SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Kamis, 25 Agustus 2005

Konsep Diri Calon Kepala Daerah PilkadaL

Oleh: Maqbul Halim
Makassar, Juli 2005
“Mulai besok, beritahu seluruh keluarga agar meramaikan rumah,” seru Petta Congkang ke sopir-sopir truknya. “Kini saatnya kehormatan Petta Aji (Ayah kandung Petta Congkang) harus ditunjukkan. Saya akan mencalonkan diri jadi Bupati Kabupaten Makassar,” katanya mendeklarasikan. Lebih separuh partai besar dan kecil di Kabupaten Makassar adalah dipimpin oleh sanak famili Petta Congkang. Ia pun juga berjibun empang dan lahan tambang galian “C” warisan ayahnya.


SEMARAK pemilihan kepala daerah pada pertengahan tahun ini telah memperkaya perbendaharaan tentang perilaku elit-elit politik dan “tokoh-tokoh” masyarakat. Kisah di atas adalah “fiktif” tetapi telah akrab melingkupi kehidupan sosial masyarakat di Sulawesi Selatan (juga seluruh Indonesia). Petta Congkang adalah sebuah sosok yang berangkat dari karakter legenda. Ia menggelontorkan pengertian ke sebuah konteks Pemilihan Kepala Daerah Langsung (PilakadaL) menjadi kategorikal. Seperti wortel dalam kategori sayuran.

Beberapa kategori itu adalah sebagai berikut: PDr alias Percaya Diri, PDt alias Percaya Duit, SPD alias Salah Persepsi Diri, dan TP alias Tersanjung Pujian. PDr dan PDt adalah gejala yang bersumbu pada kondisi internal kejiwaan (impuls). SPD dan TP adalah kategori yang menggumpal akibat terpaan stimulus eksternal (luar). Masih ada kategori lain selain itu, seperti realistis dan wajar (proper). Tetapi kategori ini tidak dikupas karena fenomenanya datar, alias tidak legendaris, untuk diintip sebagai pernik-penik PilkadaL.

Di Sulawesi Selatan (Sulsel) pertengahan tahun ini, terdapat 10 kapubaten yang akan menyelenggarakan PilkadaL: Barru, Bulukumba, Gowa, Luwu Utara, Luwu Timur, Maros, Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Soppeng, Selayar, dan Tanah Toraja. Ada juga Wajo, Makassar, Pinrang, Parepare dan beberapa kabupaten lagi di Sulsel yang dapat ber-PilkadaL tahun ini, tetapi komunitas “dprd”-nya menetapkan pemilihan “tepat waktu”, tepat karena bukan rakyat yang memilihnya langsung. Pada 10 daerah itulah akan lahir sejumlah CERPEN tentang kategori-kagori itu (CERPEN: CERita PENdekar).

PDr adalah perilaku yang umumnya dipandang sebagai menutup diri untuk menimbang hal-hal yang menyangkut kapasitas diri dan konteks lapangan. Contohnya adalah seseorang yang tidak terampil seni musik/menyanyi. Ia memberanikan diri untuk tampil di panggung dengan audiens yang terdiri dari kalangan elit, selebriti, atau kaum jetset. Orang ini pun tidak tahu dan pula memang tidak ingin tahu siapa mereka, audiens itu. Ia pun tampil dengan keyakinan; tidak ada masalah dengan kekurangan yang ada pada dirinya karena menurutnya ia tidak memiliki kekurangan. Padahal kekurangan itu sangat nyata, yakni tidak terampil menyanyi dan didukung suaranya yang menyerupai suara histeris jerapa terjepit roda truk. Everything is running well.

Singkatnya: orang yang berkategori PDr ini tak punya partai politik (berarti “membeli” partai); tak punya uang yang cukup untuk jadi calon; lebih terkenal Basri Masse (orang yang pernah dihukum gantung di Malaysia tahun 80-an karena narkoba) dari pada dirinya; ia hanya dikenal oleh keluarga dekat di daerahnya, seperti oleh orang tua kandungnya, saudara kandungnya, iparnya, sepupunya (makmisal sepupu dua kali), keponakan dan kemanakannya, serta tetangga secukupnya. Orang ini bisa disebut mengharap pemilih “keliru mencoblos” sehingga paku meleset ke fotonya di kertas suara. Dengan kata lain, orang yang terkategori ke dalam jenis persepsi ini adalah sebuah kegagalan membangun konsep diri yang lebih lengkap: sebuah penderitaan.

Derita seperti ini pernah dialami oleh Lia, ibu empat anak kelahiran Makassar 21 Agustus 1947, yang yakin sering di-samperin oleh Malaikat Jibril dan mendapat wahyu. Karena itu pula ia mendirikan dan memimpin Jamaah Salamullah di Megamendung, Puncak, Jawa Barat dan mendaulat anaknya, Ahmad Mukti, sebagai Isa Al-Masih (Jalaluddin Rakhmat, 2003). Kiasan PDr pada diri Lia ini adalah sebuah kebingungan memahami apa yang sesungguhnya terjadi pada dirinya.

PDt adalah gejala perilaku yang dikendalikan oleh prinsip bahwa duit (uang) adalah sumbu segala persoalan, termasuk politik, dan mediator yang paling akomodatif. Persepsi ini adalah peninggalan model praktek demokrasi politik yang pernah efektif pada zaman Orde Baru dan dalam bentuk lain setelah Orde Baru. Pada Orde Baru, barter untuk mendapatkan legitimasi de jure dengan duit (duit politik) menjadi kunci terakhir dalam urusan jabatan bupati/walikota, gubernur dan jabatan lainnya. Faktanya, uang atau duit memang begitu gampang menundukkan tokoh-tokoh agama dan masyarakat dalam praktek politik demokrasi. Bahkan, fatwa kiyai atau ustaz tentang suatu perihal dan sebaliknya tujuan-tujuan politik yang menistakan agama sebagai satu hal dapat bekerjasama dalam “nominal rupiah”.

Kemiskinan, pengangguran, sulitnya lapangan kerja, sulitnya men-setting kebutuhan hidup yang sepele, dan lain-lain adalah mangsa praktek politik yang berpersepsi PDt. Orang-orang kaya, pejabat, pengusaha, kiyai milyarder, dan sejenisnya pun juga tidak pernah tercukupkan kebutuhannya, dan akhirnya menjadi sasaran praktek politik yang berpersepsi PDt ini. Sekalipun demikian, kita tetap menunggu, apakah duit sepenuhnya pasti mendatangkan suara kedaulatan dari rakyat. Calon-calon kepala daerah pada PilakadaL tahun ini pun juga belum selesai menghitung, apakah hartanya yang miliaran itu mampu menghasilkan jumlah suara yang dibutuhkan untuk meraih kemenangan.

Duit tidaklah bersalah. Ia seperti peluru, diniatkan namun tidak pernah berniat untuk suatu hal. Tetapi ia dapat memungkinkan pelecehan, penghinaan dan penistaan bila dimotifkan untuk mendapatkan suara dari rakyat/pemilih. Seseorang dengan duitnya (banyak) akan jadi raja yang dipuja ketika menebarkan duitnya di tengah kerumunan pengemis dan gelandangan di persimpangan jalan. Rakyat/Pemilih tidak lebih sebagai pengemis, gembel, atau semut pencari gula di mata calon bupati dalam PilakadaL: tak ada harga diri, tak ada daya, tak ada kehormatan, lemah. Tak ada bedanya rakyat/pemilih seperti ini dengan harkat dan martabat anggota dewan yang memilih presiden/wakil presiden, gubernur, atau bupati/walikota dalam pemilihan tidak langsung karena duit.

Hipotesa untuk persepsi PDt ini adalah: “CALON KEPALA DAERAH YANG BERDUIT BESAR PASTI MENANG DALAM PILKADAL DI DAERAH YANG PADAT PENDUDUK MISKINNYA, BERPENGANGGURAN TINGGI, DAN TAK BERKEHORMATAN LAGI” (cetak tebal dan tanda petik bukan dari redaksi—pen). PilakdaL bulan Juni dan seterusnya di tahun 2005 ini akan menguji hipotesis ini. Namun, PilkadaL bukanlah untuk menguji hipotesis tersebut.

SPD atau salah mempersepsi diri adalah persepsi yang berkenaan dengan kelemahan atau kealpaan untuk kritis dan ulet berinteraksi dengan “dunia luar diri”. “Dunia luar diri” itu ibaratnya gunung es di kutub utara: hanya kerucutnya yang kecil itu yang kelihatan di permukaan air laut sementara alasnya yang jauh lebih besar tersembunyi di bawah permukaan air laut. Orang yang berpersepsi SPD ini akan mengkosepsi diri berdasarkan interaksinya dengan “dunia luar diri” yang sekerdil pucuk gunung es itu.

Akrab dengan menteri, pejabat, elit politik, atau kalangan schoolar di perguruan tinggi; sering berbicara di radio dan televisi; langganan banyak majalah dan koran; mantan kepala dinas; mantan sekretaris daerah, atau mantan bupati; pernah juara MTQ Qori Tilawah tingkat nasional; dan seterusnya. Dari semua khasanah diri itulah kemudian seseorang membangun gambaran subyektif tentang siapakah dirinya. Atas dasar itu pulalah ia menilai dirinya, membangun keyakinan, serta sikap terhadap dunia sosialnya. Orang ini terus menerus berdiskusi dengan dirinya sendiri. Tetapi ia lupa berdiskusi secara empati dengan dunia sosialnya; dengan “dunia luar diri”-nya.

Ada banyak wujudnya yang pernah teruji dimana persepsi ini berkerja pada diri seseorang. Misalnya, seorang pekerja sosial yang kerap turun ke grass-root melakukan pendampingan pada salah satu desa di kabupaten. Ia menghabiskan waktunya bertahun-tahun bagi komunitas yang beranggotakan hampir satu desa itu. Berangkat dari kontribusi itu, ia mencitrakan diri dalam mentalnya sebagai orang yang dibutuhkan. Maka, ketika ia mengajukan diri jadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), ia dengan mudah berujar: “Saya diminta oleh masyarakat di daerah ini.” Sayangnya dalam urusan itu, seseorang sebaiknya tidak hanya dipilih oleh beberapa komunitas desa, melainkan sebanyak-banyaknya komunitas dalam seluruh wilayah propinsi.

Calon kepala daerah dalam PilkadaL tahun ini mungkin umumnya berlatar belakang tidak jauh berbeda dari model persepsi diri pekerja sosial di atas. Mereka bisa saja hanya bermodalkan beberapa buah pondok pesantren, puluhan majelis taklim, komunitas karang taruna, atau koordinator serikat tani se-Indonesia, lantas mempersepsi diri patut jadi calon kepala daerah dalam PilkadaL. Mereka lupa bahwa tidak sampai seperempat pemilih di daerahnya yang merupakan santri dari beberapa pondok yang ia asuh; juga dari puluhan majelis taklim itu; juga dari serikat tani ini atau itu; juga dari NU, Muhammadiyah, SI, DDI, dan seterusnya. Ia memang sudah 3.243 kali tampil di TVRI Makassar namun lupa bahwa tidak sampai seperempat penduduk dari setiap kabupaten/kota di Sulsel berselera menyimak tayangan TVRI Makassar.

Kita hampir lupa Petta Congkang. Ia sekarang sibuk mengorganisir keluarganya. Armada truk angkutan pasir dan mesin tambang galian “C”-nya dipaksa bekerja all-out. Dalam suatu rapat keluarga, ia harus sukses meyakinkan saudara kandungnya sendiri agar tidak ikut mencalonkan diri di Kabupaten Makassar. Suatu rapat keluarga yang menyerupai rapat pembagian warisan; kamu dapat ini, si anu dapat yang itu, dia memperoleh yang di sana. Begitu gampang, begitu sederhana. Rapat keluarga itu memandang rakyat pemilih sebagai benda pasif dalam PilkadaL, dan PilkadaL hanyalah formalitas yang tinggal menunggu kejadian. Sebuah wujud sosial tanpa sukma.

Fenomena Petta Congkang dan keluarganya bergerak sebagai premis-premis. Bergerak terus mendatangi kesimpulan: keluarga besar haruslah tetap keluarga besar. Mereka amatlah tersanjung dengan keagungan “sejarah konon” Petta Aji: Petta yang berdarah kental “biru”, pemegang lencana “merah-putih” pada perang kemerdekaan, tokoh kharismatik di daerahnya, disegani kawan, lawan, maupun hewan liar nan berbisa. Tetapi ia, Petta Aji, hanya agung (great) sebagai entitas kisah (history). Faktual pada periodenya, bukan kini. Keagungan entitas kisah bukanlah rekomendasi untuk faktual secara kontemporer sebagaimana halnya “yang mulia” pada kerajaan feodal dulu silam.

Meski demikian, kekaguman orang-orang kepada Petta Aji di mata Petta Congkang, adalah berarti juga kesediaan dan kerelaan. Inilah sikap, yang lahir dari suatu persepsi tentang ketiadaan perbedaan makna dalam seluruh waktu, yang rentan (vurnerable) terhadap efek buruk kategori Tersanjung Pujian, alias TP. Bukankah salah seorang saudara kandung Petta Congkang adalah Gubernur Sulawesi Timur? Saudaranya yang lain adalah anggota “tetap” Dewan Keamanan PBB (misalnya)? Yang lainnya lagi adalah pengusaha pesawat tanker minyak? Maka, wajarkah bila Petta Congkang tidak mengajukan diri sebagai calon kepala daerah dalam PilakadaL di Kabupaten Makassar?

Terbitan surat kabar Sulawesi Timur Pos edisi lalu menulis: “Petta Congkang diarak ribuan massa dan beberapa parpol. Menderu seperti arus tsunami, berlumuran kilau cahaya busana adat bangsawan, sebuah karnaval berlapiskan jawara silat kesohor. Kantor KPU(D) yang diam dan kerdil, pun terkepung rapat. Panwas gemetar dan gugup di tengah spanduk yang memayungi badan jalan dan saling melontar pujian tentang Petta Congkang. Di hadapan anggota KPU(D), Petta Congkang berucap ala kadarnya: ‘Demi Petta Aji, kalian pun sebaiknya mengabdi.’”

Penulis adalah pemerhati PilkadaL di Makassar dan anggota Komunitas ëLSIM Makassar.
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim