SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Sabtu, 23 Desember 2006

Pilgub Sulsel dan Gunung Merapi Berpacu

Oleh Maqbul Halim
[Mei 2006]

Kepulan kabut-putih-panas kian lebar mengepak ke angkasa dan meniti lereng dari hari ke hari. Desakan magma panas sebagian memang masih tertahan. Tetapi kita bisa membayangkan ketika magma itu muncrat dan menyembur terburai. Segenap hal-ikhwal di sekitarnya menjadi gosong. Dan memang, satwa alam yang mengerti tanda-tanda alam, telah hengkang beberapa bulan silam. Gunung Merapi di Jawa Tengah: bergelegar, deru-seru, bergetar, berdentum.

Pilkada langsung Gubernur Sulsel memang masih setahun lebih. Tapi, sosok-sosok bakal cagub Sulsel kian atraktif berjingkrak di ruang-ruang publik. Desakan khayalan dan hasrat yang panas dan kuat menjadi gubernur, sebagian memang masih tertahan. Tetapi kita bisa membayangkan ketika pilgub Sulsel usai, hanya ada dua pihak: yang menang dan yang kalah. Segenap hal-ikhwal seusai pilgub menjadi gosong. Dan memang, jawara-jawara politik telah keluar dari sarangnya sejak setahun silam. Sulsel menjelang Pilgub yang masih lebih setahun lagi: bergelegar, deru-seru, bergetar, berdentum.

****

Dimana pun anda berada, jika di tempat itu seorang bisa menjadi pusat perhatian, anda dipastikan bisa mendapati satu atau lebih bakal cagub Sulsel. Talkshow radio, diskusi warung kopi, seminar, tadarrus berjamaah, zikir massal, konser musik, pesta adat, fans club, dan seterusnya merupakan wadah beramal sholeh bagi mereka. Bukankah menebar senyum dan tawa adalah perbuatan sholeh.

Tak ada cara lain, selain berbuat baik. Bahkan lebih baik lagi dari itu. Sekalipun hanya sementara—selamanya juga mustahil. Hanya itu alternatif bagi mereka yang bakal cagub. Sebuah alternatif yang tidak kreatif namun berdaya tipu amat dahsyat. Paling tidak, seperti itulah proses kerja peristiwa cognitif dissonance. Seseorang dapat saja fasih bernubuat tentang makna hidup dan kearifan. Namun nubuat itu bukanlah implikasi dari pemaknaan hidupnya. Ia sesuatu yang berbentuk pengetahuan yang bisa diucapkan oleh siapa pun.

Kalau pun mesti menyebut mereka yang bakal cagub ini sebagai si Mahatma Gandhi, tetaplah Mahatma Gandhi imitasi. Mereka hanya realitas media, realitas buku, realitas radio, realitas seminar. Bukan realitas yang sesungguhnya. Mereka-mereka itu hanyalah Mahatma Gandhi hingga Pilgub usai. Mereka hanyalah bayang-bayang. Seorang bakal cagub memang berpeluang besar seperti Janus. Janus merupakan salah satu dewa Yunani yang memiliki dua wajah, satu wajah di depan penonton dan satunya ketika di kamar ganti.

Tetapi, kita juga yakin bahwa seminar, diskusi warung kopi, talkshow radio, zikir massal, tadarrus berjamaah, konser musik bukanlah perkakas sihir yang berdaya magis. Seorang tokoh mampu menyihir bukan karena pilgub. Maka, kita pun yakin bahwa A. Amiruddin yang mantan gubernur Sulsel itu menjadi tokoh bukan melalui seminar, buku profil, diskusi warung kopi dan seterusnya sebagai sihir. Dia bukanlah bayang-bayang hitam yang mudah lenyap dalam terang benderang. Ia tersohor karena gagasan briliannya. Bukan karena ia ditokohkan, dibukukan, diprofilkan, dan seterusnya.

Seorang tokoh, dalam artian bukan bakal cagub, memang telah ditandai secara natural oleh zaman sebelum masa kemilaunya tiba. Ia bergerak lamat-lamat keluar dari kehidupan privat, lalu hadir dalam ruang gagasan dan karya. Ia mendesain sebuah gagasan namun tidak dalam ranah “manis di bibir”. Ia mengalir bersama gagasan dan keyakinan, beriring hingga ke masa kemilau itu. Sebuah rekam jejak yang tidak a-history. Ia bukan sosok yang tiba-tiba muncul dari samping dan langsung tiba di garis finish. Ia bukan anomali, seperti seorang yang tiba-tiba jadi ustad alim dalam sekejap mata.

Tetapi, ketika suatu bangsa bernafas perih dalam kepenatan, seorang tokoh memang diperlukan. Ketika itu pulalah tokoh hadir karena diperlukan. Dunia industri yang diilhami oleh konstruksi media selama ini telah menyediakan menu tokoh yang ala fast-food. Untuk tujuan ini, kata Karlina Leksono-Supeli (2002: 117), ruang publik direduksi menjadi masalah manajemen dan pasar. Seorang tokoh merupakan titik equilibrium antara permintaan dan penawaran. Hasil dari sebuah tindakan efisien dan efektif dalam suatu organisasi produksi.

Seorang yang ditokohkan tapi bukan dari sebuah pergulatan gagasan dan karya besar, tentulah kesepian. Dalam kesepianya, seorang tokoh cenderung mencari pelarian (eskapis). Khayalan dan hasrat selalu menjadi ruang eskapis. Di ruang itu, ia akan membangun panggungnya sendiri dan mendekornya. Memobilisasi penontonnya sendiri. Ia melakon sekaligus sutradara. Sebuah lakon yang nyaris hampa kisah: sosok tanpa pokok. Sebab, arena-arena yang ada telah diisi oleh tokoh-tokoh yang telah terekam dengan baik melalui jejak-jejak historis yang jelas dan benderang.

Ketika suatu musim pilgub tiba dan sebuah subyek hendak menceraikan seorang tokoh dari khayalan dan hasratnya, maka sikap resistensilah jawabannya. Suatu sikap resisten hanya menawarkan dua opsi: memihak atau melawan. Tentu saja pemecahan yang paling dekat untuk itu adalah kekerasan. Mungkin itulah sebabnya sehingga sebagian orang-orang menyebut pilkada sebagai gudang mesiu.

Sejumlah argumen dapat ditesiskan untuk menjelaskan mengapa pilkada ibarat gudang mesiu. Berangkat dari khayalan dan hasrat seorang tokoh yang kesepian, merupakan pangkal yang terang. Tak ada khayalan dan hasrat dalam rangka pilkada yang sungguh-sungguh gratis. Membangung panggung sendiri, mengerahkan sendiri penonton dan lalu kemudian berpentas sendiri adalah tindakan yang melelahkan dan berlumur peluh. Tak ada kenikmatan dan makna karena proses itu hanyalah instrumen antara menuju peristiwa berbaliknya khayalan dan hasrat seorang tokoh menjadi kenyataan yang sesungguhnya.

Untuk mengantar khayalan dan hasrat seorang tokoh menjadi kenyataan, jejaring keluarga, klan, dan rupiah pun dikerah-siagakan. Ia meletakkan silsilah tanpa tepian. Ia merumuskan kembali loyalitas klan. Ia menjadi penderma “tanpa pamrih”. Semua berderap-lintas mengusung khayalan dan hasrat menuju tapal batas kenyataan. Rutinitas makan dan tidur menjadi tidak normal karena bayang-bayang kenyataan yang kian dekat. Hadir tonton bareng KDI atau AFI di hotel atau kafe dibiarkan mengalahkan waktu malam sebagai jeda istirahat yang sudah menjadi tabiat. Rahang ditempa setiap pagi agar stamina senyum dan tawa tetap bisa diumbar sepanjang waktu.

Semua kerelaan itu berarti sesuatu yang padat nilai. Sebuah kerelaan yang menterlanjurkan pengorbanan, dan kepadatan nilai yang menunjukkan ketiada-taraan. Orang-orang mungkin menyebutnya sebagai kekuatan penuh (powerfull). Ketika ia mengalir, ia arus yang amat deras, melabrak, menggilas, menyambar, dan menjebol. Yang hanyut bersama arus ini adalah kawan (“pihak kita”) dan yang tidak seiring adalah musuh (“melawan”).

Pilgub adalah sebuah musim yang bertugas mengubah status khayalan dan hasrat menjadi kenyataan. Kita bisa menghitung sendiri, berapa banyak tokoh-tokoh bakal cagub yang mendaftarkan khayalan dan hasratnya di musim ini untuk dikemas menjadi kenyataan. Setiap tokoh bakal cagub tentu saja datang dengan arus powerfull-nya. Tiap tokoh menunjuk yang lain (rival) sebagai musuh (“melawan”). Patron perang terdesain dengan sendirinya. Persinggungan arus menjadi niscaya. Menghancurkan tidak lagi sekedar pilihan, tetapi sesuatu yang harus direbut, kalau bukan dirampas.

Musim pilgub Sulsel masih setahun lebih. Tetapi patron perang itu telah terbentang. Suhu panas meningkat tajam hingga di titik ubun kepala. Tengoklah mereka, bakal cagub itu. Mereka sekarang sedang mengerahkan senjata-senjatanya berupa seminar, talkshow radio, diskusi warung kopi, jaringan ormas-ormas dan parpol, temu konstituen, peluncuran buku, kolom-kolom surat kabar, safari ke sana dan ke situ, berafiliasi ke group band, menghadiri event-event olah raga, kunjungan dinas, dan seterusnya. Tengoklah geliat organisasi-organisasi yang sedang di puncak krisis agenda kerja. Mereka dengan gagah dan tegap menyatakan dukungan dan sokongannya kepada bakal cagub tertentu. Tengoklah polling-polling surat kabar dan radio, yang dengan liar dan cacat metodologi mempersentasekan peluang-peluang bakal cagub.

Bukankah perang itu sesungguhnya telah berlangsung? Seragam pejuang-pejuang yang mengusung tokoh bakal cagubnya juga telah terang dalam warna silaunya. Setiap hari, sebagian orang merasa terhimpit, bahwa besok sudah berlangsung hari pencoblosan Pilkada Gubernur Sulsel. Sebuah perang yang belum menumpahkan darah, sebuah perang yang belum bersenjata tajam. Para politisi beringsut seperti ikan di lumpur yang ditinggal air: meronta dan belingsatan.

Faktanya, pilkada gubernur Sulsel masih lebih setahun lagi. Tetapi, genderang “perang” telah ditabuh. Terompet perang telah “mengaum”. Arus powerfull khayalan dan hasrat yang panas dan kuat untuk menjadi gubernur saat ini memang masih tertahan. Tetapi kita bisa membayangkan ketika pilgub usai, hanya ada dua pihak: yang menang dan yang kalah. Segenap hal-ikhwal seusai pilgub menjadi gosong.

Dan, musim pilgub hanya bisa menghasilkan seorang pemenang. Musim itu bukan sejenis rahim yang memungkinkan kelahiran kembar. Sisanya, tentu saja adalah barisan para pecundang. Sesal dan marah bagi si pecundang, yang pasti, jauh lebih kuat ketimbang sikap sabar dan tawadhu. Wajah kalem jadi murka. Kedermawanan menguap. Senyum tak diperlukan lagi. Sikap bersahabat digantikan sikap paranoid. Langit jadi kelam gulita. Kekalahan seperti kilatan petir menyambar, lalu menampar harga diri. Para pecundang mendapati kenyataan yang ternyata adalah banyangannya sendiri, tak kan pernah tergapai.

Pemenang pun juga akan berangkat. Karena itu, musim berperilaku Robin Hood atau Mahatma Gandhi telah usai. Dengan tropi kemenangannya, ia memilih menjadi deseperados (bandit sosial yang dikisahkan Eric J. Hobsbawn), ketika pemerintahan telah dilemahkan dan terpecah-pecah. Juga dengan wajah yang sama: tak ada lagi peduli derma, senyum hanya untuk orang-orang tertentu, sikap bersahabat menjadi sikap paranoid, dan seterusnya.

Pilkada gubernur Sulsel telah berlalu. Diskusi warung kopi, forum seminar, dan talkshow radio tak lagi berhiaskan tokoh-tokoh bakal cagub yang telah kalah maupun yang telah menang. Zikir massal dan tadarrus berjamaah yang pernah bertalu-talu, telah ditinggal sepi oleh mereka. Tak ada lagi rangkaian peluncuran buku yang pernah meningkatkan pendapatan hotel, percetakan-penerbit, dan editor. Langit menjadi tenang, “hawa” Sulsel beranjak sejuk, warga tak sesak nafas oleh polusi obrolan tentang pilgub. Dan, gunung Merapi di Jawa Tengah telah didatangi kembali oleh penduduk desa setelah usai memuntahkan lava panasnya.

Penulis: Anggota komunitas ëLSIM Makassar
[Pernah dimuat di Tribun Timur]
Selengkapnya >>

Tom and Jerry Ternyata Tidak Berbahaya

Oleh Maqbul Halim
(12 Nopember 2006)

Minggu 15 Oktober 2006 silam, Harian Nasional Tribun Timur melansir berita headline dengan judul “KIPD: Tom and Jerry Bahaya Buat Anak”. Selain dari judul itu, tercatat juga film anak-anak lainnya seperti Shin-Chan, Pokemon, Conan, dan sebagainya. Yang dimaksud KPID dalam judul tesebut adalah Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sulawesi Selatan.

Pernyataan institusional KPID Sulsel ini diklaim sebagai hasil riset. Kata “riset” itu memaksa kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan ilmiah, misalnya, yang konon mainannya orang-orang kampus perguruan tinggi. Andaikan ini hasil survey, kira-kira pertanyaan ilmiahnya antara lain: berapa jumlah sampelnya, berapa marjin erornya, lokasi sampel dimana, dan karakteristik sampelnya bagaimana? Kalau misalnya riset analisis, metode analisisnya apa, paradigma (teori) riset apa yang digunakan, dan sebagainya.

Karena berita tesebut tidak dilengkapi dengan latar belakang metode riset dan serta cuplikan analisisnya, sebagaimana lazimnya hasil penelitian atau riset yang dipulikasikan oleh media harian, maka kesimpulan yang dinyatakan itu pun lebih patut disebut sebagai hipotesis. Sampai pada titik ini, sesungguhnya Tribun Timur juga terbilang tidak kreatif mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau keberatan ilmiah atas hasil riset ilmiah itu. Indikasi itu bisa dilihat dari tiadanya metode analisis yang digunakan riset itu.

Oleh karena itu, cukup beralasan menyebutkan bahwa apa yang dideklarasikan KPID Sulsel itu hanyalah hipotesis dari sebuah teori. Teori apa itu, berita tersebut juga tidak terang. Nilai-nilai yang terungkap dari film-film itu, seperti nilai kekerasan, pornografi, permusuhan, kira-kira hanyalah asumsi-asumsi belaka. Asumsi-asumsi yang diriset inilah yang kemudian dijadikan pernyataan hipotetik oleh KPID di hadapan jurnalis pada Minggu, 15 Oktober itu.

Perspektif Masalah
Mencermati nilai-nilai yang menjadi highlight “hipotesis” tesebut, boleh jadi metode riset yang digunakan adalah analisis isi (content analysis) kualitatif. Asumsi dasarnya adalah bahwa perilaku buruk anak-anak ditentukan oleh tontotan mereka terhadap film-film kartun yang bernilai buruk. Dalam ilmu komunikasi, teorema di atas dikenal dengan nama Teori Terpaan (cultivation theory). Jika benar bahwa asumsi dasarnya berasal dari Teori Terpaan, berarti hulu perkaranya ada berkembang dari perspektif Behaviorisme (salah satu dari empat perspektif besar dalam psikologi dan digelari Mazhab Kedua).

Film kartun Tom and Jerry yang dinilai KPID Sulsel berbahaya bagi anak-anak jelas didasarkan pada teori dan perspektif ini. Film ini ditengarai menyajikan aksi-aksi sadisme. Jika anak-anak terus menonton film ini, anak-anak itu akan berperilaku sadis juga. Jika peristiwa ini dikemas ke dalam model perspektif Beharviorisme, maka rumusnya adalah Stimulus – Respon (S-R). Jika stimulusnya (materi tontonannya) negatif, maka negatif pula responnya (perilaku anak itu).

Perspektif ini terbilang sudah usang dalam dunia psikologi, khususnya dalam psikologi komunikasi (Jalaluddin Rakhmat, 2001). Ilmu alam yang sangat positivistik itu sesunggunya sedang menjajah ilmu-ilmu sosial, termasuk psikologi, melalui Behaviorisme ini. Perpspektif ini, oleh A. Fisher (1978), dianggap mendehumanisasi manusia.

Manusia dalam perspektif ini ibaratnya seperti mesin, tidak punya inisiatif dan belaka melaksanakan perintah (Homo Mechanicus). Kira-kira serupa dengan logam besi yang kalau dipanaskan hingga 1.000 Co, pasti akan meleleh. Tidak ada peluang bagi besi itu, misalnya, bersikap malas atau menolak meleleh seperti halnya manusia yang mempunyai fungsi-fungsi internal organisme.

Multi Perspektif
Dalam mengkonsepsi perilaku manusia terhadap efek tontonan film, misalnya, Behaviorisme hanyalah salah satu dari empat perspektif besar dalam Psikologi Komunikasi untuk mempelajari hal tersebut. Tiga perspektif sisanya adalah Psikoanalisis (Mazhab Pertama), Kognitif, dan Humanisme (Mazhab Ketiga). Psikoanalisis memandang manusia sebagai mahluk berkeinginan (homo volens) dengan tiga subsistem kepribadian; Id, Ego, dan Super Ego. Kognitif memandang manusia sebagai mahluk berpikir (homo sapiens), dimana perilaku manusia ditentukan oleh pikirannya.

Yang terakhir adalah perspektif Humanisme yang memandang manusia sebagai mahluk bermain (homo ludens). Perspektif ini mengedepankan aspek-aspek yang sangat pribadi dalam diri manusia untuk berperilaku, yakni motivasi. Apa rupa bahaya efek Tom and Jerry itu bagi anak-anak yang menontonnya, sangat tergantung dari pilihan perspektif yang digunakan. Kalau KPID Sulsel meninjau isi film-film itu bagi perilaku anak-anak dengan perspektif Kognitif, kemungkinan tidak berbahaya karena anak-anak punya potensi dewasa, yaitu bisa berpikir.

Manusia, termasuk anak-anak, adalah mahluk yang memiliki fungsi organisme yang bekerja secara manusiawi. Dalam model Psikologi Komunikasi, fungsi internal organisme itu dilambangkan dengan “O”. Dalam rumusan Behaviorisme yang dijadikan dasar berpikir oleh KPID Sulsel di atas, elemen “O” ini tidak berlaku. Yang berlaku adalah rumus S-R.

Dalam perspektif yang tidak mekanistis seperti Psikoanalisis, Kognitif, dan Humanistis, elemen “O” di atas menjadi bagian integral sehingga rumusnya menjadi “S-O-R” (Stimulus, Organisme dan Respon). Hipotesisnya adalah film-film buruk yang ditonton oleh anak-anak, tidak serta-merta membuat perilaku mereka buruk. Dalam hal ini, fungsi internal organisme (O) yang menentukan, bukan stimulus (S).

Fungsi-fungsi internal Organisme mencakup sensasi (obyek yang diindera), assosiasi, persepsi (cara memandang), memori (ingatan-ingatan), dan berpikir (cara dan kemampuan berpikir). Fungsi internal inilah yang mampu mengontrol lingkungan eksternal sekaligus menghumanisasi manusia agar tidak seperti mesin atau material logam.

Fakta-fakta Sejarah
Faktanya, sistem pengajaran di sekolah yang beraroma Behavioristis selama ini, lebih banyak tidak tepat janji. Para koruptor dan pejahat yang menjadi pejabat, ustad, tokoh masyarakat, dokter, profesional, menteri, pengusaha, dan lain-lain yang berusia 35 tahun ke atas saat ini, umumnya pernah mengenyam pelajaran sekolah Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di masa Orde Baru. Tidak cukup dengan itu, mereka dihadang dengen Penataran Pedoman, Penghatan, dan Pengamalan Pancasila (P4) setiap hendak masuk SMP, SMA(U), Diploma, PT, dan Prajabatan bagi PNS.

Selain dari itu, saat Orde Baru ketika itu, setiap hari juga mereka disuguhi program-program tayangan TVRI yang betul-betul bersih dari anasir-anasir kekerasan, porno, permusuhan, dan sejenisnya. Musik dan lagu di RRI dan studio rekaman yang menjadi bagian penting hidup manusia Indonesia, pun juga tidak dibiarkan mengkhianati moral Pancasila dan agama. Apa yang dihasilkan oleh semua stimulus massif itu dalam tinjauan Behavioristis adalah kekeliruan. Itulah sebabnya sehingga cara pandang ini disebut usang.

“Hipotesis” KPID Sulsel di atas yang terkesan behavioristis itu betul-betul sangat simplistis dan terus setia bersikap eskapis terhadap kompleksitas perilaku manusia, baik secara sosial maupun secara individual. Perkara perilaku manusia di hadapan efek media massa direduksi menjadi persoalan mekanistis. Perilaku manusia digaransi hanya menurut pada logika linear dengan mengesampingkan eksistensi fungsi internal Organisme pada diri manusia yang paling pribadi.

Jika kita setuju dengan eksistensi fungsi internal Organisme, maka masa depan perilaku anak-anak ada pada pendampingan fungsi-fungsi Organisme itu. Perkembangan psikologis fungsi Organisme yang tidak sehat pada anak akan memberi kontribusi yang signifikan pada perilaku mereka di kemudian hari. Oleh karena itu, kecemasan mengenai perilaku jahat anak-anak semestinya tidak ditarik dari titik Stimulus, melain dari ruang Organisme. Perkara bukan pada tontonannya, tetapi pada sehat tidaknya kondisi internal Organisme seorang anak.

Perspektif ini tidak menempatkan film-film atau bacaan-bacaan buruk sebagai musuh. Stimulan (stimulus) itu hanyalah awal dari suatu proses yang sangat cair dengan peluang akibatnya amat rumit, tidak sesederhana dalam perspektif Behaviorisme.

Dengan demikian, “hipotesis” KPID Sulsel di atas terhadap isi film-film kartun yang mereka kategorikan berbahaya, belum argumentatif untuk dicemaskan. Kalau pun pada akhirnya itu memang adalah kecemasan, tetaplah kecemasan yang debatable. Oleh karena itu, kecemasan ditentukan oleh cara pandang. Cara pendang dintentukan oleh kepentingan terhadap hal-hal yang dicemaskan.

Penulis: Anggota Komunitas ëLSIM Makassar
Selengkapnya >>

Jumat, 22 Desember 2006

Guyon Politik Kosong-kosong

Oleh Maqbul Halim

“Seandainya presiden dipilih langsung oleh rakyat dalam Pemilu 2004 dan tak lagi oleh MPR, apa dampaknya terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia?” Pertanyaan ini pernah diajukan oleh R. William Liddle melalui artikel di harian Kompas (8 Maret 2000). Saat ini, pertanyaan itu masih bisa digunakan dengan memangkas komponen demokrasi dari kalimat itu: “.... apa dampaknya [terhadap perkembangan demokrasi—omit] di Indonesia?” Jawaban atas pertanyaan ini diperkirakan mampir di Warung Kopi Phoenam pada Jumat, 12 Mei silam.

Diskusi Liar

Di tempat itu, sekawanan “satria bicara” sedang berkerumun mengerubuti sebuah meja bundar. Mereka adalah Amir Madjid, Pahir Halim, Hidayat Nahwi Rasul, Adil Patu, dan Supriansyah. Seorang lagi yang bernama Andi Mangara, kelihatannya bertugas memberi panduan bicara. Mereka sedang berparodi tentang Broker Politik pada rubrik “Guyon Politik Kosong-kosong” atau GPK-nya Radio Mercurius.

Lalu-lintas pembicaraan memang terkesan a-narkis. A berarti tidak atau di luar dan narkis berarti teratur. Dengan kata lain, diskusi mengalir di luar seperti biasanya sebuah diskusi “benaran”. Tetapi, apa yang diobrolkan oleh mereka tidak dengan sendirinya tidak benar. Memang tidak metodologis, tidak filosofis pula. Mereka mungkin lebih setuju menganut Wittgenstein, filsafat sering meninggalkan dunia sebagaimana adanya. GPK, yang memandang dunia apa adanya, taken for garanted, memilih menjauh dari filsafat. Dan juga hal-hal yang metodologis, karena lelucon memang tak terduga dan tak beraturan.

GPK, sepertinya, juga bukan sebuah parade berbalas pantun. Sebuah parade yang akrab ditemui di ruang-ruang sidang pengadilan. Para Pendekar Bicara tidak dituntut berbusana juba yang umumnya dikenakan oleh hakim dan pengacara di ruang sidang untuk membedakannya dari malaikat hitam. Tata krama berdiskusi hanya milik mereka yang angkuh dan jumawa dalam terali kharisma akademiknya.

Begitulah GPK berhelat bicara. Sebuah medium komunikasi politik yang mengalir di luar tradisi komunikasi mainstream, menelanjangi, genit, simplistis, liar tapi bisa jinak, funky, dan yang pokok adalah kerelaan mentertawai diri sendiri. Gaya komunikasi politik ala GPK mengajak memahami ikhwal politik dengan cara tertawa. Pemahaman yang berujung tawa, gaya GPK, adalah salah satu strategi memahami persoalan politik.

GPK tidak berpretensi menggalang pengaruh untuk berkuasa, seperti pernah dituduhkan Harrold D. Lasswell pada tahun 1948 di AS mengenai inti suatu aktivitas komunikasi politik. Satu-satunya yang digalang oleh GPK adalah narasi-narasi konyol dan bertentangan dengan akal sehat dari suatu petaka-petaka politik picisan. GPK datang sebagai komunikasi politik alternatif. Ia tidak menjanjikan, tapi bisa menjadi harapan yang tak pupus ketika sebuah musim politik usai. Ia menghadirkan humor segar di tengah politik serius Sulsel yang genit, dimana pilgub lebih penting ketimbang “hidup”.

Komunikasi Politik

Komunikasi politik ala GPK lebih bermodel transaksional (transactional communication). Model ini dikenal dengan model komunikasi P-A-C (Parent-Adult-Child). Sebuah pesan-pesan politik yang berderajat dewasa (adult) direspon dengan derajat kanak-kanak (child) atau “A–C”. Pada situasi lain, pesan-pesan politik yang berderajat kanak-kanak bisa juga ditanggapi dengan derajat orang tua (parent) atau “C-P”.

Untuk cuaca politik yang serius semisal jelang pilgub Sulsel, model yang aktual adalah “P-A”, “A-P”, “P-P”, dan “A-A”. Yang berbicara tampak gagah, serius, menyerang dan berapi-api. Yang menyimak sumringah, curiga, “dingin”, dan dendam. Wajah komunikasi politik menggelinding datar, tanpa lelucon. Dimana-mana, hidup sosial yang normal pasti memiliki ruang untuk lelucon. Lalu, hidup berpolitik yang tidak normal adalah yang menutup ruang lelucon. Kita mesti berterima kasih pada Gus Dur sebagai presiden yang pertama di dunia mengawinkan kekuasaan dan kejenakaan di Indonesia.

Dalam komunikasi politik ala GPK, ada dua jenis yang aktual. Yakni “A-C” dan “P-C”. Jenis “A-C” bisa dilihat pada ucapan Hidayat Nahwi Rasul bahwa seorang broker politik harus bermoral, berhati nurani, dan lain-lain. Seorang pendengar radio menanggapi ucapan itu melalui SMS: “Apa pun jualan broker politik, yang penting persennya.” Jenis “P-C” bisa dilihat pada penjelasan Adil Patu bahwa Tim Sebelas yang ia organisir adalah sebuah tim yang berupaya “meminang” figur cagub yang ideal bagi warga Sulsel. Penjelasan itu disatir oleh Supriansyah bahwa semua “pinangan politik” mensyaratkan “mahar politik”.

Pembebasan humanisme melalui parodi komunikasi politik yang berangkat dari pinggiran, seperti Gus Dur membebaskan, adalah GPK. Entah rupa apa, sebuah demokrasi yang menjauhkan diri dari kejenakaan? Mungkin seperti wahyu Tuhan yang menolak humor! Komunikasi politik yang berjenaka memang tidak bergemuruh, tanpa kemarahan besar, tidak menjanjikan tragedi. Karena itu pula, ia tidak seksi bagi dunia kampanye politik maupun broker politik.

Topik Labil

Ketika GPK berhelat bicara tentang broker politik 12 Mei silam, demokrasi, pilgub Sulsel, pengangguran, mahar, barang politik murahan, partai politik, figur bakal cagub Sulsel, semua diaduk-kocok tanpa ampun. Itulah sebabnya, mungkin, GPK yang liar itu bisa juga dikatakan asal seruduk. Topik “Broker Politik”, misalnya, terjun bebas mencederai dan mengitik. Adil Patu yang pada perhelatan itu didaulat sebagai aktor “broker politik” diyakini merupakan korban pengangguran. Lapangan kerja yang sulit, kerap memaksakan profesi makelar (broker) menjadi jalan keluar yang paling dekat. Sebuah topik seperti itu bisa tiba-tiba menjadi cair dan lentur.

Laju gerak diskusi bisa juga abai terhadap jarak koherensi topik dari satu premis ke premis yang lain. Ketika seorang Amir Madjid mencetus gagasan menyamakan broker politik dengan profesi konsultan politik, seorang penonton diskusi keberatan. Alasannya, untuk menjadi konsultan, seseorang harus pernah menjalani pendidikan khusus. Untuk menjadi seorang broker, apapun jualannya, dengan pendidikan terakhir yang hanya hingga Taman Kanak-kanak (TK), pun dianggap sudah lebih dari cukup.

Yang lain, Supriansyah misalnya, mengajak Adil Patu untuk tidak menjual barang busuk dan murahan. Pahir Halim menimpali bahwa tidak masalah dengan jualan murah oleh broker politik, karena memang rakyat doyan yang murah. Amir Madjid muncul melengkapi bahwa memang rakyat suka barang murah tetapi bukan murahan. Seseorang mungkin sengaja menilai bahwa diskusi tersebut lebih menyerupai igauan orang-orang gila yang saling sahut. Tetapi guyon politik yang jenaka—karena terang-terangan tidak konsisten, misalnya—membuat kebosanan sirna. Sesuatu yang bertentangan dengan obrolan politik di seminar atau kampanye, yang cenderung datar dan membosankan. Lagi pula, kebosanan sering menjadi tunas umumnya kejahatan (kejahatan politik?).

Agen

Broker politik, dalam obrolan GPK adalah agen komunikasi politik itu sendiri. Adil Patu “mengatur” partai baris-berbaris seperti “serdadu” yang berjajar lurus dan necis. Mereka, para serdadu itu, sama sekali tak bersahut, bisu dan ambisius. Lalu, “kawanan” bakal cagub juga tak bersahut, meski sedang duduk gemes menunggu “suntingan”. Adil Patu dituding sebagai broker politik hanya karena menjadi medium komunikasi politik yang mempertaut hasrat “serdadu” dan “kawanan”. Sekonyong, Amir Madjid mengidentifikasi jurkam pada Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden/Wapres, dan Pilkada sebagai broker politik.

Amir Madjid rupanya tak berhenti di situ. Ia berkisah dari masa lalu bahwa ketika gubernur, bupati, presiden dipilih oleh persekongkolan orang di DPR(D), broker politik bisa dihitung jari. Atas nama demokrasi, pemimpin untuk jabatan itu akhirnya dapat dipilih langsung oleh rakyat. Karena pemilihan langsung itu pula, broker politik tumbuh dimana-mana. Demokrasi ditopang pilar-pilar broker politik. Sebuah efek samping demokrasi yang cukup akurat dan to the point. Hanya saja, tesis yang hipotetik ini bakal digugat oleh citra akademik. Tentu gugatan itu tidak mencemaskan karena GPK sendiri sudah kebal akademik.

Entah setelah obrolan GPK itu, adakah R. William Liddle akan menjawab sendiri pertanyaannya: “.... apa dampaknya [terhadap perkembangan demokrasi—omit] di Indonesia?” Kita juga tidak yakin apakah GPK sengaja menggotong topik “broker politik” untuk menjawab. Sebab, GPK sendiri datang untuk melepaskan. Sebuah jenis pembebasan yang memahami politik dalam ranah kejenakaan. Di situlah kita akhirnya menemukan bahwa komunikasi politik mainstream umumnya mendikte dari atas. Dan humor, sesuatu yang kerap bentrok dengan kekuasaan, adalah pesan politik yang bergerak secara tulus dari bawah, dari “pinggiran” yang jauh dari pusat kepalsuan.

Penulis: anggota komunitas ëLSIM Makassar
Selengkapnya >>

Senin, 11 Desember 2006

Saling Serobot

Oleh: Maqbul Halim

Konteks sosial roda perjalanan pemerintahan di daerah telah membuka aksi saling serobot antara masyarakat (society) dan pemerintah daerah atau pemda (negara). Pemda telah merebut sebagian kegiatan sosial milik masyarakat, sementara masyarakat harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya yang merupakan kewajiban negara (pemda). Pemda meperdakan kegiatan sosial masyarakat sementara kepentingan publik diredakan.

Hingga kini, kita telah mengenal berbagai macam perda yang secara konsepsional, tidak bisa disebut melayani kepentingan umum (publik) karena hanyalah kegiatan-kegiatan sosial. Perda-perda tesebut antara lain tentang Busana Muslim, Perda Zakat, Perda Miras, Perda Melek Al Quran, Perda Bulan Ramadan, Perda Anti Pornografi dan Porno Aksi, dan sebagainya. Karena tiadanya hambatan secara struktural dan kultural, jumlah perda sejenis ini bakal mengalahkan jumlah tiras buku best seller-nya BJ Habibie, Detik-detik yang Menentukan.

Sementara perda tentang standar pelayanan minimal (SPM) untuk pemenuhan kebutuhan dasar publik/warga (kota/kabupaten), sebagai contoh, tidak mendapatkan perhatian serius. Padahal, derajat kepentingan publik (public interest) seperti yang dicontohkan dengan SPM tadi bagi tugas-tugas pemerintah (termasuk legislatif) tak terkalahkan oleh kepentingan apapun, termasuk kepentingan umat Islam dalam bersyariat atau kepentingan adat/suku.

Ada logika keliru yang memandu pejabat birokrasi maupun legislatif dalam memahami kepentingan publik. Kepentingan agama tertentu atau suku tertentu dianggap sebagai kepentingan publik. Konteks agama memang bagian dari wilayah publik. Tetapi kadar kepublikannya lebih rendah ketimbang konteks pelayanan kesehatan, misalnya. Namun faktanya dalam hal ini, pemerintah dan legislatif daerah gagal menjadi agen bagi publik untuk melakukan supervisi terhadap kepentingan publik.

Kepentingan Publik

Kalau kita mengacu ke konsep Public Sphere Jüergen Habermas (Hardiman, 1993: 131-133), maka kepentingan beragama, kaum borjuis, kaum feodal, dan sebagainya adalah soal privat (pribadi). Kegiatan-kegiatan mereka menjadi soal publik ketika melampaui batas-batas kepentingan domestik mereka yang privat. Dunia publik orang-orang beragama, misalnya, masih bersifat domestik karena tidak impersonal. Bukan dunia publik yang sesungguhnya. Hal-hal yang menjadi kepentingan bersama antara seluruh wilayah-wilayah domestik yang privat itulah sesungguhnya dunia kepentingan publik.

Kita pun juga kerap mendapatkan klaim bahwa syariat Islam, sebagai contoh, dapat dikategorikan sebagai kepentingan publik. Frase yang tepat untuk klaim itu adalah, syariat Islam betul sebagai kepentingan publik tetapi masih dalam wilayah domestik kepentingan Islam, bukan dalam wilayah dunia publik. Penting dicatat bahwa kepentingan publik yang melampaui batas domestik yang privat itu tidak lain adalah standar kepentingan universal yang diakui semua orang.

Pertanyaan noraknya kemudian adalah apakah berbusana Muslim, melek Al Quran, zakat, dan sebagainya yang sudah diperdakan itu adalah termasuk kepentingan publik. Tentu saja, orang Islam, katakanlah semuanya-akan menjawab ya. Kalau orang Protestan, Katolik, Budha, Hindu, suku Dayak, imigran, orang sosialis, seniman, PNS, pialang di lantai bursa, dan seterusnya juga memberikan jawaban ya, maka apa yang diperdakan itu betul-betul kepentingan publik. Tapi kalau ternyata jawaban mereka adalah bukan, berarti semua itu hanya kepentingan kelompok/golongan.

Sebuah perdebatan tentang kepentingan publik pernah belangsung di gedung DPRD Kota Makassar medio September 2006. Kesimpulannya mengingatkan kita pada cerita tentang si Pulan gila yang siuman. Jawaban si Pulan membuat girang psikiater. Pasalnya, si Pulan menolak menceburkan tubuhnya ke dalam kolam renang yang sedang mengering.

Sikap menolak perintah cebur ini dianggap sudah mewakili kejiwaannya yang sudah kembali normal. Serupa cerita itu, publik Kota Makassar bergembira mendengar bahwa salah satu fraksi sedang serius menolak Rancangan Perda Minuman Keras atau Miras yang selalu terinspirasi semangat syariat Islam.

Pada akhir cerita, si psikiater, seperti juga publik Kota Makassar, ternyata menelan kecewa. Si Pulan menolak mencelupkan dirinya ke kolam kering karena takut kedinginan, bukan karena kolam renangnya tidak berisi air. Salah satu Fraksi di DPRD Kota Makassar menolak Ranperda Miras karena tidak sejalan dengan syariat Islam, bukan karena bertentangan dengan kepentingan publik atau karena sudah diatur dalam KUHPidana.

Banyak kisah tentang perda-perda yang sesungguhnya hanya melegitimasi kepentingan domestik yang privat menjadi kewajiban pemda. Padahal, kewajiban pemda adalah melayani kepentingan publik, bukan kepentingan privat. Dengan perda-perda itu pula, pemerintah daerah sedang memperagakan praktik diskrimasi seperti kebijakan apartheit di Afrika Selatan pascaperang dunia II atau Nazi di Jerman.

Pembelaan Wakil Presiden Jusuf Kalla, suatu ketika, terhadap perda-perda yang diskriminatif itu dengan mencontohkan diskriminasi yang lazim seperti yang dilakukan negara-negara Filipina, Italia, Thailand, dan lain-lain menunjukkan rendahnya pemahaman dia tentang kepentingan publik. Itulah pandangan yang bergerak liar meninggalkan perspektif kenegaraan dan kebangsaan Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.

Kewajiban Pemda

Kemiskinan, kemelaratan, pengangguran, dan sebagainya senantiasa menjadi titik abai. Sementara zakat, larangan miras, berbusana Muslim/Muslimah yang telah nyata dan memang sebaiknya cukup menjadi kewenangan masjid atau lembaga sosial kemasyarakatan, kini menjadi urusan pemerintah (baca: pemerintah daerah). Topik-topik sosial itulah yang kemudian menjadi Perda Busana Muslim, Perda Zakat, Perda Miras, Perda Melek Al Quran, Perda Ramadan, dan sebagainya.

Lebih dari itu, pemda juga tidak gugup dan gamang memprogramkan kegiatan-kegiatan seperti tablig akbar, zikir akbar, istighozah, istiqomah berjamaah, dan lain-lain. Padahal, kegiatan-kegiatan seperti itu sangat jauh dari wilayah fungsi-fungsi pemerintahan di daerah berdasarkan UU No. 32/04 tentang Pemerintahan Daerah maupun PP yang mendukungnya. Organisasi kemasyarakatan seperti NU, Muhammadiyah, HMI, ICMI, dan lain-lain, seperti diketahui selama ini, tidak membutuhkan otoritas publik pemda untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan demikian.

Mari kita telisik tugas-tugas pokok pemda yang hingga saat ini tidak menunjukkan perbaikan. Tugas pokok tersebut antara lain memberikan pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, perizinan, lapangan kerja, hak-hak dasar warga negara seperti KTP, Akta Kelahiran, Akta Kematian, dan lain-lain. Kita juga masih menyaksikan Perda Retribusi Pelayanan Kesehatan, dimana setiap orang yang sakit di RSUD harus membayar retribusi untuk membiayai perjalanan dinas pejabat pemda. Beban-beban pemda tersebut lebih banyak menjadi beban warga itu sendiri. Sementara kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan yang tanpa campur tangan pemda, masyarakat sendiri pun mampu menggerakkannya. Justru kegiatan-kegiatan itu diserobot oleh pemda yang tugas-tugas pokoknya sendiri tidak diselenggarakan secara maksimal.

Perda Kedamaian

Di masa mendatang, kita mesti siap menyaksikan lagi peluncuran perda-perda yang lebih geblinger seperti Perda Anti Prasangka Buruk, Perda Kewajiban Berniat Baik, Perda Penatepan Hari Raya Idul Fitri, Perda Hafal Al Quran, Perda Salat Jumat, Perda Pendidikan Pemisahan Kelas Laki-laki dan Perempuan di Sekolah, dan seterusnya.

Kita juga akan terus diyakinkan sedemikian rupa (indoktrinasi) bahwa dengan Perda Syariat Islam, dengan sendirinya semua orang akan tertib berlalu lintas. Dengan perda itu, pengangguran, kriminalitas, kemiskinan, virus Anthrax, virus flu burung, pelacuran, dan penyebaran HIV/AIDS akan sirna dengan sendirinya. Tak ada lagi pornografi di Handphone, di laptop/komputer, atau di kamera digital karena satpol PP akan selalu memeriksa semua itu. Polisi akan banyak istirahatnya karena tak ada lagi gangguan keamanan dan ketertiban.

Pada akhirnya kita tidak membutuhkan konsultan pembangunan, kita hanya butuh ahli-ahli tafsir. Kita tidak butuh teori-teori ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain dari barat atau Amerika karena sudah ada syariat Islam. Kita tidak butuhkan kaidah-kaidah jurnalisme dari Bill Kovach dan Tom Rosientel, misalnya, karena sudah ada hadis Nabi tentang kabar-kabari. Jika demikian, tak ada alasan yang tersisa untuk menolak perda-perda seperti itu?

Ketua MASIKA ICMI Orwil Sulsel
Dimuat di harian Tribun Timur pada Rabu, 11-10-2006
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim