SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Kamis, 20 Desember 2001

Islam dan Terorisme

Injunction to Pray, Instruction to Kill”. Begitu kalimat judul artikel berita Headline New York Time edisi 29 September 2001 yang ditulis Gustav Niebuhr. Kalimat itu menunjuk pada dua ruang kalimat, dua ruang itu saling terpisah, oleh jarak atau mungkin juga dinding yang nyaris tanpa ketebalan. Setiap agama dalam kitab sucinya, meresikokan larangan membunuh—sungguh lebih sedikit dari jenis pembunuhan itu dikecualikan—bagi kerelaan dan pertaatan dalam beribadah (sembahyang) kepada Tuhan.


The New York Times tidak sempat menandai momen Black Tuesday itu. Hancurnya dua menara WTC New York dan sebagian gedung Pentagon Washington akibat serangan “kamikaze” teroris adalah sebuah fakta peristiwa. Berangkat dari keperkasaan AS, itu justru sangat illusionis. Tetapi, sebuah fakta peristiwa senantiasa sulit sebagai sebuah illusi. Keniscayaan bagi keperkasaan AS tentu saja menjadi sebuah cita-cita yang terluka manakalah ada fakta yang nyata-nyata telah mereduksi keperkasaan, sebuah faka deviant. Itupun nyaris ideologis dan mitologis.

Fakta peristiwa itu lantas ditemukan FBI tidak berdiri sendiri. Osama bin Laden adalah kesengajaan yang amat dirindukan AS. Dan sebuah dokumen berbahasa Arab kemudian ditemukan. “Keperkasaan” AS berangsur sembuh setelah itu. Terbentanglah korelasi yang belum sepenuhnya positif: poros Osama bin Laden-Mohammad Atta-Black Tuesday akhirnya sebuah argumen. Bagi asumsi mana argumen itu? Bagaimana titik-titik poros itu terjalin? Apa pula dengan vonis pengadilan? Rupanya tidak semua pertanyaan butuh jawaban, pun tidak mesti jawaban akibat dari pertanyaan.

Konstruksi fakta peristiwa menjadi gamang. Berjumput asumsi dan proposisi tak sabar menunggu lama untuk jadi kesimpulan. Bagaimana pun, setiap keputusan adalah realitas kesimpulan. Artikel New York Times menghasilkan kalimat; Injunction to Pray, Instructions to Kill: sebuah parade spritual, juga sekaligus bencana kemanusiaan. Ibaratnya, menempatkan kucing dan burung dara dalam satu sangkar (kandang). Cita-cita perang dan damai disarangkan dalam kategori sama. Kemudian komparasi bekerja terpisah dari uji kategori. Jadi, ada alamat ideologis yang jelas pada naskah itu dan mampu meredam tuntutan uji kategori pra komparasi. Dalam verifikasi ideologis, kadang-kadang kategorisasi tidak perlu.

Bagaimana dengan radar pengintai dan rudal darat – udara atau detektor bandara sebagai kategori representatif kesiagaan AS terhadap segala kemungkinan serangan apapun. Justru pada topik satu ini, New York Times memilih tidak melakukan komparasi dan eksplorasi, tetapi malah memangkas bagian demi bagian dari topik tersebut. Kecanggihan teknologi AS, absen. Sementara dokumen pembajak yang ditemukan justru muncul jadi sosok tunggal dalam satu kategori dalam editorial tersebut. Dalam prakteknya, dokumen berbahasa Arab, cutter dan pisau lipat dikenal sebagai alat (tools). Alat-alat itu mestinya diklasifikasi ke dalam kategori alat membajakan pesawat, seperti pistol, granat tangan, dan senjata dadak-sontak lainnya. Dokumen, cutter dan pisau lipat itu justru diaffiliasikan ke kategori dimensi spritual.

Tentu saja akibat langsungnya adalah paradox on perspectvie. Proses deviasi (perspektif) kognisi menggiring ke sebuah wilayah pemahaman: pisau lipat dan cutter untuk membunuh adalah inovasi dalam rangka meneguhkan spritualitas penganut agama itu sendiri. Dan, Mohamad Atta dilukiskan sebagai penganut Islam yang telah mencapai level spritualitas yang excellence. Dalam artikel itu, Niebuhr menuliskan, “The letter's opening sentences, written as a numbered list of injunctions, specify the ways in which the terrorists were to prepare themselves mentally, spiritually and even sartorially for death.” Bukankah setiap melaksanakan rencana, selalu diintrodusir ketelitian dan kesiapan mental, untuk menyelamatkan sekalipun. Teliti dan tenang, bukan hanya pada prosesi ritual.

Niebuhr menyusun kalimat selanjutnya, “’Pray during the night and be persistent in asking God to give you victory,’ the letter says. It also reminds the terrorists to bring a suitcase, examine their weapons and make sure their shoes fit well and their socks are straight. It tells them to bless their bodies and their personal effects, like passports, clothes and knives.” Artikel itu merinci, betapa persiapan teroris itu adalah jalan memenuhi panggilan Tuhan, hikmat dan ikhlas. Dan, korban akibat serangan teroris tidak lebih dari sebuah sesajian, rukun utama beribadah.

Cutter dan pisau lipat mestinya satu kategori dengan perangkat stimulasi anti teror FBI, scanner detection di pintu bandara, rudal penangkal pertahanan AS, dan sebagainya. Wacana ajaran Islam justru keluar sebagai wacana maintream berita media dalam tragedi “Black Tuesday” itu. Padahal, tak ada korelasi signifikan antara ajaran Islam dan indikator-indikator action terror plan yang diuber FBI dan CIA. Namun, New York Times (juga The Washington Post) telah terlanjur mengembangkan wacana itu. Doa dan pesan-pesan suci Al-Qur’an untuk penyejuk jiwa yang terkuak dari dokumen itu, justru menstimulir New York Times, The Washington Post, dan Wall Street Journal mengulas ajaran Islam dalam editorialnya antara dua sampai tiga edisi.

Suatu dokumen, seperti AS yang memandang serangan teroris bukan fakta peristiwa yang berdiri tunggal, pun harus diduga sebagai fakta representatif dari beberapa entri poin motivasi dan tujuan. Ia bisa sebuah jebakan. Jebakan selalu tidak disertai rambu dan marka. Wacana Islam adalah satu lubang pori dari serangan teroris itu yang mungkin. Saat yang sama, pori itu bisa sebagai referensi, sekaligus jebakan. Ketika ada kekuatan hegemoni bekerja, di situlah struktur diskursif membentuk determinasi bagi asumsi dan assosiasi seseorang untuk mengkonstruksi realitas. Perangkat penjelas tersebut, setidaknya, dapat melukiskan posisi New York Times: terjebak atau sedang menjalankan fungsi Ideological State Apparatus (ISA) untuk mereproduksi fakta dan realitas tertentu.

Seorang jurnalis (wartawan), seperti juga seorang peneliti dan intelijen, tentu riskan bila sampai termakan jebakan. Sederhananya, sebuah bukti dan fakta peristiwa selalu besar kemungkinannya adalah jebakan ganda (double trap). Oleh sebab di atas, New York Times tidak sedang terjebak. Melainkan sedang mengusung wacana, sehingga assosiasi antara serangan teroris dan Islam sangat diskursif. Macdonnel (1986) mungkin hendak mengatakan: New York Times berusaha menuntun pembacanya (baca: publik AS) berpikir dalam wilayah dan cara tertentu, bukan yang lain.

Resikonya, tentu saja, kampanye Anti-Terorisme AS, sekaligus dapat bermaksud terhadap bangsa, negara, kelompok yang beridentitas atau bersimpati dengan ajaran atau umat Islam. Sebuah resiko, seringkali adalah sebuah rencana, misi. Saddam Husein dan Osama bin Laden telah memperagakan siasat itu. Jadi, perang yang sesungguhnya adalah meletakkan kepahlawanan di atas kepengecutan.

Maqbul Halim
Makassar, Desember 2001
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim