur saja, tulisan ini terinsipirasi tulisan Den Baguse yang berjudul “Jusuf Kalla VS Bambang Harimurti” . Kebetulan saya nonton bagaimana Yusuf Kalla dengan tegas, cerdik dan tangkas menjawab pertanyaan Bambang Harimurti. Meski, dalam penilaian saya, Bambang tidak tuntas juga dalam menanyakan satu persoalan. Barangkali, mungkin, karena waktu yang disediakan terbatas, sedang daftar pertanyaan masih seabrek.

Tapi, jauh-jauh hari saya cukup kepincut dengan gaya JK saat berkampaye. Tidak saja gayanya yang spontan dan natural saat berkampaye di depan audiens, tapi juga karena pilihan materi iklan kampanye-nya memang cukup aduhai dengan menampilkan JK yang berani, tegas, cepat, tapi tidak kaku.

Pertama saya dikagetkan dengan gaya JK yang membuka sepatu di depan para pengusaha dalam satu forum yang didesain untuk menyampaikan gagasan soal konsep ekonomi yang akan jadi paltform pasangan JK-Win. Soal membuka sepatu dan menunjukkan sepatu bermerek “JK Collection” kemudian menjadi salah satu materi rangkaian iklan Kampaye JK.

Yang kedua, saya terus terang kaget dengan pilihan materi iklan TV saat JK mengkritik masalah pertanian kita, khususnya soal kesulitan petani mendapatkan bibit. Dengan latar belakang Gedung Pusat Departemen Pertanian di kawasan Ragunan, JK dengan lantang mengatakan akan menyewakan saja gedung Detpan yang megah, dan uangnya buat beli bibit, bila petani masih kesulitan membeli bibit!

Yang ketiga, JK dengan pintar “mengeksploitasi” pembangunan beberapa Bandara di Indonesa yang kalis dari campur tangan tenaga asing. Salah satu bandara itu adalah Bandara Sultan Hassanudin di Makassar yang memang terlihat sangat modern.

Yang keempat, saya kembali terperanjat saat JK bertindak sebagai presenter dadakan di acara “Berita Global” edisi petang punya stasiun TV Global. Selain menjawab beberapa pertanyaan, JK membacakan dua naskah berita.

Yang kelima, setelah JK jadi presenter dadakan, Global TV menampilkan acara tentang keseharian JK. Dua cucu JK menggelendot di kaki JK tanpa merasa takut dengan kamera –sebuah keakraban yang spontan dan natural. Ini sangat berbeda dengan gaya SBY saat mempromosikan sosoknya sebagai anggota keluarga yang baik –semua seperti diatur, formal, terstuktur dan kaku.

Artinya, dibanding Mega dan SBY, JK memang sedikit “liar” dan segar.

Sekarang kita membicarakan gaya SBY dan Mega. Kita berbicara sosok mereka di ranah periklanan kampaye. SBY dicitrakan sebagai ayah dan anggota yang baik. Hampir semua slide maupun footage yang diambil untuk iklan itu menggambarkan “ketertiban” sebuah keluarga, tapi tidak sampai pada “kehangatan” sebuah keluarga. SBY, istri, anak serta menantunya mengenakan baju yang cenderung formal dengan gaya yang formal juga –seperti sungkem, mencium kening cucunya, dan lain-lain.

Saya tidak tahu persis, apakah iklan SBY sebagai anggota keluarga yang baik ini didesain untuk menyerang Prabowo. Saat iklan itu diluncurkan, status Prabowo memang masih mengambang: apakah jadi capres atau tidak. Seperti kita tahu, rumah tangga Prabowo “bermasalah” sejak Soeharto lengser. Saya sendiri tidak tahu apakah Prabowo saat ini duda atau suami orang. Tapi, pesannya kira-kira begini: untuk jadi presiden yang baik, lo mesti jadi anggota keluarga yang baik. Punya rumah tangga yang harmonis. Tidak bermasalah.

Dan, memang, baik Prabowo maupun Mega, belum menampilkan sisi personal mereka di keluarga. JK sendiri, meski belum punya iklan kampanye yang melibatkan keluarga, dalam berbagai tayangan TV sudah menunjukkan kehangatannya dengan keluarga.

Padahal kalo diperhatikan dengan seksama, beberapa footage iklan SBY sebagai anggota keluarga yang baik, tampak Ibas (Edhie Baskoro) seperti orang yang tidak terawat: ceking dan tatapan matanya kosong. Tak tahu kenapa. Saya sendiri pernah menemukan perdebatan di salah satu forum pembaca situs berita internet, bahwa Ibas adalah bekas pemakai narkoba sejak masih duduk di SMA 39 Cijantung. Tapi saya tidak tahu kebenarannya, dan semoga itu cuma gosip. Kalaupun gosip itu benar, justru harusnya SBY bangga karena bisa mengembalikan anaknya dari lembah hitam –sebagai bukti bahwa dia adalah ayah yang baik. Toh, Obama juga bekas pemakai. Yang penting sudah berhenti dan jujur mengakui. Bapak yang baik bukan bapak yang tak pernah salah dan lalai, tapi bapak yang sadar telah salah atau lalai, serta menunjukkan kesadarannya dengan langkah kongkret.

Dalam pandangan salah satu teman Agus Harimurti, SBY bukan hanya perhatian dengan anaknya, tapi bahkan sampai meluas pada teman-teman anaknya. ada sebuah pengakuan yang mengharukan yang menujukkan betapa SBY memang sosok penuh perhatian.

Selanjutnya, saya perhatikan, dalam penampilan di berbagai forum, SBY juga tidak neko-neko. Tidak neko-neko di sini dalam pengertian: gayanya masih kaku, formal, standar, dan tentu saja membosankan. Jawaban-jawaban yang disampaikan membuat pemirsa seperti saya bosan. Entah berapa pertanyaan waktu di Trans TV SBY selalu menjawab dengan, “saya kira benar itu, itu memang terjadi. Tapi kita akan terus meningkatkan….bla…bla…”

Ini kira-kira sama dengan jawaban artis yang kepergok pacaran. Saat ditanya di Infotainment soal hubungan artis itu dengan pacarnya, jawabannya standar, “Saya tidak pacaran, saat ini sih berteman aja. Tapi kita nyambung kok. Dia orangnya asyik. Makanya kalo nanti memang jodoh ya mau gimana lagi….” Aduh, please deh………

SBY semakin membosankan lagi saat bicara tanpa teks. Gaya bicara repetitif yang sinkronnya dipasangkan dengan gaya bersemangat (mengepalkan tangan dan dengan suara lantang, misalnya), dilantunkannya dengan sangat datar. Selain itu, jawaban SBY atas pertanyaan panelis di berbagai forum juga mengawang-awang, tak kongkret dan terkesan cari aman.

Soal cari aman di sini juga bisa dilacak ketika SBY merumuskan konsep ekonomi “jalan tengah” atau kerap disebut Yudhoyonomics. Jalan tengah tentu dianggap jalan yang paling aman. Tapi belum tentu jadi jalan yang paling benar. Seolah-olah dengan memilih jalan-tengah, perdebatan soal Neo-lib vs ekonomi kerakyatan selesai. Penasehat ekonomi SBY tentu jago-jago dan tahu persis bahwa tindakan yang pro-pasar belum tentu bisa disebut neo-liberal. Begitu juga ketika negara intervensi pasar, belum tentu juga itu bentuk ekonomi komando. Yang terpenting adalah kapan kebijakan yang diambil berada pada momentum yang tepat dan ujung-ujungnya membawa kemakmuran rakyat. Tapi, dengan adanya konsep Yudhoyonomics ini, seolah-olah sudah tertemukan resep ampuh untuk membangun sektor ekomoni, tanpa ada penjelasan dan langkah kongkret soal Yudhoyonomics itu. Sementara, media massa hari ini sudah memuat Prabowo-Mega menandatangani kontrak politik soal pengahupusan UU BHP –yang dianggap merugikan rakyat.

Lalu bagaimana dengan Megawati? Tak terlalu menjajikan juga. Gayanya mesam-mesem saat di layar TV –baik dalam kampaye maupun acara lain—seolah ingin menutupi ketaksanggupannya memberi jawaban si penanya.

Saya ingat, saat di Global TV tadi malam, Todung Mulya Lubis bertanya soal anggaran Komnas HAM yang kecil dan apakah bisa ditingkatkan – sebanding KPK ? Karena Komnas HAM juga mengurusi hal penting. Apa jawaban Mega? Mega malah bercerita ketika jadi presiden banyak sekali komisi-komisi yang bersifat ad hoc. Dan mega berharap komisi-komisi itu bisa dihapuskan. Soal pertanyaan Todung kenapa Komnas HAM anggarannya sedikit dan apakah bisa ditingkatkan, malah nggak dijawab. Benar-benar Joko Sembung alias nggak nyambung!

Dan hal di atas terhitung sering dilakukan Mega. Agak berbeda dengan Parbowo yang kadang mengutip angka dan data untuk melukiskan ketidak-beresan.

Jujur saja, saya bukan fans berat JK. Tapi saya anggap JK adalah juara kampanye pilpres. Melalui gayanya yang spontan, natural, ceplas-ceplos, percaya diri…paling tidak membuat saya rela menahan diri untuk tidak memindah channel TV saat JK tebar pesona.

Akhirnya, sebagai penuntut ilmu komunikasi, saya jadi ingat adagium yang dicetuskan oleh Marshall McLuhan : medium is message! Gaya, cara dan gesture seseorang adalah medium pesan juga. Mereka yang kaku, terstruktur, tenang, teratur dan jaga-image kira-kira juga memberi pesan bahwa saat memerintah akan menerapkan pola itu. Begitu juga dengan yang segar, lucu, spontan, natural dan grusa-grusu juga akan membawa pemerintahan pada situasi yang cepat, praktis, tapi ada resiko melanggar aturan. Yang menjawab tak tepat sasaran? Kira-kira ya, pemerintahannya hanya berputar-putar dan tidak fokus apa yang menjadi prirotitas bangsa ini. Itu pendapat saya lho….. dan have a nice week end!
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim