SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Selasa, 20 Februari 2007

KPU Makassar Siap Sukseskan Pilkada Gubernur

(16 Feb 2007, 46 x , Komentar)

* Dalam Rapat Evaluasi Program 2006

MAKASSAR--Memasuki pelaksanaan Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur 2007 dan pemilihan Walikota Makassar pada 2008, amanah yang diemban oleh KPU Makassar cukup berat. Olehnya itu dalam mengemban amanah tersebut KPU bersama mitranya, yakni PPK dan PPS membangun kerjasama yang baik guna menyukseskan pilkada gubernur maupun wakil gubernur.
Hal ini ditegaskan Ketua KPU Kota Makassar, H Zulkifli Gani Otto, SH, saat membuka rapat evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan KPU Tahun 2006 dan Penjabaran program kerja tahun 2007, di Hotel Losari Metro, Kamis 15 Februari 2007, kemarin.

Sebagai gambaran kondisi Makassar sekarang ini aroma Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur sudah terasa dimana-mana, dimana spanduk, baliho dan sebagainya telah menghiasi Kota makassar. Dan ini merupakan salah satu tanggungjawab masyarakat termasuk KPU untuk menjaga maraknya pemasangan spanduk-spanduk politik sebelum waktu kampanye tiba.

Atas kondisi ini, sebut Zulkifli telah banyak kalangan yang meminta ketegasan dari KPU Kota Makassar sekaitan maraknya pemasangan spanduk maupun baliho yang kadang cenderung sudah melanggar ketentuan.

Dan karena Makassar ini adalah ibu kota provinsi maka KPU Makassar, mengharapkan dari KPU Provinsi Sulsel agar fasilitas yang diberikan ke KPU Kota Makassar tidak disamakan dengan daerah lainnya di Sul Sel mengingat besarnya jumlah penduduk Kota Makassar, diprakirakan sudah mencapai kurang 1.6 juta dengan jumlah pemilih diperkirakan akan mencapai 1.2 juta.

Sekadar diketahui bahwa anggaran untuk Pilkada Walikota 2008, telah dianggarkan di DPRD Kota Makassar kurang lebih Rp. 14 M dan pada tahun ini sudah dialokasikan sebesar Rp 7,5 M namun disimpan di Bank Sul Sel.

Sementara itu Ketua KPU Prov. Sul Sel Bapak Mappinawang, SH, mengatakan, masa tugas KPU Kota Makassar dimungkinkan akan diperpanjang, mengingat kedepan ini ada tiga agenda yang akan dilaksanakan yaitu Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur 2007, Pilkada Walikota dan Wakil Walikota 2008 serta Pemilu 2009.

Karenanya KPU Provinsi mengimbau KPU Kota Makassar tidak hanya memberikan perhatian pada Pilkada Walikota saja juga akan menyusun program untuk pemilu 2009. Dan khusus untuk pelaksanaan Pilkada Gubernur 2007, KPU Provinsi sementara ini menggodok beberapa hal termasuk regulasi tentang Pilgub.

"Hal fasilitas yang disampaikan oleh Ketua KPU Kota Makassar untuk tidak disamakan dengan daerah lain akan menjadi pertimbangan KPU Provinsi. Saya telah meminta kepada Sekretaris KPU Prov. Sul Sel untuk menginvetarisir dan meneliti jumlah kebutuhan daerah misalnya logisitk dengan harapan daerah satu dengan daerah lain bisa saling melengkapi, misalnya kota Makassar yang memerlukan banyak logistik namun tidak mencukupi bisa ditutupi atau dipinjamkan dari daerah lain yang tidak memerlukan banyak logistik,"ujar Mappinawang.

Dalam rapat kerja KPU Kota Makassar, tampil pemateri, H Zaijal Abidin, M Yusuf Pani, Drs Sabaruddin, Hj. Andriati Ismail, SH, M.Si dengan pengarah, Pahir Halim, Zulkifli Gani Otto, \andi Syahrir Makkuradde, Maqbul Halim serta Tenri A Palallo, S.Sos.(ull)

Sumber: Harian Fajar

Selengkapnya >>

Kamis, 15 Februari 2007

Wawancara

Maqbul Halim, direktur eksekutif lembaga studi informasi dan media massa (elsim) makassar.
Pewawancara: Yulanwar Maasyir
Wartawan Majalah VERSI
Makassar, 14 Februari 2007

Wartawan sebagai juru warta, tidak hanya dituntut untuk menyampaikan berita tapi lebih utama adalah menyampaikan kebenaran. Kalau ini dianggap sebuah tantangan idealis setiap insan pers yang mengaku profesional, bagaimana menurut Anda insan pers yang ada di daerah ini, khususnya di Makassar?

Betul, wartawan dituntut untuk menyampaikan kebenaran. Tetapi lebih dari itu, mereka malah dituntut untuk berpihak kepada kebenaran. Perkembangan terakhir dunia jurnalisme, mengutip buku Tom Rosienstel Cs “Sembilan Elemen Jurnalisme”, kebenaran itu justru cerita lain. Pemihakan yang ideal bagi jurnalis adalah kepada kepentingan warga (citizen). Istilah yang digunakan Rosienstel untuk itu lebih ekstrim, yakni mengabdi kepada kepentingan warga. Itulah yang menurut Rosienstel pengabdian pertama seorang jurnalis dalam menjalankan profesinya.

Kembali kepada kebenaran, kebenaran dalam jurnalisme adalah kebenaran fungsional. Bukannya kebenaran subtansial seperti yang sering dipercakapkan dalam diskusi tentang filsafat, misalnya. Kebenaran fungsional dalam hal ini adalah kebenaran yang terikat oleh kondisi faktual. Seseorang hari ini jadi tersangka pencurian dan kemudian diberitakan sebagai orang yang disangka mencuri adalah kebenaran fungsional. Terlepas bahwa di kemudian hari orang itu ternyata tidak terbukti bersalah di pengadilan.

Tantang yang kerap di hadapi oleh jurnalis di Makassar, khususnya adalah keleluasaannya menggali kebenaran itu. Ia harus berhadapan dengan tradisi tertutup. Jurnalis di Makassar, misalnya, kerap tidak berdaya ketika disuguhkan kebenaran yang telah didistorsi oleh nara sumber. Ia misalnya tidak berdaya berhadapan dengan sumber yang sudah piawai berdiplomasi. Jurnalis kerap terjebak oleh dokumen-dokumen atau lembaga-lembaga yang sering terbukti tidak jujur atau sering lalai berterus terang.

Apa yang paling urgen yang harus dimiliki oleh wartawan kita sekarang, dimana begitu banyak masalah dan persoalan, yang seharusnya menjadi lahan pemberitaan dan pengungkapan kebenaran kepada masyarakat?

Yang paling urgen adalah, jangan pernah berhenti belajar. Belajar bukan berarti sekolah kelas, ikut S2, ikut S3, dan seterusnya. Jurnalisme terus berkembang dan sangat pesat. Seorang jurnalis yang telah puas belajar karena sudah jadi jurnalis, pasti memandang remeh yang namanya belajar. Saya kerap sedih ketika ngobrol dengan jurnalis di Makassar, ternyata sebagian dari mereka asing ketika mendiskusikan buku-buku baru, khususnya yang menyangkut jurnalisme. Seorang jurnalis tidak akan pernah mengalami kemajuan bila hanya terus-menerus terapung di atas aktivitas liputannya yang rutin dan berulang-ulang. Ia juga mestinya secara rutin mengembangkan kapasitas dan kompetensinya.

Jurnalis juga, hemat saya, sudah waktunya memikirkan di mana posisi mereka di tengah perkara-perkara sosial dan ekonomi yang rumit yang dihadapi oleh masyarakat, rakyat, warga. Apakah mereka cukup memberitakan kebenaran tetapi tidak berdampak pada perbaikan hidup rakyat, warga, atau masyarakat? Jurnalis tidak perlu ahli di semua masalah yang mereka cover, tetapi mereka mestinya tahu bahwa jurnalis tidak hanya sebagai alat bagi pencari laba melalui bisnis pers, tetapi ada juga jeritan warga atau rakyat yang hendak dimerdekakan dari lilitan kesulitan dan kemelaratan struktural yang disupport oleh sistem.

Oleh karena itu, jurnalis tidak melulu canggih secara teknis. Cukup bahwa mereka peduli. Mereka sebaiknya lebih sering berada di tengah kesulitan warga atau rakyat untuk mendapatkan gambaran tentang situasi yang ada sekarang. Dengan sikap seperti itu, sebuah liputan jurnalisme yang mengangkat keagungan politisi atau birokrat atau suksesnya pembangunan misalnya, sulit terdikte. Kepentingan warga tidak menjadi sebutir pasir ketika wartawan larut bersama elit-elit. Mereka harus memperjelas perspektifnya menekuni profesi jurnalisme.

Saya kira, hal lain yang penting bagi jurnalis adalah penghayatan yang tinggi terhadap pekerjaan profesional itu. Ia tidak boleh berkerja sebagai jurnalis dalam rangka belajar berjunalis. Sebab, kelalaian dalam kerja jurnalisme adalah kefatalan yang kerap barakibat hukum. Ingat, penerapan hukum untuk kelalaian dalam kerja-kerja jurnalisme masih sangat labil. Jurnalis yang tidak terampil, akan menjadi mangsa pihak-pihak yang kepentingannya kerap dirugikan oleh kegiatan jurnalisme.

Menurut Anda, mengapa journalisme investigasi sulit diterapkan oleh wartawan kita?

Dua penyebab, kira-kira! Pertama adalah SDM tidak cukup memadai. Untuk menjalankan liputan investigasi, dibutuhkan jurnalis dengan kemampuan jurnalisme yang mumpuni, di atas ambang rata-rata umumnya keterampilan yang dimiliki jurnalis. Selain SDM itu, umumnya perusahaan penerbit pers dan stasiun radio dan televisi berita di Makassar tidak mempunya dana yang cukup untuk memprogramkan liputan investigasi.

Hal lain yang saya ingin katakan mengapa liputan investigasi masih sulit dikembangkan oleh perusahaan penerbit pers di Makassar adalah karena rumitnya menghasilkan sebuah rubrik investigasi. Majalah Tempo saja megap-megap mengongkosi rubrik seperti ini. Saya pernah mendapat informasi dari kawan saya bahwa setiap edisi, Tempo menghabiskan anggaran Rp 80-120 juta. Liputan investigasi biasanya memakan waktu berbulan-bulan, melibatkan organisasi liputan yang rumit, perencanaan yang matang, dan seterusnya. Saat ini, saya belum bermimpi bahwa akan ada penerbit pers di Makassar dalam waktu dekat ini yang mampu mengadakan rubrik investigasi.

Sebagai pemimpin sebuah organisasi yang mengawasi kerja wartawan, keluhan apa yang paling Anda sering dapatkan dan terima dari masyarakat maupun para pejabat?

Saya ingin meluruskan, Elsim tidak mengawasi kerja jurnalis. Yang mengawasi kerja jurnalis itu, ya, perusahaan yang mempekerjakannya. Mungkin dari organisasi profesinya, seperti AJI, IJTI, PWI, dan sebagainya. Elsim hanya memonitoring saja pemberitaan, khususnya isi berita. Elsim tidak mengawasi bagaimana sebuah berita berproses dari liputan oleh reporter hingga dicetak lalu kemudian sampai di tangan pembaca. Elsim hanya memberi penilaian terhadap berita-berita yang mereka hasilkan (dimuat oleh media) berdasarkan tata cara tertentu (ada teori dan metodenya).

Tentang keluhan, memang Elsim biasa juga menerima keluhan dari masyarakat. Tetapi keluhan itu biasa menyalahkan jurnalisnya dan mengabaikan berita-berita yang mereka hasilkan. Tapi, Elsim pada dasarnya tidak memfasilitasi pengaduan untuk mencapai sebuah penyelesaian. Core Bussiness Elsim tidak pada penindakan atas aduan masyarakat. Elsim memonitoring berita-berita.

Lalu apa solusi yang eLSIM berikan?

Solusi yang dapat Elsim tawarkan adalah penggunaan hak jawab. Tapi sebagian orang berpikir bahwa penggunaan hak jawab itu tidak impas dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh media yang melakukan pelanggaran atas diri mereka. Kalau buntu pada tahap itu, yang dirugikan juga tidak perlu langsung menempuh proses hukum acara. Masih ada peluang untuk mengajukan pengaduan ke Dewan Pers.

Pada berbagai kesempatan, Elsim juga berusaha meyakinkan bahwa menempuh jalur hukum, khususnya pidana pencemaran nama baik (Hatzai Artikellen) hanya akan melukai Indonesia yang baru keluar dari mulut rezim yang represif terhadap kebebasan pers. Saya sendiri sangat percaya bahwa Dewan Pers mampu melakukan sesuatu yang menguntungkan pengadu tanpa mengancam kebebasan pers. Tetapi, putusan kasasi Mahkamah Agung yang membebaskan Ahmad Taufiq dan kawan-kawan dari dakwaan atas kegiatan jurnalismenya, adalah sebuah preseden yang akan membuka mata orang-orang yang kerap dirugikan kepentingannya oleh pers agar tidak sembarangan menggunakan pasal Hatzai Artikellen itu.

Anggaran buat pers kembali berhasil diloloskan oleh DPRD Kota Makassar. Menurut Anda, sejauh mana manfaat anggaran ini untuk pers? Tidakkah Anda menilai bahwa ini dapat dipakai sebagai penyuapan terselubung dari oknum anggota dewan yang bermasalah kepada wartawan?

Saya ingin luruskan bahwa anggaran itu telah dihapus dari APBD Kota Makassar 2007 berdasarkan informasi Syamsul Rizal MI, panitia anggaran DPRD Kota Makassar. Ini juga tidak tepat kalau dinilai penyuapan terselubung oleh anggota dewan karena yang mengusulkan anggaran itu adalah pemerintah kota Makassar dan DPRD hanya menyetujui atau tidak.

Soal manfaatnya, itu sangat relatif. Kalau mau dievaluasi bermanfaat atau tidak, ya pemerintah kota Makassar yang harus memberikan keterangan soal itu. Tetapi, sebelum itu, saya kira Pemkot sudah punya rencana program pembinaan pers yang tersusun rinci dalam bentuk proposal sebelum anggaran itu diusulkan ke dewan. Kalau ternyata itu juga tidak ada, saya kira ini sesuatu yang harus diperjelas.

Tetapi, bagi saya, pembinaan wartawan itu adalah tanggung jawab perusahaan penerbit yang memperkerjakan wartawan itu. Bukan tanggung jawab Pemkot Makassar. Tangung jawab pemkot adalah, ya, sesuai tupoksinya. Terus terang, bantuan memang kerap membuat pihak yang dibantu tidak berdaya. Contoh, ya Indonesia terhadap AS atau Australia. Indonesia tidak bisa kritis dan tegas. Mungkin jurnalis yang dibantu oleh anggaran APBD juga seperti itu.

Elsim pernah mendapat cipratan dari anggaran ini? Lalu siapa saja, PWI? AJI?

Elsim dari dulu tidak berminat berprogram dari anggaran bantuan seperti itu. Itu kan bantuan untuk jurnalis, bukan NGO. Silakan tanya ke pak Wali, pihak-pihak mana atau siapa-siapa saja yang selama tahun 2006 lalu menerima bantuan sebesar Rp 1,4 miliar itu.

Proses Pilkada gubernur Sulsel terus bergulir. Menurut Anda, benarkah pers kita cenderung berpihak pada salah satu kandidat, tanpa dapat dihindari? Sebenarnya, siapa memanfaatkan siapa?

Berpihak atau tidak berpihak, tergantung perspektif yang digunakan untuk menuding. Seorang menuduh koran S misalnya memihak ke si-A, ya itu karena ia fansnya kandidiat B. Ketika berita koran S misalnya cenderung negatif terhadap kandidat A, maka fans kandidat B mengatakan bahwa koran S telah memberitakan kebenaran yang sesunguhnya. Jadi, ini perdebatan yang bisa tidak berkhir dalam 7 x 24 jam.

Elsim punya perangkat penilaian yang dapat dipertangung jawabkan secara akdemik. Tetapi itu pun hanya mengungkap indikasi-indikasi keberpihakan yang digali dari pemberitaan media yang ada. Kalau pers harus berpihak, ya, berpihaklah kepada kepentingan warga. Berpihaklah kepada pembaca, pendengar, apa yang menjadi kepentingan mereka yang tidak sesaat. Saya kira, di hadapan kepentingan warga, Pilgub Sulsel itu hanya soal kecil yang tidak berarti bagi kepentingan rakyat kecil. Kalau pers kita jor-joran pada masalah pilkada belaka itu, berarti minatnya terhadap kepentingan warga atau rakyat dipertanyakan.

Tapi, lagi-lagi. Pilkada adalah issu yang menjanjikan oplah, iklan, dan rejeki nomplok bagi perusahaan penerbit. Saya percaya jurnalis, pasti bisa menahan diri untuk tidak memihak pada Pilgub nanti. Tapi saya tidak bisa menjamin kebijakan perusahaan yang mendikte idealisme redaksi tidak berpihak dalam hal ini.

Profesi wartawan sering dipakai sebagai alat pemeras, menakut-nakuti, atau gagah-gagahan. Selain fenomena wartawan amplop, wartawan tanpa suratkabar, dan wartawan bodrex, yang tak kalah merusaknya adalah munculnya wartawan yang memiliki rangkap kerja di tempat lain. Menurut pendapat Anda, wajah pers seperti ini apakah sebuah kecelakaan jaman, dampak industri media yang kebablasan, atau akibat kemiskinan struktural sehingga tercipta ketergantungan kepada yang berpunya seperti kekuasaan?

Tidak serumit itu. Kenapa juga nara sumber atau pihak-pihak sudi diperas oleh wartawan. Kan bisa menolak diperas. Mental jurnalis yang doyan amplop itu memang mental buruk, tapi lebih buruk pihak-pihak yang memberikannya amplop.

Saya juga ingin mengatakan bahwa mengaitkan antara wartawan tanpa surat kabar, amplop, pemerasan dengan munculnya kebebasan pers adalah cara berpikir yang tidak logis. Itu goblok. Tidak pernah belajar logika berpikir. Itu seperti menuduh negara bangkrut karena rakyat terlalu banyak menuntut hak-haknya. Itu goblok.

Istilah wartawan ‘pres release’, ada yang salah dengan wartawan model ini?

Itu tidak salah. Itu hanya model, kecenderungan. Jurnalis seperti itu tidak perlu repot, mengandalkan omongan karena “talk is cheap”. Jurnalis yang seperti itu, ya, jurnalis yang malas. Hampa motivasi untuk maju.

Untuk menjadi seorang wartawan yang profesional, sebenarnya apa saja yang menjadi syarat mutlak untuk dimiliki?

Cerdas (berwawasan), terampil, menguasai bidang jurnalisme, tekun, giat belajar, berintegritas. Tapi itu semua tidak perlu disertifikasi seperti layaknya dokter praktek. Biarlah ia ditolak oleh perusahaan pers karena tidak memenuhi persayaratan itu. Itu cara-cara orde baru dan hanya akan menjadi cikal pembungkapan kebebasan pers dan berekspresi. Jangan ada pihak yang berpikir tentang itu.

Anda melihat itu yang tak banyak dimiliki oleh tak sedikit wartawan kita sekarang?

Sebagaian besar itu sudah dimiliki. Yang paling banyak tidak dimiliki adalah terampil, kritis dan tekun.

Baik. Setelah lama berkecimpung dan kini menjadi pemimpin di eLSIM, apa target dan sasaran eLSIM ke depan?

Seperti saya kemukakan sebelumnya, Elsim masih akan lebih banyak bergelut pada kegiatan monitoring. Sebelumnya memang Elsim pernah menjalankan program-program untuk peningkatan SDM jurnalis. Tetapi sekarang itu dianggap sudah lebih baik kondisinya dan juga rata-rata perusahaan penerbit yang di Makassar sudah mampu membuat training sendiri untuk jurnalisnya.

Mengenai memperbaiki iklim kebebasan pers dalam rangka memelihara demokrasi, itu tetap menjadi perhatian utama elsim. Bagaimana agar Pilgub Sulsel 2007 nantinya tidak justru menjadi kontraproduktif terhadap demokrasi itu sendiri akibat kegiatan-kegiatan jurnalisme yang dijalan oleh lembaga-lembaga pers penerbitan dan penyiaran.

Lalu bagaimana pendapat Anda dengan suara yang mengatakan bahwa eLSIM hanya batu loncatan untuk menduduki jabatan penting lainnya, sebagaimana banyak anggota-anggota eLSIM telah berhasil lakukan?

Andalah yang kesekian kalinya mengatakan itu. Tetapi nyatanya, siapa yang menyebut almarhum Prof Muis menjadikan elsim sebagai batu loncatan untuk menduduki jabatan guru besar di Unhas atau menjadi guru besar Universitas Sahid Jakarta? Siapa pula yang menyebut bahwa Pak Aidir itu ke KPU Sulsel karena kedudukannya di Elsim? Itu kan tidak beralasan. Itu juga terjadi di LBH sebelum Mulyana W. Kusuma ke KPU. Itu juga terjadi di ISAI Jakarta sebelum Bimo Nurgroho ke KPI.

Tapi kalau orang menganggap itu sesuatu yang salah, mereka sendiri yang repot memikirkan itu. Kira-kira kalau mereka di elsim terus ditawari jadi menteri, misalnya, apa mereka menolak? Saya kira mereka juga bukan malaikat yang sesuci dan sebaik itu. Elsim sebagai batu loncatan, ya, barangkali memang. Tetapi apakah itu salah? Apakah itu tidak etis? Entahlah.

Terakhir. Coba Anda definisikan dalam satu kalimat pendek, wartawan yang kerjanya cuma menunggu berita di humas-humas kantor pemerintahan!

Itu wartawan kurang kerjaan.
Selengkapnya >>

Jumat, 09 Februari 2007

PP No 37/2006 : Regulasi Melukai Hati Rakyat

Oleh Hisar Sitanggang

Jakarta (ANTARA News) - Penolakan atas PP No 37 tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD makin meluas, karena regulasi yang mengatur tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional DPRD itu dinilai sebagai bentuk pelegalan korupsi.

Aksi penolakan itu tidak hanya dilakukan para aktivis, mahasiswa, atau LSM, juga para partai- partai politik. Banyak anggota DPRD yang juga menyatakan penolakannya secara terbuka, padahal pemerintah "terpaksa" memberlakukan regulasi itu karena mendapat tekanan-tekanan politik terutama dari anggota dewan itu.

Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch (ICW), menuding PP No 37/2006 itu merupakan legalisasi korupsi, karena itu ia menuntut peraturan itu dicabut. Tudingan yang sama juga disampaikan banyak elemen lainnya di berbagai wilayah Indonesia, seperti LSM ESB Banjarmasin.

Gabungan 10 LSM di Jakarta belum lama ini dengan tegas meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghentikan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional DPRD.

Bahkan, Ketua Pusat Anti Korupsi, Denny Indrayana mengharapkan Presiden untuk tidak malu mengatakan PP No 37 itu salah.

Pemberlakuan PP No 37 tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD itu memang memberatkan keuangan negara dan keuangan daerah, terutama aturan yang mewajibkan pemerintah daerah memberikan tunjangan rapel mulai Januari 2006.

Untuk membayar rapel 15 ribu anggota DPRD di seluruh Indonesia, diperkirakan diperlukan anggaran hampir Rp1,2 triliun. Ironisnya, dari 434 daerah di Indonesia, hanya 37 daerah yang mampu membayar rapel tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional tersebut, seperti Jakarta dan Kutai Kartenagara.

Dana tunjangan DPRD itu jauh lebih besar dibandingkan dengan alokasi penanganan flu burung yang nilainya 61 juta dolar AS untuk 2007. Padahal penanganan flu burung yang semestinya diutamakan karena telah berdampak buruk terhadap perekonomian Indonesia, terutama bagi rakyat kecil.

Laporan akhir tahun 2006 Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyebutkan terjadi penurunan wisatawan manca negara sebanyak 4 persen, dan salah satu penyebab utamanya adalah maraknya penyakit flu burung di Indonesia.

Kenaikan tunjangan itu juga kurang tepat di tengah meningkatnya jumlah penduduk yang miskin maupun yang tidak memiliki pekerjaan di Indonesia.

Penduduk miskin Indonesia tahun 2005 mencapai 35,1 juta orang, hampir miskin 26 juta orang, dan di bawah garis kemiskinan mencapai 61,1 juta orang. Penduduk miskin di tahun 2006 kemudian meningkat menjadi 39,1 juta orang, hampir miskin 28,6 juta orang, dan di bawah garis kemiskinan menjadi 67,7 juta orang.

Sedang penduduk yang tidak memiliki pekerjaan mencapai 41,1 juta orang, suatu angka pengangguran yang besar bagi negeri berpenduduk 220 juta.

Di tengah banyaknya bencana alam, kecelakaan trasportasi, merebaknya penyakit flu burung, dan membengkaknya angka pengangguran dan penduduk miskin, momentum kenaikan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional DPRD adalah tidak tepat dan melukai hati rakyat.

Ketua Forum Rektor Indonesia, Sofian Efendi, dalam diskusi di The Habibie Center belum lama ini bahkan menyebutkan PP No 37 tahun 2006 itu sangat menyakitkan karena memperkaya para wakil rakyat, dan melukai hati rakyat yang sebagian besar masih hidup miskin.

Hasil riset yang dilakukan Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebutkan, jika PP Nomor 37 Tahun 2006 diberlakukan maka pendapatan Ketua DPRD Provinsi menjadi 36,269 juta.

Angka ini melebihi pendapatan Ketua Mahkamah Agung yang hanya mendapat Rp 24,390 juta dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dibayar Rp23,940 juta.

Berdasarkan PP itu, maka pendapatan yang diterima Wakil Ketua DPRD Provinsi sebesar Rp26,9 juta, anggota DPRD Provinsi sebesar Rp22,1 juta, Ketua DPRD Kabupaten/Kota sebesar Rp25,3 juta, Wakil Ketua DPRD Kabupaten/Kota sebesar Rp18,1 juta, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota mencapai Rp16,8 juta.

Kalangan kritis UGM yang tergabung dalam PuKAT itu juga mengungkapkan pendapatan DPRD itu jauh melebihi pendapatan Gubernur yang hanya Rp8,4 juta, Bupati Rp5,8 juta, atau seorang guru besar bergolongan IV/e dengan masa kerja 32 tahun yang hanya mendapatkan Rp6,3 juta per bulan.
Revisi
Aksi penolakan PP No 37/2006 tetap marak, sementara Parpol- Parpol telah mengambil keuntungan politis dengan memerintahkan kader-kadernya di DPRD untuk menolak rapel tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional tersebut.

Menurut sejumlah kalangan, ketika DPRD menolak kenaikan tunjangan itu akibat maraknya aksi penentangan oleh rakyat, sebenarnya itulah momentum terbaik bagi pemerintah untuk merevisi PP No 37 tahun 2006 itu.

Sikap penolakan DPRD dan parpol itu memang merupakan bentuk inkonsistensi, karena kenaikan tunjangan itu sebenarnya berdasarkan tekanan politik Parpol kepada pemerintah.

Ketika PP No 110/2000 dibatalkan oleh Mahkamah Agung, DPRD telah berulangkali mendatangi Depdagri untuk meminta diterbitkannya pengganti PP tersebut.

Banyak kalangan bahkan mengharapkan pemerintah untuk tidak malu- malu dan berani membatalkan peraturan pemerintah itu.

Dengan demikian, stigma "melegalkan korupsi politik" bisa direduksi, dan PP No 37/2006 yang ditandatangani pada 14 November 2006, namun diberlakukan mulai Januari 2006 itu, tidak menimbulkan permasalahan sosial baru.

Namun, ada juga yang mengharapkan PP No 37 tahun 2006 itu direvisi saja melalui Peraturan Presiden (Perpres) untuk menyeimbangkan tuntutan rakyat dan tunturan Parpol-DPRD.

Selain itu, DPRD semestinya juga memiliki rasa keadilan dengan mengambil tunjangan komunikasi dan dana operasional yang terendah, dan bukan yang maksimal. Jika mengambil tunjangan maksimal, maka pendapatan DPRD itu menjadi sangat tidak proporsional jika dibandingkan dengan PAD-nya.

Melihat maraknya aksi penentangan di berbagai daerah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya memerintahkan Mendagri M Ma'ruf untuk mengkaji ulang PP No 37 tahun 2006 itu yang disesuaikan dengan kemampuan daerah.

PP 37 tahun 2006 tersebut sebenarnya sudah lama dibahas oleh pemerintah. Sebelum PP 37, tidak ada batasan-batasan pemberian tunjangan DPRD sehingga menimbulkan perbedaaan yang tajam antara daerah kaya dan daerah yang kurang mampu.

Kemudian Mendagri mengeluarkan SE No 188 tanggal 4 Januri 2006 yang menyatakan bahwa berbagai macam tunjangan, seperti upah kerja, uang lelah, dan insentif khusus anggota DPRD, sebagaimana diatur dalam Perda, adalah tidak sah.

Padahal di sejumlah daerah, penghasilan tambahan itu sudah disampaikan kepada anggota dewan, dan dianggarkan dalam APBD 2006. Misalnya, Pergub DKI No 114 tahun 2005 tertanggal 10 September 2005 telah menetapkan pemberian tunjangan komunikasi Rp2 juta setiap kali anggota dewan menerima tamu.

Sehubungan adanya SE Mendagri itu, DPR melakukan tekanan politik kepada pemerintah untuk segera menerbitkan PP yang mengatur masalah gaji dan tunjangan DPRD. Draft PP No 37 tahun 2006 itu disusun pada Februari 2006, kemudian diserahkan kepada kepada Sekretariat Negara pada Maret 2006, namun baru disahkan Presiden pada 14 November 2006.

Suara-suara yang menolak atau menuntut revisi PP No 37 itu dan rasa keadilan dalam penggunaan anggaran tentunya tidak boleh diabaikan oleh pemerintah.(*)


Copyright © 2006 ANTARA



30 Januari 2007 20:57
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim