SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Senin, 20 Desember 2004

Kaitan Antara Etika dan Ilmu Pengetahuan

Tugas

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu

Dosen : Prof. Dr. T. Fatima Djajasudarma, Drs.

Kaitan Antara Etika dan Ilmu Pengetahuan

Maqbul Halim

L2G04026

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG 2004



Kaitan Antara Etika dan Ilmu Pengetahuan

Oleh : Maqbul Halim

(L2G04026)

Pertentangan Ontologis: Ilmuan dan Gereja

Copernicus (1473-1543) dan kemudian diteruskan oleh Galileo (1564-1642), berteori tentang “bumi berputar mengelilingi matahari”, bukan sebaliknya seperti yang diyakini dalam ajaran gereja. Agama (gereja) adalah mata air sebagian besar tatanan moral dalam pengertian metafisik menentang pernyataan Copernicus itu. Perbedaan pendapat antara ilmuan dan kalangan gereja ini menandai babak dimulainya pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama. Galileolah yang kemudian menjadi tumbal pada puncak pertentangan ini ketika menghadapi pengadilan agama agar ia mencabut pernyataannya bahwa bumi mengelilingi matahari.




Pertentangan ini sesungguhnya terjadi pada wilayah medan ontologis (metafisika). Petualangan untuk mengungkap kebenaran dalam gejala alam semesta mestilah bebas dari nilai. Sementara pada tahap ini, petunjuk-petunjuk agama sebagai suatu nilai kebenaran tentang alam semesta, membatasi kontemplasi ontologis kalangan ilmuan untuk mengungkap hakikat dari realitas alam. Dapat dikatakan bahwa pertarungan sesungguhnya yang terjadi antara ilmuan dan agamawan ketika itu adalah upaya otoritas agama untuk mempertahankan maknanya tentang realitas, sementara kalangan ilmuan lebih pada perjuangan untuk membebaskan diri dari nilai-nilai untuk mengungkap hakikat realitas. Pertentangan dalam ruang ontologis inilah yang sesungguhnya dialami antara otoritas gereja dengan Copernicus, Galileo, Socrates, dan sebagainya.

Kegigihan ilmuan tersebut di atas sebenarnya merupakan sebuah tekad untuk menemukan kebenaran, sebab menemukan kebenaran—apalagi mempertahankannya, diperlukan keberanian moral. Sejarah kemanusiaan dihiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawahnya dalam mepertahankan kebenaran apa yang mereka anggap benar (Jujun S. Suriasumantri 1994). Demikian untuk hal ini, perlawanan yang dilakukan ilmuan ini adalah sebuah perlawan ontologis: kebenaran asali tentang alam semesta. Pihak gereja mendasarkan legitimasinya tentang kebenaran alam semesta menurut panduan al-Kitab sementara kalangan ilmuan mendasarkannya pada prinsip-prinsip kontemplasi yang positivistik.

Pada tahun 1800-an, akhirnya ilmuan memperoleh otonominya secara utuh. Otonomi dalam artian bahwa kegiatan kontemplasi “ontologis” ilmu untuk menyibak hakikat realitas terbebas dari pengaruh nilai-nilai dari luar wilayah ontologis itu seperti agama, ideologi atau pertimbangan etis. Di sinilah ilmu pengetahuan mendapatkan otonomi untuk mengembangkan kajian dan penelitiannya. Mempelajari gejala alam menurut hukum-hukum yang bekerja dan mengatur kejadian-kejadian alam, bukan menurut ketentuan-ketentuan yang diidealkan oleh ajaran agama dari al-kitab atau ideologi tertentu.

Otonomi Pengembangan Ilmu

Berkat otonomi ini pula, ilmuan dapat berekspansi melalui proses-proses ontologis sehingga melahirkan berbagai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini dibangun atas dasar kajian-kajian epistemologis terhadap obyek-obyek pengetahuan yang dilahirkan oleh proses ontologis sebelumnya. Ilmu pengetahuan berkembang pesat pada tahap ini, karena berbagai macam metode ilmiah untuk mendapatkan pengetahuan, dikembangkan dikembangkan terus oleh para ilmuan. Gejala alam dan gejala kehidupan manusia (sosial-humaniora), satu-satu persatu ditemukan dan terus menambah perbendaharaan pengetahuan manusia. Begitu pula, obyek material melahirkan juga ilmu-ilmu murni maupun terapan (sesuai dengan obyek formalnya), seperti ilmu ekonomi, biologi, hukum, fisika, kedokteran, fisika, pertanian, sosiologi, antropologi, politik, dan sebagainya.

Seperti disebutkan tadi, bahwa obyek-obyek material ilmu dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok—dasarnya dalam filsafat ilmu: yakni ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Ilmu alam melahirkan sejumlah obyek formal yang dikaji oleh dan menurut disiplinnya sendiri seperti biologi, fisika, farmasi, pertanian, peternakan, kedokteran, peternakan, matematika, kimia, geologi, dan sebagainya. Ilmu-ilmu yang tergolong ke dalam ilmu alam ini dibagi menjadi dua, yaitu: ilmu murni yang mencakup biologi, fisika, matematika, dan kimia; dan ilmu terapan yang mencakup fisika terapan, biologi terapan, kimia terapan, peternakan, pertanian, geologi, teknologi dan sejenisnya.

Sedangkan yang tercakup ke dalam ilmu-ilmu sosial adalah sosiologi, antropologi, politik, administrasi, ekonomi, hukum, budaya, komunikasi, psikologi, dan sebagainya. Seperti ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial juga dibagi ke dalam dua kelompok, yakni ilmu murni dan ilmu terapan. Ilmu murni mencakup antropologi, politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, budaya, hukum, dan sejenisnya. Sementara yang tergolong ke dalam ilmu terapan antara lain komunikasi, pemerintahan (politik terapan), kependudukan (sosiologi terapan), administrasi, manajemen atau akuntansi (ekonomi terapan), hukum tata negara (hukum terapan), dan sebagainya.

Kembali kepada tiga dasar terbentuknya ilmu penetahuan dalam filsafat ilmu: ontologis, epistemologis, dan aksiologis, maka ilmu-ilmu murni yang telah dikemukakan sebelumnya mengembangkan dirinya dalam wilayah dasar ontologis dan epistemologis. Sementara untuk ilmu-ilmu terapan berkembang dalam wilayah dasar aksiologis. Tulisan ini akan berlanjut pada kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan pada tingkatan aksiologis. Tingkatan ini akan berbicara mengenai manfaat dan kegunaan hasil ilmu pengetahuan ini untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia.

Tingkatan Aksiologi Pengetahuan

Dalam filsafat ilmu, menurut Bertrand Russel, tahap ini disebut juga tahap manipulasi. Dalam tahap ini, ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman (ontologi dan epistemologi), melainkan juga untuk memanipulasi faktor-faktor yang terkait dengan alam untuk mengontrol dan mengarahkan proses-proses alam yang terjadi. Konsep ilmiah tentang gejala alam sifatnya abstrak menjelma bentuk jadi kongkret berupa teknologi, misalnya (Jujun S. Suriasumantri 1994).

Teknologi yang dapat diartikan sebagai penerapan konsep-konsep ilmiah untuk memecahkan persoalan-persoalan praktis, dalam perjalan dan pencapaian-pencapaiannya, justru menimbulkan masalah lain. Eksesnya yang dapat disebutkan misalnya dehumanisasi, degradasi eksistensi kemanusiaan, dan pengrusakan lingkungan hidup. Sejarah kehidupan manusia memang telah mencatatkan bahwa Perang Dunia I dan II merupakan ajang pemanfaatan hasil temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaannya secara destruktif ini menimbulkan kontroversi. Pada satu sisi hal itu menimbulkan efek kehancuran pada manusia dan alam, sementara pada sisi lainnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian banyak dimanfaatkan dalam peperangan dan kehancuran alam adalah bagian dari rangkain perjalan ilmu untuk mengunkap hakikat gejala alam dan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sering melupakan faktor-faktor manusia. Misalnya, manusia mesti menyesuaikan diri terhadap teknologi-teknologi baru (Jaques Ellul 1964). Akhirnya, eksistensi manusia terpinggirkan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Jujun S. Suriasumantri 1984).

Bencana-bencana yang ditimbulkan oleh pamanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technology) antara kerusakan ekologi. Banyak yang dapat disebutkan tentang kehancura ekologi: kontaminasi air, udara, tanah, dampak rumah kaca, kepunahan spesies tumbuhan dan hewan, pengrusakan hutan, akumulasi limba-limba toksik, penipisan laporan ozon (CO1) pada atmosfir bumi, kerusakan ekosistem lingkungan hidup, dan lain-lain. Lebih-lebih lagi, musuh kemanusiaan, yaitu perang. Perang Dunia I dan II yang meluluhlantakkan Eropa dan sejumlah kawasan di Asia dan Pasifik menggoreskan luka kemanusiaan. Berapa korban manusia berguguran akibat bom atom yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki, Jepang. Atau kawasan Asia Tengah, yaitu Afganistan yang menjadi ajang ujicoba penemuan mutakhir teknologi perang buatan Amerika Serikat dan Uni Soviet (sekarang Rusia).

Pada akhirnya ilmuan memang tiba pada opsi-opsi: apakah ilmu pengetahuan dan teknologi netral dari segala nilai atau justru batas petualangan dan prospek pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh mengingkari suatu nilai, seperti nilai moral, religius, dan ideologi. Ilmu pengetahuan sudah sangat jauh tumbuh dan berkembang untuk dirinya sendiri, sementara teknologi atau ilmu pengetahuan terapan lain terus bergulir mengikuti logika dan perspektifnya sendiri—dalam hal ini tak ada nilai-nilai lain yang diizinkan memberikan kontribusi. Kecemasan tertinggi di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi ketika ilmu kedokteran berhasil menyelesaikan proyek eksperimennya mengembangkan janin dengan metode yang disebut “bayi tabung”.

Lalu kemudian ternyata masih ada yang lebih mutakhir dari pada “bayi tabung” itu, yakni suksesnya para ilmuan merampungkan eksperimen kloningnya. Yang terakhir ini mengubah hakikat manusia secara dramatis; ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh manusia mampu menciptakan manusia juga. Bahkan, ilmu pengetahuan yang diproyeksi untuk membantu dan memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya, justru berkembang dimana ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri mengkreasikan tujuan-tujuan hidup itu sendiri.

Pertentangan Aksiologis: Ilmuan dan Humanis

Kalangan humanis kemudian mengajukan sejumlah pertanyaan etis yang penting. Antara lain pertanyaan itu adalah: untuk apa sebenarnya ilmu harus dipergunakan? Dimanakah batas ilmu harusnya berkembang? Namun pertanyaan ini tidak urgen bagi ilmuan dan tidak merupakan tanggung jawab bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Penelaahan tujuan ilmu pengetahuan itu dikembangkan dan diterapkan, untuk tulisan ini, cukup penting. Karena ide dasar penerapan hasil-hasil ilmu pengetahuan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan penghidupan manusia. Seperti disebutkan sebelumnya, ekspektasi besar manusia pada ilmu pengetahuan bahwa itu dapat membantu dan memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Namun yang terjadi kemudian adalah absuditas (paradoks): bahwa ilmu pengetahuan justru membiaskan kehancuran dan malapetaka bagi alam dan manusia (kehancuran itu telah disebutkan pada pragraf sebelumnya).

Adakah ini berarti bahwa gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebaiknya cukup sampai di sini? Atau boleh dilanjutkan tetapi menurut konsideran dari otoritas-otoritas tertentu (bukan otoritas administratif dan institusi keagamaan atau ideologi)? Akan tetapi, bila ruang gerak prospek ilmu pengetahuan dan teknologi ini dipagari, berarti kita telah melangkah mundur hingga pada jamannya Galileo atau Socrates. Konsekuensinya, kemandirian ilmu pengetahuan untuk berkembang terkebiri, sementara problem yang muncul sesungguhnya tidak bersumber pada pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi itu.

Untuk sementara, dasar ontologis, epistemologis dan aksiologis terbentuknya pengetahuan perlu diungkit kembali untuk mempetakan persoalan yang ditimbulkan oleh pencapaian-pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut dasar-dasar ini, suatu pengetahuan merupakan hasil kontemplasi yang menguak hakikat realitas alam dan manusia sebagai suatu obyek empiris (tahap ontologis). Ketika realitas yang berbentuk obyek itu berusaha dipahami dan dimengerti (diketahui), maka itulah tahap epistemologis. Intervensi kepentingan manusia dan nilai-nilai etika, moral, dan agama tidak ditemukan dalam tahap ini dan memang tidak relevan ditempatkan dalam proses itu. Ketika ada pertanyaan tentang manfaat pengetahuan itu bagi kehidupan manusia, berarti yang dimaksudkan adalah tahap aksiologis dari pengetahuan itu. Dalam tahap ini, persitwa alam dan manusia tidak lagi bergerak secara orisinal menurut kecenderungan alamiahnya, tetapi sudah merupakan proses yang artikulatif dan manipulatif. Dalam artian bahwa, kepentingan manusia sudah dapat berinfiltrasi ke dalam penerapan pengetahuan itu.

Tahap aksiologis inilah dari sejumlah rangkaian kegiatan keilmuan suatu pengetahuan yang kerap menimbulkan kontroversi dan paradoks. Hal ini dimungkinkan karena adanya kemampuan manusia melakukan artikulasi dan manipulasi terhadap kejadian-kejadian alam untuk kepentingannya. KEPENTINGAN manusia sangat ditentukan oleh motif dan kesadaran yang pada manusia itu sendiri. Jadi, fokus persoalan ilmu pengetahuan pada tingkat aksiologis ini ada pada manusia. Oleh karena itu, maka tinjauan kita tentang manusia akan sangat membantu memahami dan menyusun pengertian tentang bagaimana sebaiknya ilmu pengatahuan dan teknologi diteruskan pengembangannya dalam tataran aksiologi. Sekaligus pula diperperterang kembali bahwa pertentangan antara kalangan humanis dan ilmuan pada abad ini adalah berkisar pada tingkatan aksiologis itu. Berbeda pada zamam Copernicus atau Galileo, di mana ilmuan bertentangan dan saling mempertahankan keyakinan dengan kalangan gerja pada tataran ontologis. Oleh karena itu, tuntutan kemanusiaan pada wilayah aksiologi ilmu pengetahuan dan teknologi ini mendapat permakluman secara luas.

Aspek Etika (Moral) Ilmu Pengetahuan

Kembali, kita akan fokus pada manusia sebagai manipulator dan artikulator dalam mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri daru Freud yang dikenal dengan nama “id”, “ego” dan “super-ego”. “Id” adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido (konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras antara “id” dan realitas dunia luar. “Super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani (Jalaluddin Rakhmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).

Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Milsanya dalam pertarungan antara id dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu—atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan—amatlah nihil kebaikan yang diperoleh manusia, atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.

Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.

Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di bawah filsafat moral (Herman Soewardi 1999). Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksananya (executor) tidak ditunjuk. Executor-nya menjadi jelas ketika sang subyek berhadap opsi baik atau buruk—yang baik itulah materi kewajiban ekskutor dalam situasi ini.

Rujukan:

Jaques Ellul, 1964, “The Tecnological Society”. Alfred Knopf, New York.

Rakhmat, Jalaluddin, 1985, “Psikologi Komunikasi”, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Suriasumantri Jujun S., 1984, “Filsasfat Ilmu”, sebuah pengantar populer. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta

Soewardi, Herman, 1999, “Roda Berputar Dunia Bergulir” Kognisi Baru Tentang Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi, Bakti Mandiri, Bandung.


Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim