SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Rabu, 26 September 2007

Tenri Naik Kelas


Senin, 24 September 2007, saya telat bangun. Suhu di kamar tidurku kira-kira memberitahuku bahwa hari sudah menjelang siang. Gerah dan cahaya matahari di luar rumah sudah terik. Sebagian tidur pulasku memang harus saya sumbangkan untuk berhelat sahur dalam rangka puasa Ramadhan 1428 H. Apalagi, saya juga baru lepas dari belitan perbaikan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilgub Sulsel 2007 yang nyaris tidak memberiku momen istirahat selama lebih sepekan berturut-turut.

Pagi itu, saya menyempatkan diri membersihkan mobil dari debu dengan sapu bulu. Suara cekikikan Ato dan Abi (anak saya yang kedua dan pertama) kedengaran sedang bermain dengan anak tetangga. Ketika mendengar mesin mobil menderu karena dipanasi, mereka langsung menghambur datang menyerbu masuk ke dalam mobil. Mereka berlomba memencet yang bisa mereka pencet di kabin mobil. Meski begitu, saya masih meragukan kemampuan mereka meng-"switch on"-kan handphone GSMku yang masih berstatus "idle". Seperti biasa, kantor KPU-ku selalu menyerbuku melalui HP GSMku setiap hari Senin.

Pukul 11.00 siang itu, saya mengantar Uminya Abi belanja di toko ritel Hypermart, Panakkukang Mas. Padahal, HP GSM-ku masih terus meraungkan alarmnya, menandakan bahwa pada hari itu Tenri sedang menjalani tahapan Fit and Proper Test untuk mengisi kursi lowong di KPU Propinsi Sulsel yang ditinggalkan oleh Aidir Maret 2007. Tapi, saya juga harus mengantar Uminya Abi belanja. Saya tidak mengerti kemudian, saya ternyata memutuskan mengantar Uminya dan sekaligus memutuskan tidak menghadiri proses tes yang dijalani Tenri pada hari itu. Setelah proses test itu, saya mendapatkan beberapa kabar bahwa saya diduga tidak menghendaki Tenri menanjak menjadi anggota KPU Sulsel. Bagi saya, dugaan itu beralasan karena sayalah satu-satunya anggota KPU Kota Makassar, kolega Tenri, yang tidak hadir pada proses test yang berlangsung di KPU Sulsel Jl Pettarani itu.

Sembari menyetir mobil meninggalkan Hypermart Panakkukang Mall, HPku berdering menerima SMS dari Syahrir Makkuradde. Uminya Abi yang membaca isi SMS itu: Innalillahi wa Innailaihi Rajiun, telah berpulang ke Rahmatullah bapak Prof. Dr. Zainal Abidin Farid". SMS itu kuforward ke Wahuddin Halim (Kakak kandukungku). Wahyu berkomentar singkat: "Kita telah kehilangan seorang filosof besar dari Sulsel. Kehilangan kita kali ini, sulit tergantikan." Hari itu, saya tetap tidak bisa melayat karena mengantar Uminya Abi.

Dalam perjalanan pulang ke rumah menembus terik sinar matahari yang menyengat, tubuh saya masih terbebani rasa letih, dan terjangan kantuk masih sesekali datang. Saya terus berpikir tentang proses tes yang tengah dijalani Tenri. Bagaimana ia selanjutnya bila betul-betul lolos dan lansung dilantik pada hari itu? Bagimana dengan peran-perannya yang "non-interchangeble" di KPU Makassar selama ini? Setelah menurunkan belanjaan dan Uminya Abi di rumah, saya segera balik menuju kantor. Pikiran-pikiran tentang kemungkinan Tenri mengenai tes itu masih terus berkecamuk.

Setelah beberapa saat di kantor menyelami hawa dingin AC ruang kerjaku, Kak Pahir masuk. "Maqbul, Tenri sudah jadi anggota KPU Propinsi Sulsel. Ia dilantik tadi setelah dinyatakan lolos dalam Fit and Proper Tes," kata Kak Pahir sembari melipat kedua tangannya di dada.

Saya termangu mendengar kabar itu, sekaligus sumriga. Saya menemukan, sepertinya diriku tidak siap mendengar kabar itu. Dan memang. Saya memang kerap mengabaikan niatan Tenri ini, dan memilih berpikir lain.

Dulu, empat bulan silam, Tenri bertanya kepada saya: "Bul, setujukah kau kalau saya mendaftar untuk menjadi calon pengganti Pak Aidir di KPU Sulsel?"

Tenri mendatangi ruanganku ketika itu, hanya untuk menanyakan niatannya itu. Suaranya pelan, dan juga parau. Ia setengah berbisik, tetapi seperti juga memohon. Saya memang sempat bingung memberi jawaban, karena ia tidak jelas: bertanya atau memohon. Dari sekian jenis kabar yang mampir, saya sebenarnya telah mengetahui beberapa hal. Tenri telah memulai dan tentu ia tidak ingin kembali. Ia telah memberi pengakuan, baik kepada saya dan teman-teman di KPU Makassar, maupun koleganya di Jakarta yang saban hari sangat penting bagi Tenri untuk mengalahkan pesaingnya. Ia telah menyelesaikan pernyataannya, sekaligus memasukkan berkasnya. Ya, Tenri sudah jauh dan kemudia ia datang bertanya.

"Saya sangat ingin, Bul ikhlas menjawab," kata Tenri berusaha meyakinkan.

Tapi, hematku ketika itu, jawaban apa gerangan yang ia butuhkan? Bukankah ia telah melaju dan juga telah jauh? Jika ia ingin membatasi dirinya dengan jawabanku, bukankah ini sudah terlambat. Lantas, akankah ia urung ketika saya bersungut, tanda bahwa ia sebaiknya menyelesaikan pekerjaannya di KPU Makassar? Tapi, ketika itu, saya yakin bahwa apapun yang hendak kukatakan di hadapan pertanyaannya, Tenri akan terus berjalan. Saya tiba-tiba ingat serangan Margaret Thacher di parlemen kepada kalangan oposisi, "Please turn if you want to. But the ladies, not for turning."

Dan. Saya memberi jawabanku yang berasal dari kebutuhannya. Ia mangut dan berterima kasih. Ia girang meninggalkan ruanganku, seperti baru pulang dari sebuah kemenangan, seperti sedang mengusung harapan. Ia juga tidak tahan mengatakan bahwa dirinya sangat bangga pada saya sebagai kawan yang sangat memahami. Saya memang tahu, ia lebih butuh dipahami ketimbang dibantu. Setelah itu, ia mungkin terus melaju. Mungkin ia juga tidak merasa perlu tahu apa jawabanku yang sesungguhnya. Sama halnya, saya tidak mengerti mengapa Tenri sangat membutuhkan saya untuk menjawab.

Sekarang, Tenri akhirnya dilantik. Air muka Kak Pahir pun juga datar ketika mengabarkan pelantikan Tenri.

Saya bangga, temanku sekantorku, teman seperjuanganku di Ornop, temanku sebagai jurnalis, dan sebagainya, akhirnya berhasil menapak menjadi anggota KPU Sulawesi Selatan. Tapi saya juga bersedih. Tenri sangat berarti bagi saya sebagai anggota KPU Kota Makassar. Mungkin ia lebih sangat berarti bagi Ketua KPU Kota Makassar, Zulkifli Gani Ottoh. Saya jadi berpikir bahwa ada beberapa hal tak dapat kami lakukan segera di KPU Makassar setelah Tenri harus berpindah tempat kerja. Ia tidak hanya sekadar hadir, tapi memberi arti. Ia tidak mampir, melainkan membangun kehidupan.

Tenri kadang-kadang radikal ketika berhadapan dengan suatu masalah di KPU Kota Makassar. Ia tidak pernah lelah mengejar sesuatu hingga suatu permasalahan betul-betul dikenali dengan baik. Ia mampu berpikir dalam situasi yang paling rumit, meski pun pertimbangan-pertimbangannya kerap simplistis. Ia memang jarang memasuki area perdebatan karena ia gampang lumpuh ketika harus mengurai masalah-masalah yang sifatnya teoritis dan konsepsional. Karena itu pula, ia lebih banyak memilih lebih banyak bekerja. Saya pernah mencatat keluhan Tenri:

"Menurutku tidak usalah banyak bicara. Semua ini saya tidak mengerti," keluh Tenri pada suatu rapat di KPU Kota Makassar yang membahas penggantian tiga calon terpilih dari Partai Golkar untuk DPRD Kota Makassar.

"Lebih anda-anda berterus terang, maunya anda ini apa? Saya tidak mengerti politiking," kata Tenri memotong setelah perdebatan alot selama setengah jam.

Waktu itu, saya dan teman-teman di KPU Makassar sedang berdebat mengenai beberapa rujukan hukum yang dimungkinkan menjadi acuan dalam proses penggantian calon terpilih tersebut. Akselerasi Tenri untuk mengikuti perdebatan itu rupanya rupanya tidak mumpuni. Ia kemudian kalut dalam pikirannya mendengar berbagai argumen. Ia hanya bisa berpihak kepada mereka yang tertindas, kepada tiga orang yang akan digantikan itu. Tenri hanya mengerti bahwa yang menginginkan penggantian itu adalah kawanan penindas. Ia tidak ingin berpikir rumit dan nyelimet. Ia ingin praktis tapi tidak menindas. Ia ingin saya dan teman tidak banyak menyusun alasan untuk menutupi berbagai hal. Padahal sebenarnya, kami tidak menutupi suatu hal. Kami hanya hati-hati karena ini masalah hukum. Di "ruang hukum" inilah Tenri tidak masuk.

Selebihnya, ia mampu bekerja dengan konsentrasi yang terpecah. Saya biasa berpikir, untuk bergerak seperti Tenri, saya mesti membagi diri saya menjadi lima, paling tidak.

Ia juga kerap mengekspresikan tanggung jawabnya melebihi dari yang ia miliki. Di akhir kegiatan verifikasi entry data pemilih DPT di KPU Makassar untuk Pilgub Sulsel 2007, saya sempat bersitegang dengannya. Ia terlalu banyak menjalankan kewenangan saya sebagai ketua Pokja Pemutakhiran Data Pemilih, sementara saya tidak penah memberinya mandat untuk melakukan itu. Kalau ada sikap pembiaran dari saya, itu sesungguhnya adalah siasa rasa tenggang yang memang kusiapkan untuk sikap-sikap yang Tenri yang sudah sering seperti itu.

Tapi, Tenri sebenarnya tidak mengembail kewenangan orang lain, atau kewenangan saya. Ia sangat gampang dirundung cemas ketika masalah timbul. Ia tidak bisa berdiam diri ketika ia memastikan bahwa ada satu atap, tempat dimana kita bernaung bersama. Atap itu bernama KPU Makassar. DPT KPU Makassar paling dikenal rumit dan gemuk. Saya sendiri mengakui, saya banyak menghadapi masalah dalam pemutakhiran DPT: organisasi kerja, dukungan sekretariat, tenaga ahli IT, sampai peran lurah dan camat se Kota Makassar yang mengecewakan. Di tengan situasi ini, Tenri rupanya tidak bisa berdiam diri. Ia tidak lagi memikirkan kewenanganku sebagai ketua Pokja. Yang ia pikirkan adalah nasib KPU Makassar dalam soal pemutakhiran DPT. Lalu, ia pun bergerak dan jauh lebih cepat. Kantor pun berjumpalitan.

******

Tadi malam, saya menemuinya di Pizza Ria (Boulevard, Panakkukang Mas), di pesta ulang tahun Yuri, putri pertamanya. Ia sedikit berubah. Ia berusaha bersikap lazim terhadap saya seperti halnya ketika masih di KPU Makassar, tapi sikap gugub masih sesekali terselip dalam gerakan-gerakan tubuhnya.
Selengkapnya >>

Sabtu, 22 September 2007

Perda Zakat Belum Cocok untuk Guru

(FAJAR, 21 Sep 2007)

MAKASSAR -- Wacana pemberlakuan perda tentang zakat profesi masih terus menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Ketua FKAPAGI Sulsel, Samsu Niang menilai ranperda yang sementara dibahas di DPRD Sulsel itu belum cocok untuk guru. Pasalnya, standar gaji rata-rata guru yang sudah berstatus PNS saat ini baru sekitar Rp1,5 juta. Bahkan untuk guru honorer masih jauh di bawah angka itu. "Belum lagi mereka harus membiayai kebutuhan anak dan istrinya, kebutuhan lainnya seperti cicilan rumah dan sebagainya," terang Samsu Niang.


Karena itu, Wakil Ketua Komisi D DPRD Makassar ini meminta Pemprov Sulsel agar tidak memberlakukan perda itu secara paksa. Setiap pegawai termasuk para guru yang ingin dimitai pungutan zakat harus ada persetujuannya terlebih dahulu.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Muh Asmin lebih sepakat untuk memberlakukan zakat itu kepada PNS, termasuk guru. "Apabila kita merujuk pada hukum Islam, maka yang memiliki 92 gram emas atau harta yang setara dengan itu, wajib mengeluarkan zakat sebesar 2.5 persen," ujar Asmin.

Namun persoalannya, kata Asmin, PNS sudah begitu banyak dipotong gajinya. Sehingga, bagi PNS perlu ada kejelasan untuk kepentingan apa pemotongan tersebut dan yang mana tidak masuk zakat.

Berbeda dengan Asmin, Ketua MASIKA ICMI Orda Sulsel, Maqbul Halim tetap mepersoalkan perda zakat yang seolah-olah akan diurus negara. "Pemerintah atau negara saja belum maksimal memberikan pelayanan dan mengatur masyarakat, apalagi mau menambah urusannya dengan zakat yang sepantasnya diurus sendiri masyarakat," terang Maqbul.

Bahkan Maqbul menilai orang-orang yang menginginkan zakat diatur oleh negara atau pemerintah, mungkin tidak memahami dengan baik agama. "Saya katakan demikian karena di urusan zakat bukan urusan kolektif masyarakat. Begitupun dengan masuk surga, tidak ada istilah kolektif. Urusan dosa dan surga sudah menjadi urusan masing-masing pribadi dan Tuhannya," tegas Maqbul. (him-m01)
Selengkapnya >>

Rabu, 19 September 2007

Makassar Belum Rampung, Penetapan Pemilih Mulur

(FAJAR, 18 Sep 2007)
MAKASSAR -- Penetapan rekap daftar pemilih hingga Senin 17 September belum juga dilakukan. Padahal, seharusnya rekap provinsi sudah dilakukan paling lambat 8 September.Ketua KPU Sulsel, Mappinawang yang dikonfirmasi di ruang kerjanya, kemarin, membenarkan. Menurut dia, hingga saat ini, KPU Sulsel belum bisa melakukan rekap. Kendalanya hanya satu, data dari KPU Kota Makassar yang belum juga rampung.


"Sebenarnya, daerah lain sudah. Sisa Makassar yang sampai saat ini masih harus ditunggu," kata Mappinawang.

Padahal, beberapa pekan lalu, KPU Makassar, kata dia, sudah berjanji akan merampungkan paling lambat 16 September. Nyatanya, sudah 17 September, tapi belum juga rampung.

Penanggung jawab pemutakhiran data pemilih KPU Kota Makassar, Maqbul Halim yang dikonfirmasi, mengatakan, data rekap sudah dimasukkan sesuai jadwal. Hanya saja, kata dia, yang tersisa tinggal hasil input ke komputer untuk kepentingan IT.

"Itu pun sudah disetor ke PNRI dua kecamatan, yakni Wajo dan Tallo. Paling lambat besok pagi (pagi ini, red) akan menyusul Makassar, Mamajang, dan Bontoala," sebutnya. (har-sul)

Sumber: Fajar (http://fajar.co.id/news.php?newsid=40650) tanggal 20 November 2007

Sumber Kedua: (http://www.sulawesigis.org/berita/makassar-belum-rampung-penetapan-pemilih-mulur-18-september-2007/id/)
Selengkapnya >>

Selasa, 11 September 2007

Belum Ada Pelanggaran Kampanye Pilgub Sulsel 2007

Oleh Maqbul Halim

Salah satu yang menentukan berkualitas atau tidaknya suatu Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pelaksanaan tahapan kampanye. Kenyataannya, beberapa kalangan menerapkan persepsi yang berbeda tentang ikhwal kampanye pada Pemilu Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) 2007 ini. Persepsi yang berbeda mengenai kampanye ini berdampak hukum sehingga berbagai pelanggaran berdasarkan kaidah hukum akhirnya terjadi tanpa disadari oleh pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilu Pilgub Provinsi Sulsel 2007.


Peraturan yang dapat dirujuk untuk meninjau persoalan kampanye pada Pemilu Pilgub Sulsel 2007 adalah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepada Daerah, dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepada Daerah. Sementara, Surat Keputusan (SK) KPU Provinsi Sulsel tentang Tata Cara Pelaksanaan Kampanye Pemilu Pilgub Sulsel 2007 sendiri belum ada.

Tinjauan terhadap masalah pelaksanaan kampanye pada Pilgub Sulsel 2007 mestilah merujuk pada ketiga perundangan dan peraturan tersebut. Di luar dari ketentuan tersebut, maka yang ada adalah penerapan persepsi mengenai Kampanye Pemilu Pilgub Sulsel 2007. Pemberlakuan persepsi dalam pelaksanaan Pilgub Sulsel 2007 adalah tindakan anarki dan oleh karena itu pula, pelanggaran persepsi itu bukanlah pelanggaran hukum.

Pelanggaran Jadwal Kampanye

Berdasarkan SK KPU Provinsi Sulsel No. 001/P.KWK-SS/VII/2007 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007, pelaksanaan kampanye berlangsung pada 19/10 – 1/11 2007. Sementara, penetatapan jadwal pelaksanaan kampanye berdasarkan keputusan tersebut adalah tanggal 11/10 2007.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka tidak ada pelanggaran jadwal kampanye selama jadwal kampaye sebagaimana yang akan ditetapkan oleh KPU Sulsel nantinya belum berjalan. Yang disebut pelanggaran jadwal adalah pelanggaran terhadap jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi Sulsel bersama tim Kampanye (tanggal penetapannya adalah 10/10/2007). Secara umum, yang disebut pelanggaran kampanye adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam PP No. 6/2005 Pasal 60, 61, 62, 64, 65, 66 dan 68. Secara khusus, klausul dalam PP itu yang mengatur jadwal kampanye adalah pasal 55 ayat (1) dan (2). Pasal yang 55 ini tidak bisa dipakai untuk mengidentifikasi pelanggaran kampanye, baik pelanggaran administratif maupun pelanggaran pidana.

Periode terjadinya pelanggaran kampanye pada Pemilu Pilgub Sulsel 2007 adalah antara tanggal 19/10-1/11 2007. Pelanggaran yang terjadi di luar periode tahapan pelaksanaan itu (baik sebelum maupun sesudah periode tahapan itu) tidak bisa disebut pelanggaran Kampanye Pilgub Sulsel 2007, melainkan pelanggaran terhadap “ketentuan lain”. Yang disebut dengan “ketentuan lain” dalam hal ini adalah ketentuan di luar peraturan dan perundangan yang membahas mengenai pelaksanaan kampanye Pilgub Sulsel 2007 dan pelaksanaan kampanye pada Pemilu Pilkada. Konsekuensi pelanggaran terhadap “ketentuan lain” ini adalah bahwa KPUD maupun Panwas Pilkada tidak memiliki kewenangan hukum untuk melakukan tindakan hukum seperti memperkarakannya di pengadilan karena yang dilanggar bukan peraturan dan perundangan mengenai Pilkada atau Pilgub Sulsel 2007.

Ketentuan dalam UU 32/2004 pasal 116 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPUD untuk masing-masing pasangan calon akan diganjar dengan kurungan atau denda. Yang dimaksud ketentuan ini adalah kampanye di luar jadwal, bukan di luar tahapan. Yang dimaksud tahapan kampanye dalam Pilgub Sulsel 2007 berdasarkan SK KPU Provinsi Sulsel No. 001/P.KWK-SS/VII/2007 adalah tahapan kampanye yang berlangsung dari tanggal 19/10-1/11 2007. UU 32/2004 dan PP 6/2005 tidak menyebutkan adanya pelanggaran tahapan. Oleh karena itu, “kamus pilkada” tidak mengenal pelanggaran tahapan kampanye. Yang ada adalah pelanggaran dalam tahapan.

Kekeliruan dengan memahami jadwal kampanye sebagai sama dengan tahapan kampanye, rupanya telah diterapkan oleh berbagai institusi dalam Pilgub Sulsel 2007. Maksud jadwal kampanye adalah pengaturan lokasi dan waktu pelaksanaan kampanye oleh masing-masing pasangan calon. Sebagai contoh, daerah pemilihan Sulawesi Selatan dapat dibagi ke dalam beberapa zona (daerah pemilihan), di mana Kota Makassar, Pangkep, Maros dan seterusnya merupakan zona tersendiri, misalnya. Berdasarkan ketentuan, hanya satu tim pasangan calon yang dibolehkan berkampanye dalam satu zona. Dalam setiap zona, semua tim pasangan calon akan mendapat kesempatan secara bergilir dan berurut sesuai jadwal. Jika pada suatu zona, ada pihak yang berkampanye namun belum jadwal gilirannya sebagaimana telah ditetapkan oleh KPU Sulsel, maka itulah yang disebut pelanggaran jadwal. Ingat, jadwal kampanye Pilgub Sulsel belum ada karena tahapan pelaksanaan kampanye baru berlangsung tanggal 19/10-1/11 2007.

Alat Peraga Kampanye

Belakangan ini, ada pihak-pihak yang melakukan pencopotan media pencitraan seperti poster, spanduk, baliho, stiker dan sebagainya yang memuat gambar-gambar para calon gubernur dan calon wakil gubernur Sulsel 2007-2012. Menurut PP 6/2005 pasal 56 huruf (f), media pencitraan tersebut tergolong sebagai alat peraga kampanye. Pemasangan alat peraga kampanye menurut penjelasan pasal tersebut dianggap melanggar apabila dipasang di tempat seperti rumah ibadah, rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah, lembaga pendidikan, jalan-jalan protokol dan jalan bebas hambatan, serta tempat milik perseorangan atau badan swasta.

Pemasangan alat peraga kampanye dalam hal ini tidak terikat oleh jadwal yang ditetapkan oleh KPU Provinsi Sulsel. Yang terikat oleh jadwal adalah kampanye yang dilaksanakan dalam bentuk pertemuan terbatas (huruf a), tatap muka dan dialog (huruf b), penyebaran bahan kampanye kepada umum (huruf e), dan rapat umum (huruf g) sesuai dengan PP 6/2005 pasal 56. Adapun bentuk kampanye lainnya seperti penyebaran melalui media cetak dan elektrotik, penyiaran melalui radio dan televisi, dan debat publik/debat terbuka antar calon, jadwalnya akan ditentukan oleh KPU Sulsel secara terpisah bersama dengan lembaga lain yang terkait. Prinsip dasarnya adalah bahwa pemasangan alat peraga kampanye tidak terikat oleh jadwal, alias dapat dilakukan kapan pun di tempat-tempat yang telah diizinkan oleh pemilik tempat.

Pertanyaan selanjutnya adalah kapan suatu alat peraga kampanye dianggap melanggar dan pihak mana yang menentukan jenis pelanggarannya, serta pihak mana yang berwenang menindaki apabila terbukti ada pelanggaran dalam hal alat peraga kampanye tersebut? Suatu alat peraga kampanye dianggap menyalahi secara hukum karena melanggar ketentuan larangan pada PP 6/2005 pasal 60 huruf a sampai j. Pelanggaran terhadap larangan pada huruf a, b, c, d, e, dan f merupakan pelanggaran tindak pidana, sedangkan pada huruf g, h, i dan j adalah pelanggaran administratif.

Bila suatu alat peraga kampanye dicopot atau diturunkan pada suatu tempat, ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama adalah alat peraga tersebut disita sebagai barang bukti atas dugaan pelanggaran pidana pilkada dalam kampanye (pelanggaran pasal 60 huruf a, b, c, d, e, dan f). Kemungkinan kedua adalah alat peraga tersebut ditempatkan pada lokasi yang tidak diizinkan oleh pemerintah daerah setempat (pemerintah kabupaten/kota) atau pemilik tempat yang bersangkutan (PP 6/2005 Pasal 57 ayat (5)). Atau alat peraga tersebut berada pada lokasi rumah ibadah, rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah, lembaga pendidikan, jalan-jalan protokol dan jalan bebas hambatan, serta tempat milik perseorangan atau badan swasta (Penjelasan pasal 57 ayat (5).

Bila ada kegiatan penurunan atau pencopotan alat peraga kampanye saat ini di Kota Makassar atau daerah lainnya di Sulawesi Selatan, pasti bukan karena pelanggaran kampanye (PP 6/2005 pasal 60 huruf a sampai j). Bukankah kampanye Pilgub Sulsel 2007 baru berlangsung tanggal 19/10-1/11 atau masih sebulan lebih? Kalau kampanye belum berlangsung sesuai tahapannya itu, maka tentu tidak ada pelanggaran tata cara dan pelanggaran pidana kampanye. Kegiatan penurunan dan pencopotan itu juga bukan karena faktor lokasi sebagaimana penjelasan PP 6/2005 pasal 57 ayat (5). Di kota Makassar sendiri, belum ada ketentuan yang jelas tentang jalanan mana sajakah di Ibukota Sulsel ini yang disebut berkategori jalan protokol. Demikian pula, Walikota Makassar sendiri belum menetapkan bagian mana saja pada wilayah Kota Makassar yang tidak boleh dipasangi alat peraga kampanye.

Jika memang saat ini sudah berlangsung penurunan dan pencopotan alat peraga kampanye dalam rangka pengumpulan barang bukti pelanggaran pidana, berarti penurunan dan pencopotan itu dilakukan oleh polisi yang sedang menyidik. Kenyataannya di lapangan, alat peraga disita bukan dalam rangka pengumpulan barang bukti, dan yang melakukan penyitaan juga bukan polisi penyidik. Kemungkinan lainnya adalah bahwa penurunan dan pencopotan ini merupakan pelaksanaan kewenangan KPU Provinsi Sulsel dalam mengeksekusi pelanggaran kampanye. Namun sebagaimana ketentuan dalam PP 6/2005 pasal 63 ayat (2) huruf a dan huruf b menyebutkan bahwa sanksi yang dikeluarkan oleh KPUD adalah peringatan tertulis kepada penyelenggara dan penghentian kegiatan kampanye di suatu tempat atau daerah pemilihan. Ini memperjelas bahwa KPU Provinsi Sulsel juga tidak berwenang melakukan pencopotan dan penurunan alat peraga kampanye.

Eksekutor Pelanggaran

Dalam sistem pilkada, dikenal dua jenis pelanggaran, yaitu pelanggaran administratif dan pelanggaran tindak pidana pilkada. Eksekusi terhadap pelanggaran tindak pidana pilkada yang terbukti di pengadilan dan berkekuatan inkra, dilakukan oleh hakim pengadilan (PP 6/2005 pasal 63 ayat (1)). Sedangkan ekskutor untuk pelanggaran administratif, termasuk pelanggaran administratif dalam kampanye, dilakukan oleh KPUD (PP 6/2005 pasal (2), (3), dan (4). Di luar dari kedua lembaga ini, lembaga peradilan dan KPUD, tak ada lagi lembaga lainnya yang berwenang secara hukum melakukan tindakan eksekusi pelanggaran pilkada.

Jika ada pihak atau oknum yang melakukan tindakan eksekusi berupa penurunan dan pencopotan alat peraga kampanye yang bukan dalam rangka pelaksanaan kewenangan lembaga peradilan dan KPUD, atau tindakan tersebut di luar rangkaian kegiatan penyidikan polisi atas sangkaan pelanggaran pidana pilkada dalam tahapan pelaksanaan kampanye, maka pihak atau oknum tersebut dapat dianggap telah melakukan tindak pidana pilkada sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 pasal 78 huruf g: “merusak dan atau menghilangkan alat peraga kampanye pasangan calon lain”. Atas pelanggaran ini, pihak atau oknum ini diancam dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 100 ribu atau paling banyak satu juta rupiah (UU 32/2004 pasal 116 ayat (3)).

Sementara, pihak atau perorangan yang keberatan dengan tindakan pencopotan dan penurunan alat peraga kampanye karena alasan kepemilikan (properti) atau alasan hukum lainnya dalam beberapa pekan terakhir ini, dapat melaporkan pelaku tindakan tersebut kepada Panwasda Pilgub Sulsel 2007. Tetapi bila keberatan atas pencopotan, penurunan, dan pengrusakan alat peraga kampanye tersebut murni karena alasan kepemilikan, yang bersangkutan dapat melaporkan tindakan itu langsung ke kantor kepolisian terdekat berdasarkan ketentuan pidana umum yang berlaku.

Akhirnya, penegakan hukum yang tidak serampangan dalam Pilgub Sulsel 2007, dengan sendirinya akan mempertinggi kualitas pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel ini yang baru pertama kali dipilih langsung oleh warga Sulsel pada tanggal 5 Nopember mendatang.
Makassar, 11 September 2007

Dimuat pada Harian TRIBUN TIMUR (http://www.tribun-timur.com/view.php?id=49188&jenis=Opini) edisi 20 September 2007 (Last Access: 10/31 2007)

Penulis: Anggota KPU Kota Makassar 2004-2008
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim