SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Minggu, 03 November 2002

Perlu Evaluasi Cara Bangsa Indonesia Berbudaya

Oleh Maqbul Halim

Konflik dan kekerasan telah menguras energi bangsa dan menyita waktu begitu banyak. Kesadaran tentang pertalian kebangsaan, darah, keluarga, atau sebagai manusia telah menguap perlahan-perlahan, dan kemudian kesadaran itu berbalik memakan saudara-saudara sendiri. Saudara-saudara yang masih jelas dalam wilayah keluarga sendiri, bangsa sendiri, keluarga sendiri, sesama mahluk Tuhan. Konflik dan Kekerasan memang bisa menjadi proyeksi masa depan bangsa Indonesia: sebuah kultur yang bergerak-berkembang dalam spirit dan motivasi dendam dan sakit hati. Dan memang, konflik dan kekerasan akhir ini seperti luka di atas luka bangsa Indonesia yang belum menunjukkan gerak menuju sembuh. Atau paling tidak mengabarkan kelegaan untuk bernafas.

Umumnya tradisi kekerasan sering dijadikan barometer kadar keterdidikan suatu komunitas atau bangsa. Kultur kekerasan biasanya akan mendapatkan permakluman bila hal itu aktual di tengah komunitas atau bangsa yang belum maju dalam pendidikan. Tetapi realitas “Indonesia Kini” menunjukkan bahwa seiring dengan maju pesatnya pendidikan, justru metode kekerasan kian jadi satu-satu alternatif untuk hampir setiap persoalan politik, budaya, sosial dan ekonomi. Lingkungan sosial berubah jadi arena yang menakutkan, tak ada jedah ruang aman untuk bernafas lega. Setiap individu bangsa Indonesia dapat tiba-tiba “kesurupan” menghunuskan parang, menebar api amarah, membantai dan meluluh-lantakkan.

Institusi hukum kepolisian, peradilan, dan kejaksaan tidak lagi menjadi obyek yang bakal menghantui mereka yang memuja konflik dan kekerasan. ‘Government Institution’ lemah tak berdaya menjalankan fungsinya sebagai pengelola negara modern karena memang angkara murka ranah politik dan kekuasaan telah membuatnya lumpuh total dan tak berwibawa.

Sebuah pertanyaan akhirnya menghadang: Apakah yang sesungguhnya hilang dari semua institusi sosial di atas? Mengapa institusi itu tak berdaya dan tidak berwibawa? Institusi sosial maupun institusi kenegaraan yang modern dapat dikenali dari konsep atau filosofi kepemimpinannya. Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang memungkinkan konsep institusi sosial dan negara modern dan tidak modern dapat dibedakan. Krisis kepemimpinan, dalam hal ini, dapat berarti bahwa peradaban bangsa Indonesia tengah menuju gerak mundur, yang juga berarti indikasi kehancuran suatu bangsa.

Krisis kepemimpinan adalah bentuk nyata sebagai salah satu pangkal primer krisis multidimensional yang dialami bangsa Indonesia. Tak lagi ada nilai-nilai kepemimpinan yang mengekspresikan keikhlasan, menjanjikan kedamaian dan ketenteraman. Sebaliknya, ia, kepemimpinan itu, kerap mempertontonkan ketamakan, kerakusan, egoisme. Ia bukan merupakan simpul di mana luka-luka sosial akan menjadi sejuk di bawah naungannya. Ia tidak menjadi pelurus dalam sengketa prinsip, pemungut kabar derita dan duka lara bangsa.

Di sinilah letak urgensi motif dan semangat yang mendasari konsep kepemimpinan bangsa Indonesia saat dieksplorasi. Ekspolasi konsep kepemimpinan tidak hanya sebatas pada penelusuran konsep-konsep manajemen modern tetapi juga mengungkap kembali cetakan jejak budaya kepemimpinan bangsa yang sesungguhnya telah membuktikan diri lebih arif dan bijaksana, serta lebih ikhlas pada zamannya namun, pada sisi lain, tidak kontraproduktif dengan konsep kepemimpinan dalam manajemen modern (modern state).

Kepemimpinan yang tengah berkembang dalam alam demokrasi di Indonesia saat ini memang telah memenuhi sejumlah item subtansi demokrasi. Tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah bangsa Indonesia tengah mengembangkan tradisi Barat (western) berdemokrasi. Demokrasi, seperti agama dan budaya, juga tidak menampikkan eksistensi kultur setempat. Pada kenyataannya, proyek raksasa demokrasi dan kebebasan pun terus melengkapi dirinya dari berbagai dimensi. Sekalipun usia demokrasi di Indonesia baru menjejaki semester remaja, tetapi ia lebih cenderung “memuja” proses ketimbang “happy ending”. Dalam panggung politik dan hukum, tabiat mengedepankan legitimasi prosedural lebih mulia ketimbang kandungan keadilan. Dalam proyek ini, perilaku dalam “tungku” politik telah memberikan preseden yang sangat kaya bagi kecenderungan sosial untuk lebih vandalistis dan kekerasan virtual. Komitmen-komiten untuk rakyat dan bangsa tidak memberikan perlakuan yang sama bagi semua jenis dan materi persoalan bangsa. Kemungkinan politisi akan bersikap tegas dengan aturan main (social order) untuk masalah tertentu, tetapi tidak untuk semuanya. Tidak ada proyek nasional saat ini yang dapat diharapkan dan memang mampu melukiskan karakter wajah “janus” yang telah mengidap bangsa ini, entah politisi atau masyarakat sekalipun. Sebuah fenomena.

Pada kesempatan lain, kita pun hendak menjawab pertanyaan mengenai krisis multi dimensional dengan mengajukan tesis jawaban: “desentralisasi”. Bahasa lainnya adalah “otonomi daerah”. Tetapi sesungguhnya jawaban atas kekecewaan terhadap Indonesia itu masih sungguh sederhana. Sesungguhnya telah banyak unit-unit kedaulatan mikro terpasung di bawah eksistensi “Kedaulatan Indonesia”. Unit-unit itu kini mendapatkan atmosfere untuk aktual karena menganggap dirinya selama sudah di ambang kepunahan. Yang muncul kemudian adalah representase wilayah geografis menurut identitas tertentu menuntut jadi Kabupaten, Kecamatan, Provinsi, dan seterusnya. Juga sebuah nilai sosial agama datang menggelar kedaulatannya dengan mengesamping nilai sosial agama lain. Sebuah wilayah rumpun suku juga hanya merasa eksis kedaulatannya bila diberi kesempatan menjadi provinsi, kabupaten, dan seterusnya.

Masyarakat Papua misalnya mengartikan bahwa merdeka berarti dapat memenuhi tuntutan kesejahteraan dan kemakmurannya. Arti lain kata “merdeka” bagi masyarakat Papua antara lain: lenyapnya ABRI dan Polri dari tanah Papua, terusirnya orang Jawa dan Bugis dari Papua, lepasnya tanah Papua dari cengkaraman Jakarta, dan sebagainya. Yang dituntut sesungguhnya adalah sebuah kedaulatan, dengan konsekuensi perlakuan adil bagi masyarakat dan bangsa Papua oleh Jakarta (Indonesia), bukan otonomi khusus atau otonomi biasa. Bukan kedaulatan dalam artian sebuah negara yang berdaulat di luar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara eksplisit fenomena di atas dapat dibahasakan sebagai berikut: NKRI berdaulat di atas entitas-entitas sosial dan budaya masyarakat di nusantara. Tetapi NKRI juga dapat menjadi cuil di atas kedaulatan entitas-entitas sosial dan budaya masyarakat nusantara.

Akhirnya, budaya yang kita kenal sebagai elemen inheren bangsa dan komunitas masyarakat nusantara memang telah terbukti terpinggirkan dalam proses masa transisi Indonesia saat ini. Ia seperti semak-semak atau hutan yang memohon di depan bolduser pengembang yang tengah membajak lahan untuk proyek real estate. Sekalipun demikian, segala upaya dan ikhtiar akan tetap ada dan menggeliat untuk sebuah keutuhan bangsa. Sekalipun tiri di hadapan pembangunan dan reformasi, dimensi budaya itu akan terus digelorakan. Di mana pun, budaya selalu tampil sebagai elemen sosial yang dapat bergerak lintas sekat; sekat agama, sekat suku, sekat geografis, sekat politik, dan seterusnya. Adakah kemungkinan Budaya Nusantara akan menjadi penjalin tetapi belum diaktualkan dalam masa transisi ini? Penulis menganggap bahwa paparan fenomena masyarakat Indonesia di atas dalam berbudaya politik, hukum, ekonomi, perlu menjadi perhatian serius para aktor-aktor dalam Dialog Budaya Nusantara yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), pada 17 – 18 Oktober 2002 di Makassar dalam rangkaian Hari Jadi Sulsel 333.

Penulis: Pemerhati Sosial di Makassar
Tulisan ini pernah dimuat di harian FAJAR tanggal 16 Oktober 2002.
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim