SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Minggu, 26 Maret 2006

MUKADDIMAH

MAJELIS SINERJI KALAM
(MASIKA)
ICMI ORWIL SULSEL
[Islam dalam Multiperspektif]
(Makassar, April 2006)

MUKADDIMAH

Bangsa Indonesia sering berhadapan dengan isu atau permasalahan keislaman yang selalu hanya memberikan satu pilihan cara berpikir. Praktik keagamaan dalam berpolitik, berilmu pengetahuan, beribadah, berbangsa dan bermasyarakat—bahkan hingga cara kita menghayati keislaman itu sendiri, seringkali hanya “boleh” ditinjau melalui satu cara berpikir. Sementara, satu model tunggal cara berpikir itu, terus berupaya menyendiri dan membenci.

Keislaman juga umumnya diperagakan secara dogmatis dengan asumsi fundamental bahwa ijtihad atau Ijma terhadap ayat-ayat Ilahi telah final. Kalau pun ijtihad dan Ijma masih terkuak sedikit pada suatu ketika, ia tetap pasif. Ijtihat dalam hal ini bukanlah instrumen intelektual yang mampu memahami, melainkan sesuatu yang diam dan suci menunggu untuk dipahami. Citra realitas keislaman lantas di-setting agar dogma-dogmanya yang pasif itu tetap dapat ditakhtakan. Dengan demikiam, Islam sebagai realitas menjadi tunggal sekligus vacum.

Pengetahuan keislaman akhirnya menjadi sebuah rezim yang mengawal sebuah faham tentang Islam. Ia bukan sebuah rezim berpikir yang mengawal Islam itu sendiri. Rezim itu tidak hanya tampil positivistis, tetapi juga mendoktrinkan dirinya sendiri. Lembaga berpikir yang mempatenkan hanya satu jenis tradisi berpikir yang dikenal dengan nama dunia akademik, tidak lebih dari sebuah mekanisme birokrasi rezim. Birokrasi rezim inilah yang secara berkesinambungan memproduksi legitimasi terhadap pengetahuan keislaman agar kian menjauh dari realitas sosial dan kultural. Juga, terus menerus mereproduksi fatwa pemikiran Islam yang monoton dan ekslusif. Yang tersaji di dalam ruang publik kemudian hanyalah realitas keislaman yang dicitrakan, sebuah konstruksi realitas yang didiktekan sambil menolak real reality.


Dalam perjalanan itu, tokoh-tokoh muslim berdiri kokoh menjadi pengawet rezim. Jauh dari kesan kecendekiaan. Mereka memuja dan lebih patuh pada perspektifnya sendiri ketimbang terhadap semangat Islam itu sendiri. Tak ada pencerahan karena tak ada dialog. Dialog adalah kutub yang bersilangan secara diagonal dengan ekslusifisme mereka. Mereka bekerja sebagai aparat perspektif yang rela melawan dunia multiperspektif. Padahal, Islam sendiri menawarkan banyak perspektif. Ketika Islam hanya ditinjau dari perspektif tunggal, sesungguhnya kita telah dengan sengaja membangun realitas-realitas paradoks dan ambigu bagi Islam itu sendiri yang—padahal—oleh Rasulullah SAW telah disempurnakan.

Tidak sedikit komunitas muslim di Indonesia melancarkan “perang jihad” untuk membela perspektifnya, bukan membela agama Allah SWT. Mereka bukan menegakkan syariat Islam, tapi menegakkan perspektifnya tentang Syariat Islam. Mereka adalah pembela mazhab yang telah dengan sempurna menutup cahaya Allah SWT untuk memikirkan perspektif lain. Sementara, kita semakin sulit berpaling dari fakta bahwa perspektif kultural bangsa Arab dalam ber-Islam memang berlainan bentuk dengan perspektif kultural bangsa Indonesia. Demikian juga antara Bangsa Tionghoa dengan Bangsa India, dan seterusnya.

Oleh karena itu, bisa dipastikan bahwa fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama bangsa Arab, misalnya, adalah bagian dari dinamika kultur yang sedang berlangsung. Ada banyak jenis perspektif yang dipisahkan oleh jarak dan teritori wilayah kultural. Contoh yang amat sederhana adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan pluralisme bagi Umat Islam. Tetapi, fatwa itu tidak valid (out of order) bagi umat Islam di Pakistan atau di Maroko atau di London. Contoh ini cukup praktis dan jelas memberitahukan bahwa “bahasa” kultural yang dipakai dalam berikrar menegakkan Al-Qur’an dan Hadits sebenarnya tidaklah semurni ayat-ayat Tuhan. Ini hanya satu dari jutaan perkara akibat perbedaan perspektif dalam ber-Islam.

Pertanyaan monumental yang kemudian mengusik adalah, betulkah dimensi-dimensi keislaman yang diperjuangkan hingga saat ini, entah itu dalam konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya, bukan merupakan konstruksi dari suatu perspektif, yakni perspektif rezim yang dominan dan hegemonik, yang mengendalikan relasi kuasa dalam komunitas bangsa Indonesia? Apakah tidak ada kemungkinan bahwa Islam yang diaktualkan adalah Islam yang wacananya sudah diproteksi dan dipatenkan oleh institusi-institusi dominan dan hegemonik? Apakah Islam yang diwacanakan ke publik sekarang ini bukan merupakan dalil-dalil yang personal dan parsial? Mengapa wacana-wacana mainstream selalu dicegah untuk “bergaul” dengan perspektif-perspektif lain? Kenapa Islam sangat tergantung pada relasi kuasa untuk mengesahkan eksistensinya ketimbang menjadikan eksistensinya sebagai varian terhadap relasi kuasa itu?

Bukankah dunia Islam di Indonesia umumnya tampak kering karena mutu ruang publik bagi wacana perkara-perkara Islam telah sangat rendah. Tidak ada ruang publik yang terhampar dengan lapang dan fair bagi semua perspektif untuk bebas, setara, dan rasional. Sebuah lapangan yang di dalamnya ada perdebatan yang membebaskan bukan hanya Islam itu sendiri dari sifat personal dan parsialnya, tetapi juga membebaskan Islam itu sendiri untuk menjadi sumber pengetahuan yang tak akan pernah kering (unlimited). Sebuah ruang publik yang bukannya menampilkan Islam sebagai sesuatu yang beku tanpa pengertian, tetapi menghadirkan Islam sebagai sebuah agama yang jeli memahami sehingga mencerdaskan, mencerahkan, membebaskan.

Keadaan di atas merekomendasikan sebuah gugatan terhadap ruang publik yang ada bagi pengetahuan keislaman. Menuntut agar ruang publik berangsur-angsur steril dan rasional. Membuka ruang publik selebar mungkin agar tidak hanya dihuni oleh gerombolan ulama atau kiyai untuk memonopolikan perspektifnya tentang Islam. Menginsyafkan para intelektual perguruan tinggi agar berhenti menjadi polisi yang bertugas memelihara kestabilan dan keamanan imperium positivisme dalam memahami Agama Islam dan permasalahan-permasalahannya. Mengajak para orator mimbar agar bersedia berdialog ketimbang mendoktrinkan pengetahuan-pengetahuan tentang Islam.

Akhirnya, tidak akan pernah ada forum diskusi atau dialog dalam Islam bila hanya ada satu cara memahami, hanya satu perspektif. Dialog antar perpektif tidak akan pernah menghasilkan pemenang dan pecundang, tetapi perspektif yang dibangun atas dasar relasi kuasa lebih memilih “perang” dari pada dialog untuk menghasilkan kemenangan. Tentu saja, perang hanya untuk menghacurkan yang lain. Di arena itulah, senjata tajam terhunus melawan kalimat, kata-kata, atau ucapan—sekaligus pemiliknya. Tuhan melalui Al-Qur’an pertama-tama menyerukan, “Bacalah!”. Bukannya, “Perangilah!”.

Visi: “Islam Multiperspektif”



Misi MASIKA ICMI Orwil Sulsel:
  • Mengeksplorasi Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber ilmu pengetahuan untuk mencerahkan peradaban manusia;
  • Menggerakkan pemikiran-pemikiran di luar arus pemikiran mainstream (utama) mengenai Islam sehingga tercipta ruang dialog yang sehat, setara dan rasional;
  • Menghadirkan variasi-variasi perspektif pengetahuan tentang Islam; dan
  • Memberi apresiasi tinggi bagi toleransi dan pluralisme dalam pemikiran Islam.
Selengkapnya >>

Minggu, 05 Maret 2006

UU No 40/1999

Sebagai Katalis Pencapaian Tata Pemerintahan yang Baik:
Hubungan antara Pers dan Aparat Pemerintahan
-------------------------
Oleh: Maqbul Halim

General Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia 10 Desember 1948—DUHAM) mengukuhkan kebebasan berekspresi sebagai hak alami dan oleh karena maka harus ada pengakuan secara hukum untuk memberikan jaminan atas kebebasan itu. Deklarasi umum ini telah diratifikasi oleh Republik Indonesia tidak lama setelah pernyataan itu ditetapkan. Pasal 19 DUHAM menyebutkan:

“Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan untuk mencari informasi, menerima, serta menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dengan tidak memandang batas.”

Dalam kaitannya dengan arus demokrasi yang merupakan element dependent dari kebebasan pers, maka kebebasan pers pun diitegrasikan dan dijabarkan ke dalam Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik Resolusi Majelis Umum PBB No. 2200A (XXI 16 Desember 1966). maka kebebasan pers atau kemerdekaan pers merupakan perangkat penjamin atas hak-hak sipil warga (Civic). Pada 19 Konvenan tersebut menyebutkan sebagai berikut:

Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa mendapatkan campur tangan.
Setiap orang berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat; hak ini harus meliputi kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua jenis pemikiran terlepas dari pembatasan-pembatasan, secara lisan, tulisan atau cetakan dalam bentuk karya seni atau melalui sarana lain yang menjadi pilihannya sendiri.
Pelaksanaan Hak-hak yang diberikan dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karena itu dapat dikenai pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan hanya sepanjang diperlukan untuk:
Menghormati Hak-hak dan nama baik orang lain;
Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau kesusilaan umum.

Memang Republik Indonesia termasuk cepat meratifikasi DUHAM tersebut. Pada faktanya, nanti pada perubahan kedua UUD 1945 tahun 2001 atau sekitar 50 tahun kemudian, hak-hak sipil ini baru ditegaskan secara eksplisit dalam UUD RI 1945 Pasal 28F:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi sengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Dalam hal ini, memang ada sedikit keunikan. Undang-undang yang menjamin kebebasan pers jauh lebih dahulu eksis, yakni tahun 1999 (UU Pers No. 40 Tahun 1999). UUD 1945 Pasal 28F sendiri sesungguhnya belum secara rinci mengatur kebebasan itu sebagai hak asasi, sementara UU Pers No. 40/99 sudah menjadi sangat spesial, dalam artian telah memberikan penataan secara detail segala yang menyangkut ikhwal kebebasan pers. Ada pun undang-undang yang menjamin kebebasan untuk memperoleh informasi yang merupakan penjabaran materi dari Pasal 28F UUD 1945 masih dalam proses tawar menawar antara DPR dan pemerintah saat ini.

Pertanyaan selanjutnya yang cukup urgen adalah siapa sebenarnya pemilik kebebasan pers itu? Lalu, di mana posisi pemerintah dalam kebebasan pers itu? Bagaimana wujud rupa interaksi sosial—maupun juga politik—antara pemerintah dan kebebasan pers itu sendiri? Pertanyaan ini masih jarang menjadi topik dalam diskusi-diskusi yang menyangkut kaitan antara kebebasan pers dan pemerintah. Norma-norma yang kerap menjadi main-stream gagasan dalam hal-hal tugas-tugas pemerintahan dan fungsi-fungsi pers dalam kebebasan itu adalah bagai kedua saling membantu.

Gagasan di atas memang cukup miris bila refleksi diarahkan pada perangkat-perangkat UUD 1945 Pasal 28F itu, UU Pers 40/99, serta DUHAM dan Konvenan Hak-hak Sipil. Dengan tinjauan kritis terhadap seluruh perangkat di atas yang telah disebut sebelumnya itu, kita akan tiba pada suatu tesis yang dapat membuka lebih jelas tentang eksistensi kebebasan pers itu. Termasuk juga adalah letak institusi pemerintahan (dalam hal ini negara) dalam kaitan dengan perangkat-perangkat itu.

Pertanyaan tentang “Siapa sebenarnya pemilik kebebasan pers itu?” adalah pertanyaan reflektif tentang berbagai sengketa-sengketa yang tidak pernah faktual: “klaim kebebasan pers oleh wartawan/jurnalis”. Pertanyaan lain yang terkait dengan hal ini adalah, mengapa wartawan atau jurnalis harus bebas dalam menjalankan profesinya? Siapa yang berwenang/berkewajiban memberikan jaminan kebebasan pers itu? Pertanyaan ini tidak dapat diterjemahkan sebagai gugatan terhadap kebebeasan pers itu atau penikmat kebebasan pers itu. Pertanyaan ini hanya berusaha untuk membuat terang dan jelas tentang kebebasan pers itu.

Pemilik Kebebasan Pers

Bila merujuk pada DUHAM dan Konvenan Hak Sipil, maka pemilik kebebasan berekspresi itu sesungguhnya ada pada warga. Warga dalam hal ini bisa disepadankan dengan makna yang ada dalam kata “masyarakat”, “publik”, “khalayak”, “audiens”, “rakyat”, dan lain-lain yang kedaulatan atas hak-hak itu disandang secara individual, bukan secara sosial. Jadi, DUHAM, Konvenan Hak Sipil, UUD 1945—termasuk nantinya UU Kebebasan Memperoleh Informasi”, adalah perangkat penjamin secara hukum untuk melindungi warga itu dari tindakan dan upaya untuk merampas atau melanggar hak-hak itu dari siapa dan pihak mana pun. Indonesia sendiri meratifikasi deklarasi dan konvenan itu karena sejalan dengan amanat yang tertera pada pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang menjamin dan melindungi segenap warganya.

Pemahaman secara awam selama ini adalah bahwa kebebasan pers itu diadakan untuk dan atas nama pers secara institusional maupun jurnalis itu sendiri. Bahwa, UU Pers No. 40 Tahun 1999 hanya menjaminkan kebebasan pers bagi jurnalis dan institusi media pers. Padahal Pasal 2 UU Pers menyebutkan bahwa, “kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedautalan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.” Hal ini berarti kemerdekaan (kebebasan) pers itu berasal dari rakyat. Apa bila rakyat berdaulat, dengan sendirinya kebebasan pers itu juga akan terwujud. Oleh karena itu, maka kebebasan pers merupakan ekspresi kedaulatan rakyat, bukan sebaliknya: pers bebas tetapi rakyat tidak berdaulat akibat kebebasan itu.

Selanjutnya, pasal 4 ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia. Kemerdekaan pers dijamin oleh siapa dan pihak manapun karena itu merupakan hak asasi manusia. Presmisnya adalah bahwa kebebasan pers itu bukan hak jurnalis atau lembaga-lembaga pers. Jadi, UU Pers kita sendiri sudah tegas menyatakan bahwa kemerdekaan pers itu dijamin karena itu merupakan hak asasi manusia, bukan hak-hak sosial yang kepemilikannya secara massif.

Fungsi Pers

Fungsi pers dapat ditinjau dari dua sudut pandang, fungsi institusional dan fungsi subtantif. Fungsi institusional dapat dilihat pada pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ayat (1) menyebutkan bahwa, “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.” Sedangkan ayat (2) menyebutkan bahwa, “Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.” Fungsi institusional itu lebih sebagai pernyataan memenuhi aspek-aspek hukum moril dari adanya kemerdekaan pers.

Fungsi subtantif dari kebebasan pers adalah pengemban amanat untuk mewujudkan hak-hak asasi rakyat, terutama yang berkaitan dengan mandat dari UUD 1945 pasal 28F. Pers dalam hal ini berkerja untuk mewujudkan hak-hak rakyat untuk mengetahui (public right to know) seperti yang tertera dalam pasal 6a UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Sesungguhnya, karena ini hak asasi manusia, maka semua pihak berkewajiban untuk memenuhi hak-hak tersebut. Pers kali ibarat pemerintah yang mendapatkan mandat dari UU untuk menyelenggaran pemerintahan dalam memberikan perlidungan dan pelayanan. Tentang hal ini, kita membahasnya lebih lanjut pada bagian lain.

Dari kedua fungsi itu, ditambah lagi dengan peran-peran yang tertera pada pasal 6 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka pers sama sekali tidak bisa dibebani peran-peran seperti menjaga stabilitas, mendukung pembangunan fisik maupun non fisik, menjaga nama baik pemerintah dan, seterusnya. Yang bukan merupakan fungsi dan peran pers adalah segala yang tidak terkait dengan hak-hak asasi manusia untuk memperoleh informasi.

Posisi Pemerintah

Pemerintah adalah institusi yang menjalankan peran kekuasaan untuk memerintah dalam rangka menjamin hak-hak asasi manusia, memberikan perlindungan dan pelayanan kepada warganya. Konsekuensinya adalah bahwa negara dalam hal ini mempunyai kewajiban menjamin terwujudnya hak-hak rakyat, seperti kebebasan memperoleh informasi. Kebebasan ini merupakan hak rakyat, dan oleh karena itu maka kewajiban negaralah untuk mejamin atau melindungi kebebasan itu.

Pers sebagai pranata sosial yang berperan memberikan pelayanan kepada warga untuk memperoleh hak-haknya, maka pers pun digaransi oleh negara sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Tugas pokok pemerintah dalam konteks ini adalah memfasilitasi sehingga peran-peran memenuhi hak-hak rakyat oleh pers itu terlindungi dan terpenuhi. Dalam bidang regulasi, pemerintah berhasil menetapkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mentata hal-ikhwal kegiatan jurnalisme (kegiatan pers). Di bidang kelembagaan misalnya, negara membentuk lembaga negara non pemerintah yang disebut Dewan Pers untuk untuk mengawal agar kebebasan pers tidak terganggu dan terdistorsi oleh peristiwa-peristiwa kasuistik.

Apa pun visi dan misi suatu pemerintahan, hak-hak rakyat untuk memperoleh informasi telah menjadi kewajibannya. Kalau pun misalnya suatu pemerintah bersikap transparan atau terbuka, sebaiknya tidak diasumsikan sebagai upaya untuk mewujudkan kebebasan pers itu bagi jurnalis atau pers itu sendiri. Kewajiban pemerintah untuk menjamin kebebasan pers bukan ditujukan kepada mereka, melainkan demi hak-hak rakyat. Karena Deklarasi, konvenan, dan undang-undang yang telah disebutkan sebelumnya itu, maka pemerintah wajib menyiapkan aparat-aparatnya untuk bersikap apresiatif terhadap kebebasan pers sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dan perwujudan hak-hak asasi manusia. Pemerintah harus mengkondisikan kebijakan-kebijakannya agar tidak mereduksi makna kebebasan pers itu.

John Lock pernah membahas sistem hak-hak alamiah manusia. Seperti halnya penemuan Newton, Lock berpendapat bahwa hak alamiah seperti halnya hukum alam yang bersifat tetap. Lalu kemudian, ia pun menyusun tesis tentang hak-hak itu dalam kaitannya dengan komitmen suatu pemerintahan. Ia mengatakan: “Manusia pada dasarnya bebas dan sederajat. Mereka membentuk pemerintahan guna melindungi hak-hak itu, dan setiap pemerintahan yang tidak mampu menjalankan fungsi ini harus bubar.”


***

Penjelasan tiga aspek tentang pers di atas—pemilik kebebasan pers, fungsi pers, dan posisi pemerintah/negara—adalah gambaran korelasi yang normatif tentang kegiatan pemenuhan hak-hak rakyat untuk memperoleh informasi. Dalam konteks hak itu, pers hanya menempati porsi yang cukup kecil. Porsi itu terbagi-bagi; porsi pemerintah, porsi lembaga-lembaga sosial, dan pihak-pihak lainnya. Apa pun topik perbincangan mengenai kebebasan pers, sesungguhnya sangat naif bila terlalu jauh merentang dari konteks hak-hak manusia untuk memperoleh informasi seperti yang telah disepakati dalam DUHAM, Konvenan, UUD 1945, UU Pers, dan sebagainya.

Suatu bangsa yang betul-betul tulus berdemokrasi, tidak lagi ada ungkapan-ungkapan ragu tentang kebebasan pers seperti: “pers kebablasan”, “pers tidak bertanggung jawab”, “kebebasan pers mengancam nilai-nilai dan norma-norma”, dan seterusnya. Kebebasan pers adalah syarat mutlak bagi bangsa yang hendak hidup dalam alam demokrasi. Keraguan terhadap kebebasan pers hanya terekspresi dari sikap yang menuding demokrasi sebagai bukan jalan terbaik dalam hidup bersama dalam suatu komunitas negara. Separuh dari harga demokrasi berasal dari kebebasan pers.


Aspek Teoritis

Ada Empat teori pers dikenal dalam ilmu komunikasi dan jurnalisme. Empat teori pers ini berkembang sejak kekuasaan tirani kerajaan mulai melakukan “tata niaga” barang-barang cetakan. Yang pertama adalah pers mempunyai kewajiban mengabdi kepada kepentingan pemerintah atau kerajaan. Teori pers ini disebut Teori Pers Otoriter. Sistem yang menganut teori ini membenarkan perorangan atau lembaga swasta memiliki lembaga penerbitan pers, namun izinnya tetap ditentukan oleh pemerintah dan setiap yang tidak ditentukan izin dapat dicabut kembali pemerintah sebagai pemilik sistem pers. Sensor, pencabutan izin, tekanan (teror), dan sebagainya adalah elemen-elemen aparatus pemerintahan tiran dalam mengendalikan kegiatan pers.

Kedua adalah falsafah libertarian yang menuntut kebebasan pers sepenuhnya. Kaum libertarian yakin bahwa kebebasan pers itu adalah hak-hak yang harus ditegakkan. Asumsi Teori Pers Kaum Libertarian adalah pers harus memiliki kebebasan dalam membantu manusia untuk mencari kebenaran, kebenaran yang ditemukan melalui penalaran akibat adanya akses informasi dan gagasan.

Libertarian juga berpendapat bahwa ekspresi bebas akan menciptakan koreksi; karenanya, aneka batasan terhadap kegiatan membaca dan menulis harus ditekan sekecil mungkin. Tiga alasan mengapa kaum libertarian menentang sengit upaya sensor terhadap pers: pertama, sensor melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas; kedua, sensor memungkinkan tiran mengukuhkan keuasaannya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak; dan ketiga, sensor menghalangi upaya pencarian kebenaran. Kaum libertarian adalah komunitas di Barat pada abad pertengahan yang menentang campur tangan negara atau kerajaan terhadap aktivitas pers.

Teori yang ketiga adalah Pers Tanggung Jawab Sosial. Teori ini berkembang di AS setelah Perang Dunia II. Waktu itu warga AS sadar bahwa perslah satu-satunya instrumen sosial yang mendapatkan apresiasi luar biasa dari Konstitusi AS. Amandemen Pertama Konstitusi AS 1774, misalnya, melarang negara/pemerintah membuat aturan atau kebijakan yang membatasi atau menghalangi kebebasan pers. Masyarakat AS menganggap jaminan ini sebagai privillage yang luar biasa. Oleh karena itu, karena konstitusi merupakan amanat dari kedaulatan rakyat, maka pers juga selaiknya memberikan tanggung jawab sosialnya atas jaminan yang telah diberikan itu.

Pers tanggung jawab sosial kemudian diadopsi oleh sistem pers negara berkembang yang sedang membangun dan negara baru yang masih tertinggal dalam status kemiskinannya. Pers misalnya dibebani dengan peran ikut bertanggung jawab mensukseskan pembangunan yang sedang diselenggarakan oleh pemerintah. Pemerintahan yang agak tiran misalnya melengkapi dirinya dengan hak-hak tertentu untuk men-setting sistem pers agar betul-betul bertanggung-jawab secara sosial dalam frame kepentingan pemerintah atau kerajaan.

Teori pers yang keempat adalah Teori Pers Soviet. Teori ini sebenarnya hampir serupa dengan teori pers otoriter. Perbedaannya terletak pada kepemilikan dan pengelolaan. Media pers hanya boleh dimiliki oleh pemerintah. Swasta atau perorangan tidak dimungkinkan terlibat dalam pemilikan media pers. Pengelolaan media pers Soviet ditangani sepenuhnya oleh kalangan elit Partai Komunis yang loyal. Pers dalam hal ini mengabdi pada kepentingan Soviet di seluruh dunia. Soviet dalam hal ini adalah sebuah bangsa yang menyebar pada berbagai negara-negara di blok Timur (Pakta Warsawa) selama Perang Dingin berlangsung.

****

Keempat teori pers yang telah disebutkan di atas pada dasarnya hanya faktual pada masanya. Seperti halnya teori pers otoriter, kefaktualannya hanya ketika sistem kenegaraan masih didominasi oleh sistem pemerintahan kerajaan. Memang diakui juga bahwa saat ini sistem ini masih dipraktikkan di China, Singapur, Malaysia, dan lain-lain. Era Sistem Pers Soviet pun juga telah berlalu pasca runtuhnya Tembok Berlin. Meski saat ini di Korea Utara dan Cuba, sistem ini masih memayungi aktivitas pers di kedua negara ini.

Demikian pula dengan teori pers liberal dan teori pers tanggung jawab sosial. Kedua teori ini mulai dievaluasi, baik secara teoritis maupun secara praktis atau manfaat (usefulness). Itulah sebabnya, kalangan akademik telah melancarkan diskusi-diskusi yang hendak memformulasi oritentasi baru aktivitas jurnalisme itu. Istilah yang beredar dewasa ini adalah hak publik untuk tahu (public right to know) dan tanggung jawab sosial (social responsibility press). Ini mengisyaratkan pergeseran teoritis atas konsepsi kebebasan pers, yakni dari yang semula bertumpu pada individu ke masyarakat. Kebebasan pers yang semula dianggap sebagai kebenaran universal, kini hanya diartikan sebagai akses publik, atau hak masyarakat untuk tahu.

Sebagai penutup, asumsi-asumsi teoritis dan hukum yang telah dibahas di atas pada dasarnya merekomendasikan baik kepada pers, jurnalis, maupun ke pemerintah untuk kembali—reorientasi—pada subtansi pers itu. Terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan tata pemerintahan yang baik. Mungkin ini sejenis komitmen, dimana orientasi itu lebih pada upaya perwujudan hak-hak asasi manusia seperti hak untuk mengetahui, hak untuk memperoleh informasi, hak untuk menyatakan pikiran, dan sebagainya. Tesis itulah yang menjadi salah sentrum perhatian pemerintah terhadap kebebasan pers, sentrum utama aktivitas jurnalisme—pers dan jurnalis.
****
Disampaikan pada Pelatihan Jurnalisme: "Workshop Implementation on Law No. 40/1999 on Press" oleh Local Government Support Program (LGSP-USAID) pada 28 Februari 2006.
Bibliografi

_________, 2002. Melawan Tirani Informasi. Jakarta: ICEL dan KMIP.
Ignatius Haryanto, oc, 2000. Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Jakarta: LSPP & TAF.
_________, 1999. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Panduan bagi Jurnalis). Jakarta: LSPP & TAF.
Rivers, L. William, 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern. Penerjemah: Haris Munandar dan Dudy Priatna. Jakarta: Kencana.
Selengkapnya >>

UU no 40/1999, Ulasan Implementasi Sejak 1999 hingga 2005

(Praktek dan Kode Etik)
-----------------------------
Oleh: Maqbul Halim


Suatu larut malam, 18 Februari 2006 pukul 21.30, komandan Tim Buser kepolisian setempat memberitahukan lewat SMS kepada jurnalis supaya bertemu di Hotel Tyquali, sebuah kawasan wisata elit di pinggiran kota pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. Setengah jam kemudian, wartawan dan tim buser dari kepolisian berkumpul di base-men sebelum lamat-lamat merayap ke lantai enam hotel itu. Para kameramen stasiun TV berita mengarahkan sinar “lighting”-nya mengejar polisi yang bergerak nyaris tanpa bunyi menyisir tangga darurat. Tak ada percakapan sepanjang pergerakan itu. Sosok tubuh kekar dan tinggi di baris paling depan terus memperbaharui informasi terbaru pada pasukannya di belakang dengan bahasa isyarat yang menggunakan pergerakan tangan. Langkahnya agak terburu-buru namun tetap terampil meredam dentang sol sepatunya yang mendebam di atas lantai karpet.

“Gemuruh” mereka terhenti ketika tepat di depan salah satu kamar di lantai enam. Sebuah kamar yang tergolong VIP dan jendelanya menghadap ke laut (sea view room) sedang diketuk-ketuk. Tamu hotel yang lain, wartawan, kameramen, fotografer, dan yang lainnya yang menyerta telihat sedang dalam diam-senyap menanti respon dari pemilik kamar yang pintunya sedang digedor itu. Di gagang pintu kamar itu, tergangtung kartu laminating memberi perhatian, “Jangan Diganggu” / ”Don’t Disturb”. Ketukan pertama tidak direspon. Ketuka kedua juga tidak direspon. Ketukan ketiga yang lebih keras tidak direspon. Ketukan keempat yang jauh lebih keras lagi tidak direspon.

Sosok tubuh kekar yang mengomandoi operasi ini pun menghentakkan suara lantangnya, “Siapapun anda di dalam kamar ini, segera buka pintunya!” Hingga kali ini, pun tidak suara atau respon apapun dari dalam kamar itu. Sosok tubuh kekar itu pun mencoba membenturkan tubuhnya ke sisi pintu yang masih kaku menutup kusen pintu kamar itu. Rupaya benturan tidak ada gunanya. Namun demikian, geletuk suara mulai terdengar dari balik pintu. Baru ketahuan ada sebuah kegiatan di balik pintu kamar itu. Gemericik grendel daun pintu terdengar, sebuah logam sedang beradu dengan logam yang lain dan mengenggetar ke sekujur sisi pintu yang masih tertutup itu.

“Anda begitu berani dan lancang. Tidakkah anda membaca pesan yang tergantung di gagang pintu ini. Kami yakin, anda tidak punya urusan di sini. Atau anda akan menyesal.” Begitulah ucapan yang terlontar dari seseorang yang tidak menampakkan sosok tubuhnya di balik pintu yang baru terkuak sekitar 15 senti itu. Pintu itu memang tidak bisa dikuak lebar karena masih terjaring rangai grendel pintu. Usai memberitahukan, orang itu pun menutup kembali pintu. Sosok tubuh kekar yang memang sudah sigap, dengan ayunan kaki panjangnya, kaki lebih cepat menghantam sisi pintu, tepat di mana rangka grendel menempel. Upaya penghuni kamar tadi menutup pintu terlambat. Grendel pintu terburai dan gagang pintu bagian dalam dan luar terlempar beberapa meter ke dalam kamar. Salah satunya membentur kepala seseorang penghuni kamar itu yang sedang merapikan sebuah jas yang kelihatannya baru saja ia kenakan.

Setelah pintu itu terkuak, sosok tubuh kekar itu pun memberi aba-aba kepada pasukannya untuk segera menyeruduk masuk menggeleda kamar itu. Lima orang di dalam kamar itu duduk terkulai lemas di tepian dua tempat ditidur sembari melindungi wajahnya dari sorotan lighting kameramen dan fotografer dengan menggunakan jas yang ia kenakan. Kawanan polisi ini pun berhasil menyita berbagai macam barang bukti. Selain itu, seorang polisi langsung meraih sebuah buku cetak dari sakunya dan membacakan berbagai pasal pidana isi buku itu yang berkaitan dengan barang-barang bukti yang terkumpul. Semua disampaikan dengan tegas dan cepat kepada kelima penghuni kamar itu. “Bapak-bapak berhak diam. Kalau bapak menginginkan pengacara, dengan senang hati kami bersama bapak-bapak akan menunggu pengacara itu di kantor kami sebelum pemeriksaan dimulai,” ujar polisi itu sembari menutup buku “pasal-pasal”-nya.

Penggerebekan ini hanya berlangsung selama 15 menit. Wartawan dan kameramen yang menyertai penggerebekan itu terperanga. Pasalnya, tiga dari lima orang penghuni kamar itu adalah orang-orang yang kerap mereka wawancarai selama ini. Satu di antaranya adalah seorang bupati di Sumatera Utara. Seeorang lagi Wakil Gubernur propinsi Timor-Timur. Seorang adalah bupati pada salah satu kabupaten di propinsi Banten. Dua orang lainnya adalah pengusaha masing-masing dari Jakarta, Surabaya, dan Lampung. Ketika kelima orang ini digelandang masuk ke mobil super kijang yang dikawal-kepung brimob bersejata, masyarakat disekitar hotel itu tidak ingin ketinggalan. Meskipun akhirnya masyarakat itu pasrah karena tidak bisa mengetahui secuil identitas kelimat orang yang kepalanya sedang ditutup kain hitam itu.

Bukan berarti masyarakat sekitar hotel itu telah kehabisan kesempatan untuk mengetahui kelima orang yang digelandang itu. Mereka menyaksikan rombongan yang keluar dari mulut pintu hotel itu juga disertai oleh puluhan wartawan surat kabar, radio, dan televisi. Mereka yakin bahwa pada keesokan harinya di pagi buka, mereka akan mengetahui semua itu melalui saluran-saluran televisi dan radio serta lembaran halaman muka surat kabar. Hari esok itu pun telah tiba. Keesokan harinya lagi pun juga sudah tiba. Dan hingga seminggu kemudian, tak satu pun saluran televisi, radio dan surat kabar yang memberitahukan mengenai penggerebekan seminggu sebelumnya itu. Yang ada hanya berita tentang faksinasi folio, virus antraks, flu burung, ulang tahun partai anu, peresmian ini, dan seterusnya.

(kisah ini, termasuk tokoh, peristiwa, tempat, adalah fiktif)

***

Menurut Bill Kovach dan Tom Rosienstel (Kurator Nieman Foundation for journalist dan Kritikus harian Los Angeles Times), tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang diperlukan orang agar bebas dan bisa mengatur diri sendiri. Untuk memenuhi tugas ini, maka:

Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.
Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga.
Intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi.
Para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita.
Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan.
Jurnalisme harus menyedian forum publik untuk kritik maupun dukungan warga.
Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting menarik dan relevan.
Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional.
Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

Dalam pasal 7 ayat (2) UU No 40/99 tentang Pers, jurnalis diperkenankan memiliki dan menaati kode etik jurnalistik. Kode Etik Wartawan Indonesia (KWI) :

  1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar;
  2. Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi;
  3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat;
  4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitias korban kejahatan susila;
  5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap, dan tidak menyalahgunakan profesi;
  6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan; dan
  7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim