SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Kamis, 23 Juni 2005

POLISI INDONESIA










###

Polisi Dipercaya

Saya pernah menghitung, ketika saya berinteraksi dengan 10 orang polisi (Polisinya Indonesia), saya menemukan bahwa ada 11 orang dari 10 orang polisi itu yang tidak jujur. Sementara dari 10 itu, ada delapan (8) orang yang tidak bisa dipecaya, dan sisanya, yang 2 orang itu, belum tentu bisa dipercaya.

###

Pasal Rp 50 ribu

Ucapan teman saya di Jakarta tentang polisi mengagetkan saya. Saya menumpang di mobilnya ketika sedang melintas di Jl. Imam Bonjol, Jakarta. Di perempatan jalan menuju Jl. Rasuna Said, seorang pengendara motor yang menerobos lampu merah dicegat oleh polisi lalulintas yang berjaga di persimpangan itu.

"Pasti pengedara motor itu didakwa Pasal 50," ujar temanku dengan enteng sambil melintas ketika lampu hijau sudah menyala. Padahal, teman saya ini hanya tamat SMP. Lagi pula, ia juga tidak mengerti soal hukum, apalagi soal hukum yang mengatur lalulintas. Saya bergumam dalam hati, apa yang ia maksudkan "Pasal 50" itu. Saya yakin, bukan itu yang ia maksudkan. Saya pun menyakan tentang maksud "Pasal 50" itu.

"Pasal 50 itu yang berlaku sekarang. Angkat sudah termasuk potongan inflasi dari Pasal 25 pada tiga tahun sebelumnya. Pasal 50 itu adalah sebutan lain dari pecahan uang Rp 50.000,- atau lima puluh ribu rupiah," katanya menjelaskan.

###
Selengkapnya >>

Rabu, 22 Juni 2005

Masa Depan NKRI di Warung Kopi

Oleh Maqbul Halim

Di warung kopi, sebanyak sepuluh negara baru bisa dideklarasikan setiap pagi sebelum matahari beranjak siang. Segala hal bisa didiskusikan. Mulai dari cara efektif meracik adonan Roti Maros hingga masa depan program pengayaan uranium di Iran, semua dibicarakan. Warung kopi juga terbuka bagi orang-orang kebanyakan, mulai dari makelar mesin jahit bekas hingga makelar pesawat jet tempur Shukoi. Dunia warung kopi juga menciptakan manusia sophisticated, sejenis pakar yang fasih dan meyakinkan dalam menjelaskan segala bidang permasalahan, lengkap dengan metode analisisnya.

Warung kopi lebih longgar dalam hal penggunaan metode analisis. Tidak saklek seperti metodologi di perguruan tinggi atau di dunia akademik. Metodologi bisa dirumuskan sendiri, bisa juga meminjam metodologi yang sudah atau pernah ada. Namun, yang umum di warung kopi adalah metode dirumuskan sesuai dengan sifat dan jenis kesimpulan yang dikehendaki. Kesimpulan juga tetap memiliki peluang melarikan diri presmis yang digunakan.

Beberapa pekan terakhir ini, warung kopi dikejutkan oleh tewasnya tiga orang polisi dan seorang tentara AU dalam upaya membuka blokade oleh mahasiswa Uncen terhadap jalan arteri yang menghubungkan Kota Jayapura dengan Bandar Udara Sentani. Berbagai ragam menu topik yang berkembang dari meja ke meja lainnya. Tulisan ini hanya melaporkan topik yang menyangkut denyut persiapan berdirinya Republik Rakyat Cendrwasih (RRC).

Kontroversi penutupan FI di warung kopi telah bergerak liar: bergetar dan menggetarkan. Dalam tempo sehari, beberapa orang, Amir Madjid, Nadjib Latandang, dan Abubakar berhasil merampungkan kehancuran NKRI. Cukup dengan dua cangkir kopi hangat, mereka mampu meluluh-lantakkan NKRI. Mereka menggunakan metode yang berbeda, namun tetap berakhir pada titik yang sama, kelam dan menyedihkan.

MENURUT Amir Madjid, seorang pensiunan pejabat sipil, pergolakan di Papua itu sebenarnya disetting oleh Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat. Analisisnya dimulai dengan asumsi dasar bahwa AS menginginkan Papua tidak lagi berada di bawah naungan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Madjid membutuhkan dua cangkir kopi untuk menuntaskan paparan analisisnya pada menit ke-140. Dalam analisis itu, ia berterus terang bahwa asumsinya ditopang oleh kebencian yang lemah tetapi tetap dalam bingkai akal sehat.

Kata Madjid, CIA sudah menyusup ke Papua dan Jakarta untuk menggerakkan masyarakat Papua serta mahasiswa di sana untuk melancarkan tuntutan agar PT Freepot Indonesia (FI) yang berasal dari AS itu ditutup. Fakta yang dijadikan landasan Majid adalah adanya gerakan simultan masyarakat Papua di Bumi Cendrawasih dengan masyarakat Papua rantau di Jakarta atau di Jawa. Selain simultan, secara horisontal juga kian meluas, gerakannya rapi, sistematis, berlarut, dan sasarannya jelas: ketidak-adilan. Ketidak-adilan yang berhasil tereksploitasi yang berujung pada tuntutan penutupan FI adalah bahwa “emas Papua untuk FI dan Jakarta, bukan untuk pribumi Papua”.

Ketika situasi chaos Papua dan area FI di Timika kian tak terkendali, baik oleh sipil (polisi) maupun militer, maka AS akan terlibat langsung mengevakuasi warganya yang ada di Papua. Begitulah tukas Madjid melanjutkan analisisnya. Atas dasar itu, maka AS akan mengerahkan pasukan militernya memasuki perairan Indonesia di Papua. Menurut Madjid, AS dapat melakukan itu dengan mudah karena beberapa divisi AL AS kini tengah latihan bersama dengan TNI AL di wilayah perairan Indonesia. Di kawasan selatan Asia Tenggara, kapal induk AS juga setiap saat siap digerakkan menuju sasaran.

Ketika evakuasi oleh militer AS itu digelar, rakyat Papua akan dipersenjatai secara diam-diam. Militer AS juga merasa bertanggung jawab secara moral untuk melindungi rakyat Papua oleh tindakan represif-dendam militer dan polisi Indonesia akibat tewasnya tiga polisi dan seorang personel TNI AU sebelumnya. Karena FI dan kantor-kantornya di Timika dan Papua adalah asset milik warga AS yang membayar pajak di negara asalnya, maka militer AS juga membangun pangkalannya di situs-situs tersebut untuk menjamin keamanan warganya dan aset-aset miliknya warganya. Di pangkalan ini pula, warga Papua yang berorientasi separatis akan mendapat perlindungan suaka.

Prediksi Madjid menyebutkan bahwa hanya dalam tempo enam bulan, rakyat Papua akan bergerak secara kolosal menuntut kemerdekaannya. Majelis Rakyat Papua (MRP) sekarang ini, kata Madjid, mengikuti pola kerja Badan Pelaksana Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk oleh Jepang pada masa pendudukannya atas Hindia Belanda semasa Perang Dunia II. MRP itulah, kata Madjid, yang akan mengambil alih situasi Papua menyusul referendum kemerdekaan oleh PBB yang “disponsori” AS dan FI secara tidak langsung.

KEESOKAN harinya di meja yang sama diduduki Amir Madjid sehari sebelumnya, giliran Nadjib Latandang mengulaskan analisisnya. Latandang juga sependapat dengan Madjid sebelumnya bahwa chaos di Papua tentang FI di Papua itu disetting oleh CIA. Namun, estimasi Lantandang bergerak ke arah yang berlainan dari estimasi yang ditesiskan Madjid sebelumnya.

Latandang melihat CIA akan tersus meningkatkan situasi chaos sehingga pihak Jakarta memutuskan menutup FI dan membatalkan kontrak dengan FI. Analisis Latandang didasarkan pada fakta keterlibatan alumni-alumni AS seperti Amien Rais dan lain-lain mengajak Jakarta untuk meninjau ulang kontraknya dengan FI, minimal menutup operasional tambang emas itu untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Kemarahan rakyat telah melintasi wilayah teritori pulau Papua. Makassar, Ambon, Manado, Ternate, Lombok, Palu, Kendari, Biak, dan berbagai kota lainnya di Indonesia Timur bergolak menuntut penutupan FI.

Apa sebenarnya yang diharapkan oleh AS melalui FI dengan diputuskannya secara sepihak kontrak itu? Pada titik pertanyaan ini, Latandang menjadi bersemangat lagi. Ketika kontrak itu diputuskan secara sepihak oleh Jakarta, maka perusahaan AS ini akan membawa kasus ini ke Arbitrase International (AI). Ini mirip dengan kasus yang pernah menimpa PLN beberapa tahun silam sehingga menyebabkan Jakarta dijatuhi denda sekian juta dolar AS. Menurut Lantandang, itu akan terulang. Namun kali ini, efeknya jauh melebihi.

FI akan mengugat Jakarta melalui AI dengan tuntutan berupa tebusan ratusan juta dolar AS. Latandang menjamin, Jakarta tidak akan memenangkan perkara itu. Kata Latandang, karena Indonesia masih dililit utang dan defisit anggaran, maka Indonesia tentulah tidak mungkin membayar denda itu. Akhirnya, Jakarta didesak melelang Pulau Papua yang masuk wilayah NKRI untuk digadaikan. Tebusan yang diperoleh dari penggadaian itulah yang digunakan untuk melunasi denda pemutusan kontrak dengan FI. Negara peserta lelang yang diprediksi Latandang antara lain: AS, Inggris, Jepang, dan Australia sementara untuk perorangan antara lain: Ruper Murdoch, Bill Gates, George Soros, Siti Hardiyanti Indra Rukmana (Tutut) dan lain-lain.

ABUBAKAR, seorang aktivis LSM berangkat dari pendapat yang berbeda. Menurut penikmat kopi toraja ini, konflik FI di Papua akan menggiring Indonesia ke Mahkamah Internasional atau International Justice (MI) karena pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Aktivis-aktivis Papua Anti FI akan mengajukan suaka politik ke sejumlah negara. Abubakar mencontohkan adanya 42 warga Papua yang mendapatkan Visa Tinggal Sementara dari Imigrasi Australia setelah kerusuhan berdarah di Abepura.

Berikutnya, kata Abubakar, akan ada lagi permohonan suaka politik oleh warga Papua ke negara-negara seperti AS, Inggris, Vatikan, Malaysia, Timor Leste, Denmark, Belanda dan lain-lain. Musim permohonan Suaka Politik oleh warga Papua ini memaksa Jakarta (polisi dan militer) mengambil tindakan represif dan brutal terhadap warga Papua yang masih tersisa. Huru-hara pun menyebar menyelimuti Papua. Bias pelanggaran HAM oleh polisi dan militer akan mengisi halaman muka surat kabar-surat kabar internasional. CNN, VOA, BBC, AFP, dan berderet kantor berita lainnya menempatkan stasiunnya di Jayapura dan Timika untuk mendapatkan liputan langsung.

Internasionalisasi bias pelanggaran HAM di Papua ini akhirnya direspon oleh Kongres AS. Setahun silam, kata Abubakar mengenang, Kongres AS pernah menunjukkan sikap simpatinya atas perlakuan tidak adil Jakarta terhadap rakyat Papua. Pemerintah dan DPR RI meresponnya dengan sikap penyesalan. Jakarta ketika itu meminta Dubes RI di Washington dan Dubes AS di Jakarta memberikan klarifikasi mengenai “jeweran” Kongres AS itu. Pada titik inilah, isu pelanggaran HAM di Papua menggelinding bagai bola salju. Bola ini kemudian berakhir di Mahkamah International, Den Hag, Belanda.

Adapun tentang Kongres AS, lanjut Abubakar, lembaga ini akan menggiring Indonesia ke meja Sidang Umum Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB. Indonesia akhirnya dijatuhi embargo ekonomi dan militer (a ban of economy and military). Akibatnya, terjadi kelumpuhan total ekonomi yang menyebabkan utang Indonesia berlipat ganda akibat menggelembungnya utang luar negeri. Pulau-pulau Indonesia, termasuk Papua, akan dicaplok dengan mudah oleh negara-negara tetangga karena pertahanan laut TNI hanya bermodalkan nyali. Dengan kata lain lumpuh karena embargo militer.

Jadi sesungguhnya nasib NKRI di warung kopi, ibaratnya bara dalam sekam. Ketika Jakarta mempertuan FI, sebuah kehancuran telah disemai. Ketika rakyat dan aparat saling bunuh dan saling menyakiti dengan FI dan AS, seketika itu Indonesia telah tiada. Yang tersisa tinggal warung kopi, tempat dimana kata “Indonesia” disebut-sebut dalam obrolan. Sebuah tempat yang bernama “Republik Warung Kopi”.

Penulis: Anggota Komunitas ëLSIM Makassar
Pernah dimuat di Tribun Timur - Makassar pada 2005
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim