SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Senin, 04 April 2005

Persepsi Stake Holder di Kota Makassar tentang Pemilu 2004

Oleh: Maqbul Halim
Pemilu atau pemilihan umum di Indonesia adalah perkara hukum. Disebut perkara hukum karena merupakan salah satu basis instrumen pilar eksisnya Indonesia sebagai negara hukum. Dengan demikian, segala perilaku dalam rangka pemilihan umum berarti merupakan tindakan hukum. Semua tindakan dalam hal ini adalah bagian dari proses hukum: proses hukum pemilihan umum.

Pada sisi tertentu, pemilu juga dapat diasumsikan lain. Pemilu adalah perkara politik. Pemilu itu sendiri adalah suatu proses seni untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Pemilu menentukan kualitas hubungan antara penguasa dan yang dikuasai. Dalam pentas politiklah, adu jotos atau otot untuk mendapatkan penguasa diubah menjadi ajang kompetisi pengaruh. Ada pemenang, ada pecundang.

Kedua ranah tersebut—hukum dan politik—masing-masing menempati kolom konteks yang berbeda. Ranah hukum menuntut akurasi sementara ranah politik menuntut kelenturan. Bebagai perilaku stake-holder dalam pemilu 2004 di Kota Makassar kerap keliru membaca dan memperlakukan kedua ranah tersebut. Latar belakang ranah politik, misalnya, digunakan untuk mepersepsi perkara hukum. Juga sebaliknya, ranah hukum digunakan untuk menuntut etika dan kepatutan dalam ranah politik.
Fakta-fakta ini memang terkesan sebagai sebuah ketidak-siapan secara kognitif. Pimpinan partai di tingkat kecamatan misalnya tidak dibekali dengan pengetahuan politik dan hukum yang cukup tentang pemilihan umum. Mereka ini belum mencakup pimpinan-pimpinan partai politik baru yang juga baru saja berkecimpun dalam dunia politik. Artinya, musim pemilulah yang memikat mereka memasuki pentas pemilu. Pengetahuan mereka tentang aspek politik dan hukum pemilu sangat simplistis dan alakadar-nya. Sudah alakadar-nya, tidak mau belajar pula.

Ketidak-siapan secara kognitif juga dialami oleh stake-holder yang lain. Contoh yang paling menonjol adalah personel pengawas pemilu (Panwaslu) mulai dari tingkat Propinsi Sulsel hingga di tingkat kecamatan di Kota Makassar. Mereka kerap berperilaku melebihi kewenangan yang mereka miliki menurut undang-undang dan peraturan yang mengatur pengawasan pemilu. Contohnya adalah boikot ketua Panwaslu Makassar (Walk-Out/WO) dalam Rapat Pleno Terbuka KPU Kota Makassar yang menetapkan nama-nama calon Anggota DPRD Kota Makassar untuk dilantik. Sejatinya, tindakan ini hanya “milik” peserta pemilu yang tidak puas dengan hasil pleno KPU Kota Makassar. Namun justru sebaliknya yang terjadi, peserta pemilu 2004 sebanyak 24 partai politik menerima hasil rapat pleno tersebut dan bertanda-tangan. Maka, cukup beralasan ketika seorang aktivitis parpol peserta pemilu ketika itu bertanya, “Apakah Panwaslu Kota Makassar itu juga peserta pemilu seperti halnya partai-partai?”

Hal serupa terjadi pada aparat pemerintahan di tingkat kecamatan hingga kelurahan. Sistem pemilu 2004 menempatkan jajaran pemerintahan secara hirarkis mulai dari pemerintah propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, hingga di desa/kelurahan berfungsi sebagai fasilitator. Pada prakteknya, tidak sedikit dari mereka (baca: aparat) yang menjalankan fungsi-fungsi Organizing Committee (OC) yang sebenarnya ada pada penyelenggara seperti Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Salah satu contoh adalah salah seorang lurah di kota Makassar yang memimpin langsung penghitungan rekapitulasi suara di tingkat kelurahan (PPS/Panitia Pemungutan Suara). Bahkan, ada pula salah seorang sekretaris kecamatan atas nama jabatannya “mengamankan” kode password komputer jaringan penghitungan suara KPU di kecamatan dan menyimpannya di dalam ruang kerjanya sehingga pada saat di luar jam kerja, PPK tidak dapat menggunakannya. Alasan sekretaris kecamatan ini bahwa apapun yang berada dalam wilayah kantornya adalah menjadi tanggung-jawabnya.

Kasus-kasus ini memberitahukan bahwa sebagian masalah dalam pelaksanaan pemilu 2004 di kota Makassar tidak sepenuhnya berisfat teknis, melainkan kekeliruan persepsi. Paradigma yang digunakan untuk memandang bagian-bagian dan tahapan-tahapan pelaksanaan pemilu mungkin juga keliru. Oleh karena itu, perbedaan pendapat yang berlangsung dalam hal ini menjadi kontra-produktif. Masing-masing topik perbedaan pendapat itu bergerak ke arah yang berbeda sesuai masing-masing persepsi yang ada. Salah satu indikator kekeliruan persepsi itu bisa ditemukan pada sebagian kecil aparat kelurahan yang masih melihat sistem Pemilu 2004 adalah sama dengan pemilu yang pernah terjadi pada Pemilu 1999 atau Pemilu 1997.

Ada sebuah anekdot tentang para politisi di Kota Makassar ketika berkubang dalam arena Pemilu 2004. Partai politik dengan segala kepentingannya diibaratkan sesosok manusia dengan tubuh yang tambun. Sosok ini hendak memasuki sebuah lubang pintu yang juga dilewati oleh banyak orang, di mana ukurannya sendiri tidak bisa memuat sosok yang hendak lewat ini. Karena ia memaksakan diri untuk melewati pintu itu, akhirnya ukuran kusen lubang pintu yang diubah alias diperlebar. Sejatinya, orang ini mestinya mengecilkan dulu tubuhnya hingga termuat oleh lubang pintu. Untuk mengecilkan tubuh, tentu butuh waktu dan pengorbanan seperti program diet secara konsisten, bukan pekerjaan sekejap seperti membalikkan telapak tangan. Ketika undang-undang dan peraturan pemilu diterapkan, KPU Kota Makassar yang menjaga pintu seperti dalam anekdot itu ternyata harus berhadapan dengan sosok tubuh yang tambun yang tidak bisa termuat oleh lubang pintu yang ada. Mereka beramai-ramai memaksakan untuk mengubah kusen lubang pintu agar mereka dapat melewatinya dengan tenang tanpa tersangkut: sebuah kerja yang tidak akrab dengan kesabaran, kerja keras, dan pengorbanan.

Lain halnya dengan jajaran penyelenggara pemungutan suara di tingkat kecamatan (PPK), kelurahan (PPS), dan di tingkat TPS (KPPS). Energi mereka cukup banyak terserap oleh kegiatan-kegiatan yang mempersoalkan anggaran Pemilu 2004—lebih umum berkaitan dengan honor mereka yang dikenal dengan nama “uang kehormatan”. Mereka mempersepsikan aktivitas temporernya selaku personel organ penyelenggara pemungutan suara itu sebagai lapangan kerja. Mereka menuntut agar honor mereka dalam sebulan disetarakan dengan Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Propinsi (UMP), misalnya. Mereka terobsesi oleh deretan angka biaya Pemilu 2004 yang jumlahnya trilyunan itu. Akibat obsesi itu juga, ada beberapa anggota PPK atau PPS di Kota Makassar yang mempertanyakan posisi lurah dan camat dalam anggaran pemilu 2004 itu. Rupanya gayung bersambut, beberapa lurah dan camat di Kota Makassar juga merasa keterlibatan yang telah diberikan itu hanya dalam rangka “PADAMU NEGERI” tanpa reward “SORAK-SORAK BERGEMBIRA”. Atau sebutlah istilah mereka: “KPU Kota Makassar memakan daging ikan, camat dan lurah memakan tulangnya.”

RANAH Hukum pada pemilu 2004 di Kota Makassar juga kerap dipersepsikan secara keliru. Pada awal musim pencalonan untuk kursi legislatif di DPRD Kota Makassar, banyak kalangan masyarakat dan Ornop—termasuk Panwaslu Makassar dan Sulsel sendiri—mendesak KPU Kota Makassar agar mencoret nama-nama calon yang diusulkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu namun terindikasi sebagai politisi “kotor”. Sementara tindakan KPU itu sendiri harus betul-betul jelas legitimasi hukumnya, tidak boleh didasarkan pada tekanan pihak-pihak tertentu yang kepentingannya tidak bisa diakomodir oleh undang-undang dan peraturan yang ada.

Kekeliruan dalam mempersepsi kewenangan KPU juga dapat ditemukan pada berbagai kasus. Sebutlah misalnya kasus ijazah palsu sebagai contoh. Pihak Panwaslu Kota Makassar dan kalangan tertentu (kompetitor sesama caleg di partai yang sama namun memiliki nomor urut yang lebih di bawah dari pada nomor urut calon yang dilaporkan berijazah palsu) dalam partai politik menginginkan agar KPU Kota Makassar mencoret nama-nama calon yang sedang disangka atau di-“gosip”-kan berijazah palsu. Dalam hal ini, ada dua desakan kepada KPU Kota Makassar. Pertama adalah desakan dari masyarakat umum dan kalangan tertentu partai politik agar KPU Kota Makassar mencoret mereka yang sedang dilaporkan berijazah palsu dari daftar caleg. Alasan yang mereka usung ini tidak menggunakan istrumen hukum dan peraturan yang ada. Mereka hanya mengklain bahwa yang mereka sampaikan adalah aspirasi yang bertujuan untuk membersihkan lembaga legislatif dari orang-orang yang berijazah palsu.

Desakan kedua adalah dari Panwaslu Kota Makassar. Lembaga ini menginginkan agar KPU Kota Makassar memiliki keterampilan teknis sehingga mampu membedakan antara ijazah asli dan palsu. Kewenangan yang dimiliki oleh KPU (Kota Makassar) sesuai ketentuan adalah hanya memverifikasi kelengkapan secara administratif pemenuhan persyaratan calon. Misalnya persyaratan tingkat pendidikan dengan tingkatan minimal adalah tamat SMA/SMU atau sederajat. Calon yang bersangkutan hanya menyerahkan foto copy ijazah yang disahkan oleh sekolah atau instansi yang mengeluarkan ijazah itu. Dokumen foto copy itulah yang dijadikan dasar oleh KPU Kota Makassar untuk memastikan bahwa calon yang bersangkutan sudah memenuhi persyaratan mengenai pendidikan itu.

Persoalan mendasarnya adalah—kalau memang KPU diberi kewenangan menentukan kepalsuan ijazah seseorang, mampukah KPU menentukan ijazah seseorang itu palsu atau asli melalui dokumen foto copy? Pertanyaan lainnya adalah apakah penentuan ijazah seseorang itu palsu atau asli adalah perkara pemilu atau bukan? Apakah KPU merupakan lembaga yudikatif yang berwenang memberi vonis suatu ijazah itu palsu atau asli? Pertanyaan ini sebenarnya tidak terjawab ketika Panwaslu Kota Makassar berniat menelisik satu persatu ijazah caleg yang telah disetorkan partai politik ke KPU Kota Makassar untuk Pemilu Legislatif dan DPD 2004. Akhirnya, KPU Kota Makassar tidak sanggup mengakomodir “niat suci” Panwaslu Kota Makassar itu karena terbatasnya kewenangan, dimana KPU Kota Makassar hanya berwenanga memeriksa kelengkapan administratif persyaratan calon. Asli atau palsu dokumen persyaratan administratif itu adalah urusan penyidik, jaksa, dan hakim. KPU Kota Makassar hanya menunggu hasil kerja mereka.

ADA juga sejumlah kalangan yang mendesak KPU tersebut di atas dengan persepsi lain mengenai peran dan fungsi KPU serta Pemilu 2004 itu sendiri selain yang tertera dalam UU No. 12 Tahun 2003. Tesis yang mendasari persepsi tersebut antara lain sebagai berikut:
  1. KPU yang menentukan demokratis atau tidaknya Pemilu 2004,

  2. KPU bertugas melindungi suara rakyat yang dihasilkan oleh pemilu,
    KPU harus menetapkan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak calon bersangkutan karena Pemilu 2004 menganut sistem Proporsional Daftar Terbuka;

  3. Sengketa antara Peserta Pemilu dan Penyelenggara dapat diselesaikan di semua tingkatan melalui Panswas/Panwaslu; dan

  4. Hasil pemilu 2004 adalah negotiable, alias dapat menyesuaikan diri menurut kondisi.
Tesis-tesis di atas adalah contoh yang kerap menjadi paradigma berpikir tentang KPU dan Pemilu 2004. Karena ini pulalah sehingga tidak sedikit masalah yang berkaitan dengan Pemilu 2004 dipaksakan untuk diselesaikan oleh KPU Kota Makassar. Salah satu contoh adalah konflik internal yang dialami sebagian partai tentang nomor urut calon yang telah diajukan ke KPU Kota Makassar. Mereka yang kecewa dengan nomor urutnya karena tidak sesuai dengan apa yang telah mereka sepakati, meminta KPU Kota Makassar agar merubah nomor urut itu sesuai dengan yang telah mereka ketahui atau sepakati. Sebaliknya, ada pula calon legislatif yang telah ditetapkan oleh partainya berinisiatif “mempagari” kantor KPU Kota Makassar agar jauh dari jangkauan kalangan partainya sendiri yang tidak puas dengan keputusan partai tentang nomor urut calon.

Lebih jauh lagi, mereka juga menilai bahwa KPU Kota Makassar tidak melayani mereka (para bakal calon itu) secara adil sebagai peserta pemilu. Mereka rupanya tidak jelas memahami bahwa yang menjadi peserta dalam pemilu legislatif itu adalah partai politik, bukan bakal calon maupun calon anggota legislatif. Tidak sedikit calon anggota legislatif mendatangi kantor KPU Kota Makassar untuk menyatakan keberatannya atas hasil pemilu yang telah ditetapkan. Ketika keberatan mereka ditolak, mereka lantas menuding KPU Kota Makassar tidak melayani peserta pemilu di Makassar. Mereka betul-betul buta bahwa KPU Kota Makassar hanya melayani peserta pemilu—alias partai politik, bukannya melayani calon anggota legislatif.

Tudingan seperti ini juga dilontarkan dari mereka (calon anggota legislatif) yang suara partainya tidak cukup untuk memperoleh kursi atau nomor urutnya tidak dijangkau oleh jumlah suara yang diperoleh partainya. Idealnya, keberatan itu diajukan oleh pimpinan pusat partainya dalam rangka sengketa dengan penyelenggara pemilu (KPU Pusat) sebagai tergugat melalui Mahkamah Konstitusi. Banyak pengurus teras partai politik peserta Pemilu 2004 di Kota Makassar yang memilih jalan pintas memaksa KPU Kota Makassar mengulang penghitungan karena merasa suara yang diperoleh partainya terpangkas atau hilang ketika direkap di KPU Kota Makassar atau di tingkat PPK. KPU Kota Makassar telah menyakinkan bahwa alternatif itu tidak mungkin menghasilkan kekuatan hukum karena KPU Kota Makassar telah menetapkan hasil Pemilu Legislatif 2004 melalui rapat pleno. Sesungguhnya, mereka sudah memahami dengan baik apa yang telah disarankan oleh KPU Kota Makassar itu sehingga tidak perlu mendesakkan penghitungan ulang. Namun, karena bekal mereka sangat tipis untuk lanjut beracara di Mahkamah Konstitusi, akhirnya yang dipilih adalah mendesak langsung KPU Kota Makassar untuk melakukan penghitungan yang difasilitasi oleh mereka sendiri—sejumlah partai politik yang menyebut komunitasnya dengan nama “Forum Lintas Parpol”—meskipun perhitungan yang mereka lakukan tidak mempengaruhi rakapitulasi yang telah ditetapkan oleh rapat pleno terbuka KPU Kota Makassar.

KPU Kota Makassar sendiri tidak dapat luput dari gugatan hukum, sekalipun misalnya telah mengambil langkah-langkah proporsional sesuai dengan fungsi yang kewenangannya. Salah satu contoh adalah pemecatan tiga calon legislatif dari Partai Golongan Karya (Partai Golkar) oleh partainya. Yang perlu digaris-bawahi adalah bahwa yang memecat mereka dari Partai Golkar bukan KPU Kota Makassar, melainkan DPD II Partai Golkar Kota Makassar sendiri. Kenyataannya, KPU malah menjadi turut tergugat dalam perkara ini. Memang ada proses hukum yang tengah ditempuh oleh mereka dalam kaitan dengan keputusan partai yang memecatnya itu. Namun proses itu tidak terakomodir dalam satu klausul pun pada UU Pemilu 2004 menyangkut penetapan dan pelantikan calon anggota legislatif terpilih. Oleh karena itu, KPU Kota Makassar tetap mengacu pada keputusan Dewan Pimpinan Partai Golkar Kota Makassar mengenai penggantian calon terpilih.

Contoh lainnya adalah KPU Kota Makassar dinilai tidak memberi pelayanan maksimal dalam pelaksanaan kampanye kepada partai politik peserta pemilu pada Pemilu Legislatif 2004. Sebagai catatan, terdapat lima Daerah Pemilihan (DP) di kota Makassar. Masing-masing DP ditempati satu unit panggung yang dapat dipakai oleh semua Partai Politik peserta pemilu untuk menyelaksanakan kampanye. Partai tersebut kemudian mengeluhkan bahwa panggung itu terlalu kecil dan suplai Kwh listik yang disediakan terlalu kecil. Keluhan itu lantas diarahkan ke KPU Kota Makassar. Fakta yang ada adalah bahwa panggung itu bukan diadakan oleh KPU Kota Makassar, melainkan Pemerintah Kota Makassar. Bahkan bila merujuk pada UU Pemilu Legislatif dan DPD 2004 serta Surat Keputusan KPU yang mengatur tentang kampanye, maka justru fasilitas seperti panggung itu adalah tanggung jawab masing-masing partai politik yang sedang melakukan kampanye.

Dari mozaik persepsi Pemilu 2004 di atas, berbagai persepsi keliru perlu mendapatkan pelurusan sehingga persiapan dan pelaksanaan Pemilihan Umum tidak terhimpit oleh misperception yang kontra produktif. Kesalahan mempersepsi Pemilihan Umum tidak lagi menjadi dominasi dalam rangka menjawab permasalahan-permasalahan yang ada.

Karena hal ini menyangkut persepsi, berarti salah satu opsi yang prioritas adalah sosialisasi sistem pemilihan umum. Sosialisasi yang prioritas adalah pada stake holder pemilihan umum itu sendiri. Argumennya adalah persoalan teknis yang dominan akibat kesalahan persepsi kerap berasal dari mereka. Merekalah sasaran yang paling akurat dan primer dari sosialisasi pemilu itu. Prioritas selanjutnya adalah masyarakat umum seperti warga, pemilih terdaftar, dan pemilih baru. Mereka ini menjadi prioritas kedua karena jauh lebih akseleratif memahami sistem pemilu ketimbang stake holder pemilu itu sendiri.■


(Tulisan disadur dari buku "Pemilu Rakyat di Kota Makassar" yang diterbitkan oleh KPU Kota Makassar tahun 2005).
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim