SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Senin, 22 Mei 2006

KEHORMATAN Pejabat Hasil Pilkada Langsung

Oleh: Maqbul Halim

Mulawarman Dg Talekang menyekah keringat di keningnya. Ia baru saja melewati detik-detik menegangkan. KPUD Kabupaten Singa Lapar menyatakan calon saingannya sebagai pemenang dari hasil penghitungan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung. Mulawarman geram dan tidak menerima kekalahan itu. Ia telah menyiapkan jurus "tudingan curang" yang dilakukan oleh KPUD dan kontestan saingannya. Ia juga tidak lupa menyalahkan UU No 32 Tahun 2004 dan PP Pilkada yang keduanya sarat kekurangan.

Kisah di atas hanyalah fiktif, baik nama maupun tempat. Terlebih lagi, tidak menunjukkan kapan kejadian itu. Tetapi dari kisah itu, kita bisa memulai pembicaraan tentang kekalahan dalam pilkada langsung, perbandingannya dengan kemenangan dalam pilkada oleh legislatif. Kita berbicara tentang kehormatan dan kewibawaan suatu jabatan kepala daerah menurut cara memperolehnya. Hasilnya, bisa sebuah cermin namun bisa juga bukan.

Kekalahan dalam Pilkada Langsung dapat dimulai dengan tesis berikut: "Bupati atau walikota yang kalah, jauh lebih elegan dan terhormat ketimbang bupati/walikota yang terpilih sebelumnya dengan hanya dipilih oleh anggota dewan yang berjumlah antara 30 hingga 45 orang." Tesis ini menekankan jumlah pemberi legitimasi sebagai sumber kedaulatan: Rakyat dan Anggota Dewan. Dua entitas ini (rakyat dan anggota dewan) sesungguhnya tetap merupakan satu rezim yang serumpun dengan argumen konstitutif bahwa Anggota Dewan dipilih oleh Rakyat dalam Pemilu Legislatif.

Pada sisi lain, realitas politik kerap lebih representatif. Yakni, "anggota dewan" nyata-nyata memang meninggalkan dan memisahkan diri dari Rakyat secara sistemik dalam program pembangunan daerah dan pilkada (Pilkada Tidak Langsung). Indikasinya cukup jelas: musim reses di legislatif selalu dimanfaatkan untuk studi "tour-wisata" banding ke luar negeri atau ke daerah wisata domestik. Bukannya kembali kepada konstituennya. Demikian pula, "duit politik" lebih berpengaruh bagi anggota dewan dari pada aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat (baca: rakyat) dalam Pilkada Tidak Langsung.

Dalam kaitan dengan Partai Politik (Parpol), anggota dewan pada dasarnya pun juga bukan pilihan rakyat. Sistem pemilu jelas memberikan otoritas penuh pada parpol menentukan nomor urut calon legislatifnya. Jadi, anggota dewan itu adalah pilihan partai politik. Status rakyat dalam sistem pemilu legislatif juga hanya memberi kesempatan pada mereka memilih nama/gambar parpol, bukan calon (kecuali pemilu legislatif 2004 namun nomor urut tetap prioritas). Pada akhirnya anggota dewan lebih berorientasi pada kepentingan parpol ketimbang rakyat. Hal ini pula menjelaskan secara ironi bahwa anggota dewan tidak punya konstituen (kecuali beberapa orang anggota DPR dan DPRD Propinsi pada Pemilu Legislatif 2004 silam).

Dari realitas politik di atas, tentunya kita sudah bisa menetapkan nilai (derajat) gubernur atau bupati/walikota dan gubernur dari suatu Pilkada Tidak Langsung yang dipilih oleh anggota DPRD. Derajat ini berdampak pada legitimasi dan kewibawaan jabatan itu serta kepercayaan diri penjabatnya. Pejabat gubernur atau bupati/walikota dari suatu Pilkada Tidak Langsung tentu telah membangun alasannya sendiri tentang derajat itu. Namun demikian, alasan apapun itu, tetaplah rapuh dan "minder" di hadapan cita-cita demokrasi dan harapan-harapan rakyat.


****

Kembali kepada Mulawarman yang kalah dalam Pilkada Langsung, sesungguhnya bukanlah suatu "aib". Pilihan memasuki arena Pilakda Langsung adalah sebuah sikap kesatria dan memiliki keyakinan demokrasi yang tinggi. Sekalipun Mulawarman kalah, entah kalah telak atau kalah tipis dari pemenang atau saingan lainnya, tokh ia dapat mengoleksi sejumlah suara. Bisa dipastikan, jumlah suara itu lebih banyak dari pada suara yang dikoleksi oleh gubernur atau bupati/walikota dalam Pilkada Tidak Langsung oleh DPRD.

Dalam hal ini, beberapa perbandingan bisa dilakukan. Paling tidak, Mulawarman telah mendapatkan suara langsung dari pemegang kedaulatan dan pemegang legitimasi tertinggi. Sisi kualitas ini tentu lebih mulia dari pada gubernur atau bupati/walikota yang menyabet kemenangan dalam Pilkada Tidak Langsung. Mereka, yang menang dalam Pilkada Tidak Langsung ini, legitimasinya kelam dan yang memilih mereka adalah sekawanan orang-orang tak berdaulat dan berlegitimasi kelam pula. Dari segi jumlah perolehan suara, sekalipun Mulawarman kalah, jumlah suara itu tentu lebih banyak ketimbang jumlah maksimal anggota legislatif di DPRD yang hanya antara 30 sampai 75 orang.

Perbandingan lainnya adalah moral rakyat dalam Pilkada Langsung sebagai pemberi mandat dalam berhadapan dengan kebijakan pembangunan oleh pemerintah daerah tidak lagi berkembang di wilayah diskursus "penjajahan" atau "penaklukan". Hasil Pilkada Tidak Langsung telah men-setting moral rakyat sehingga mempersepsi dirinya sebagai kawula terjajah. Mereka dijajah oleh gubernur atau bupati/walikota dan konco-konconya karena mereka bertakhta bukan karena kehendak mereka, melainkan kehendak dari orang-orang yang berjumlah antara 30 hingga 75 orang di legislatif. Dalam Pilkada Langsung, rakyat mempersepsi dirinya sebagai penguasa karena mereka menentukan pelayannya, yakni bupati/walikota dan gubernur. Rakyat menjadi percaya diri berhadapan dengan kebijakan pembangunan.

Perbandingan yang paling ekspresif tentang pilkada langsung dapat dilihat pada perbandingan antara Pilkada Gubernur Sulsel Tidak Langsung tahun 2002 dan Pemilu Legislatif untuk kursi DPD tahun 2004. Pilkada Tidak Langsung oleh DPRD Sulsel tahun 2002 menetapkan Amin Syam sebagai pemenang dengan perolehan 33 dari 75 suara anggota DPRD Sulsel. Aksa Mahmud dan Nurdin Khalid kalah. Dua tahun kemudian, Aksa Mahmud kembali memasuki arena perebutan kursi DPD pada Pemilu Legislatif 2004. Saat itu, calon anggota DPD dipilih langsung oleh rakyat. Rupanya, lebih banyak rakyat memilih Aksa Mahmud untuk kursi DPD itu (bersama tiga calon terpilih lain di bawahnya). Dengan bahasa lain, kecenderungan aspirasi rakyat tersebut—andaikan calon Gubernur Sulsel tahun 2002 dipilih langsung oleh rakyat—maka Aksa Mahmudlah yang terpilih, bukan Amin Syam.

Tokoh yang telah terpilih dalam Pilkada Tidak Langsung sebetulnya dapat mengajak kembali saingan-saingan yang dikalahkannya untuk kembali bertarung memperebutkan simpati rakyat dalam Pilkada Langsung. Jalan ini memungkinkan pejabat hasil Pilkada Tidak Langsung bisa duduk sama ter-HORMAT-nya dengan pejabat hasil Pikada Langsung dari daerah lain. Hanya saja, masa jabatan tidak memungkinkan untuk diwujudkan itu secepatnya karena Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah yang mengaturnya menghendaki lain. Jadi mereka akan menghabiskan masa jabatannya dengan tidak lebih terhormat dari pada pejabat hasil Pilkada Langsung. Tak ada pilihan lain.

Tesis yang prinsip dari perhelatan pemilihan langsung untuk jabatan presiden, gubernur, bupati/walikota dan legislatif adalah upaya mencerminkan diri. Artinya, ada usaha memandang jabatan-jabatan itu sebagai hasil dari proses demokrasi langsung, bukan demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan yang menghasilkan gubernur, bupati/walikota, dan DPRD beberapa waktu silam, cukuplah dipandang sebagai praktek demokrasi zaman "pra-sejarah" Indonesia. Hanya hasil demokrasi langsung yang berhak mendapatkan KEHORMATAN dari rakyat.

Lebih jauh lagi, setelah Pemilu 2004 yang menghasilkan empat calon terpilih untuk empat kursi DPD dari masing-masing provinsi, secara moral, mutu sebagai wakil rakyat "murni" bagi keempat calon itu jauh lebih tinggi dari pada Gubernur dan anggota DPRD Provinsi. Isyarat ini merekomendasikan suatu sikap: anggota DPD sebaiknya pandai-pandai menempatkan diri di hadapan pejabat gubernur dan anggota DPRD Provinsi hasil Pilkada Tidak Langsung di daerah asalnya. Tujuannya adalah untuk menghindari pengelabuan terhadap makna-makna mulia dan derajat yang tinggi dari demokrasi langsung itu sendiri.

Seperti itu pula sebaiknya yang dilakukan oleh gubernur dan bupati/walikota hasil Pilkada Langsung nantinya. Etika bergaul mereka harus bisa membangun perbedaan antara pejabat hasil Pilkada Langsung dengan pejabat hasil Pilkada Tidak Langsung. Inilah diskriminasi politik yang tidak bertentang dengan Hak Asasi Manusia dan hati nurani. Suatu diskriminasi yang tidak mempermalukan, namun mengajak mereka (pejabat hasil Pilkada Tidak Langsung) untuk bercermin dan pandai-pandai menempat diri bergaul dengan pejabat hasil Pilkada Langsung.

Akhirnya, Pilkada Langsung adalah sebuah pangkal harapan demokrasi. Jejak dan akibat Pilkada Tidak Langsung akan segera dimuseumkan sebagai "fosil" dari sejarah demokrasi Indonesia.

(Maqbul Halim: Pemerhati Masalah Pemilihan Kepala Daerah Langsung)
Dimuat di Harian TRIBUN TIMUR Makassar: Rabu, 27 April 2005
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim