SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Selasa, 20 November 2001

Berita Teror Menteror

Maqbul Halim

Rangkuman Diskusi dengan Topik “Berita Serangan Teroris pada Media Barat dan Timur”, Sabtu 6 Oktober 2001 di Kantor ëLSIM Makassar.

Selasa kelam 11 September di Manhattan, New York, Moh. Atta dan kawan-kawannya mensimulasikan terapi panik tapi indah dan rapi. Nyaris, setiap person dan kelompok, lembaga dan perusahaan, negara dan bangsa, merasa atau mengklaim berpekentingan terhadap akibat serangan itu. “Dunia” pun bersuara lantang menyatakan kutukan dan duka dalam suara yang datar tapi rada-rada emosi. George W. Bush menjerit dalam diamnya mempelototi rekaman tiga pesawat menghujam tiga bagunan monumental di New York dan Washington. Dalam ruang berita media, peristiwa menjadi milik dunia, sekaligus merumuskan musuh dunia. Dalam ruang berita media juga melakukan pembelaan diri sekaligus sesekali melancarkan manuver strick back. Wacana Barat dan Timur membatasi ruang gerak media. Karena dalam urusan Moh. Atta cs dan Bush bersama aliansinya, memang hanya tersaji dua hidangan: Barat dan Timur. Pada dua kutub itulah, media berperan memperlancar proses saling menyerang dari dua kutub itu.

Media Barat

Pada dasarnya, kata Alwi Rahman, Direktur Lembaga Penerbitan Unhas dan dosen Sastra Unhas, media Amerika Serikat (AS), Australia dan Eropa (selanjutnya disebut: Barat) telah membuat wacana tentang kekuatan AS. Kekuatan itu dapat berarti lebih luas. Yaitu kekuatan beberapa negara “beradab” dengan solusi militer sebagai ujung tombak dan dipimpin AS. Setiap wacana, selalu melampirkan ideologinya. Penggunaan wacana dalam mengkonstruksi fakta dan realitas itulah yang dinamakan “ideologi naskah”. Kajian ideologi naskah, mungkin, adalah cara yang belum lazim dalam studi media, termasuk disiplin mass communication.

Alwi tidak secara persis dan jelas mengeksplorasi: bagaimana memahami dan bekerjanya sebuah ideologi naskah pada fakta dan realitas. Banyak fakta-fakta peristiwa yang kemudian dikonstruksi media Barat melalui berita, diangkat Alwi sebagai sampel untuk mengulas tesis-tesisnya tentang ideologi naskah. Dari ulasan itu, kita dapat memahami bahwa AS sesungguhnya tidak berencana menyerang Afganistan. Justru pada sisi lain menyebutkan bahwa pemberontakan (Alwi secara khusus tidak menggunakan terminologi “teroris” untuk serangan AS 11 September itu) berkaitan erat dengan apa yang masyarakat AS kenal dengan sebutan “Black Tuesday” itu. Pernyataan terakhir yang mendapat status publikasi luas dari media Barat itu sangat berbias ideologi.

Kasus “Black Tuesday” memang menyulap media Barat jadi gamang. Media barat, misalnya, mensepadankan dua tokoh dunia yang berpengaruh namun kedua tokoh itu mempunyai status yang berbeda jauh. Vladimir Putin adalah presiden Rusia sedang Javier Solana adalah presiden Uni Eropa. Kedua nama ini dipromosi sedemikian rupa kemudian dinampakkan pada modalitas tinggi. Dalam hal ini, media Barat mengklasifikasi Uni Eropa yang terdiri banyak negara dan bangsa, kemudian meletakkannya dalam bingkai seukuran dengan Rusia.

Meski demikian, media Barat menempatkan kedua pemimpin itu sebagai sebuah modalitas yang tinggi. Modalitas itu lantas diseberangkan dengan terorisme yang sejak awal oleh media Barat memang dimaksudkan berada pada modalitas rendah. Akibat predikat modalitas rendah itulah, walaupun koalisi yang dibangun AS menyangkal hendak menyerang negara Islam, berita-berita media Barat tetap tidak mampu menciptakan ketenangan dan ketenteraman bagi dunia Islam dan Timur pasca “Black Tuesday” itu.

Pada awalnya, Alwi agak kaget disodorkan klipping media Barat mengenai kampanye Anti Teroris yang telah dilansir. Afganistan yang diserang lewat pemberitaan begitu luas bukan sementara Afganistan sendiri tidak dipahami oleh publik. Bila diperhatikan dengan teliti, ideologi naskah berita-berita media Barat itu justru hendak menggali “vampir” perang Uni Soviet – Mujahidin Afganistan yang telah usai itu. Media Barat merasa bahwa menghadapi rezim Taliban Afganistan, tidaklah cukup bila tanpa Rusia. Setelah kasus 11 September dan segala macam risiko peliputannya, media Barat memetakan hubungan antara AS dan Rusia. Pemetaan itu menuntut Rusia mempertahankan terus konfliknya dengan kawasan Asia Tengah. Media Barat berkyakinan bahwa Osama bin Laden punya hubungan dengan Rusia.

Bahasa solidaritas berita media Barat, misalnya, berupaya membangun solidaritas publik tanpa argumen untuk peristiwa “Black Tuesday” itu. Misalnya, Media AS menggunakan kata-kata citizen, NGO, dan public. Ketiga kata itu dipetakan sedemikian cara sehingga serangan AS terhadap pemerintahan Taleban Afganistan yang melindungi Osama bin Laden terlegitimasi. Artinya, tuntutan atas penanganan peristiwa serangan teroris tersebut berasal dari NGO, keluarga, dan tuntuan public.

Ambivalensi lain adalah media Barat meletakkan dunia muslim pada posisi versus (kontra) terhadap ekonomi dunia. Bukankah dunia muslim hanya terdapat pada ranah agama (religius)? Bila dunia muslim adalah entitas dalam ranah agama yang memiliki potensi bertentangan dengan entitas lain, maka tentu entitas kontranya adalah non-muslim seperti Kristen, Yahudi, atau peradaban non-Islam.

Mestinya, yang terlibat antara dunia muslim dan katakanlah dunia Kristen. Sekali lagi, telah terjadi permainan kategorial di mana dunia muslim dinyatakan sebagai kontra terhadap perekonomian dunia. Dalam bahasa lain, dunia muslim adalah ancaman terhadap resesi ekonomi global. The Wall Steet Journal misalnya, ingin menunjukkan bahwa akibat berkembangnya dunia muslim, hal itu juga yang akan mengakibatkan masalah dalam perekonomian dunia.

Fasilitas Uni Eropa digarap sedemikian rupa untuk berhadapan dengan Moscow. Lembaga-lembaga yang dibangun oleh negara-negara Eropa dan AS misalnya NATO dan WTO, sekali lagi, diperhadapkan pada kategori personal Vladimir Putin dan Osama bin Laden. Pengertian yang dapat digali dari ideologi naskah berita media Barat seperti itu adalah bahwa AS mempersepsi kualitas Putin dibanding Osama pada dasarnya sama, tidak lebih baik.

Pada akhirnya, Alwi menyangsikan berita-berita dapat membawa kecerahan. Sebab selalu ada peran-peran tokoh bermain. Jadi tidak semata-mata serangan itu sendiri tetapi apa proses-proses yang berlangsung di bawah peristiwa itu dan pasti sulit untuk dicernah oleh pembaca atau pemirsa.

Fakta-fakta yang terbentang luas melalui halaman surat kabar atau majalah, layar monitor TV dan komputer, atau speaker radio tentang suatu peristiwa, sebenarnya sangat illusi. Hal yang illusi tersebut dapat mendorong masyarakat/publik bertindak bertindak, mengambil keputusan, dan bersikap. Padahal semua itu tidak lebih dari hasil realistas yang direproduksi oleh media itu sendiri. Apakah masyarakat kita dapat memahami bahwa sebenarnya tindakan mereka bukan atas keinginan sendiri. Melainkan tindakan itu didasarkan atau didikte oleh realitas yang direproduksi media itu sendiri. Atau sesuai dengan fakta peristiwa yang telah diwacanakan media.

Di sinilah Alwi Rahman tertahan pada pertanyaan mendasar untuk dimaknai: di manakah letaknya sebuah realitas? Sebab, realitas itu tidak selalu ada pada peristiwa. Sering realitas itu jauh tersembunyi di balik peristiwa. Misalnya, peristiwa itu merupakan dua menara kembar New York yang ditabarak. Apakah terorisme itu adalah realitas? Jawabannya sangat tidak jelas mengingat terorisme sendiri pun sangat simbolik. Obyek dalam realitas tentang terorisme sangat maya.

Kesulitan atau ketidak-mampuan membedakan antara peristiwa dengan realitas dapat berakibat fatal dan lucu. Katakanlah misi suci pasukan jihad yang ingin berangkat ke Afganistan. Mereka adalah korban dari berita-berita yang hanya melihat peristiwa, tidak bisa melihat dan mengkontemplasi realitas. Akhirnya, mereka juga menampilkan peristiwa perjuangan. Tapi tentang realitas apa mereka berjuang, mereka mungkin tidak mengerti.

Amiruddin PR, peserta dari Unhas, menyarankan kepada kedua panelis agar memperhatikan juga aspek penerjemahan dari bahasa lain ke bahasa yang digunakan oleh majalah atau surat kabar misalnya. Masalah translating dalam pengutipan berita-berita media Barat menurut bahasa orisinilnya, pertama-tama orang yang mebaca naska-naskah yang translating itu adalah orang yang mebaca naskah-naskah yang sudah terkorupsi. Dalam transformasi basaha itulah terdapat subjektivitas naskah, terutama ketika faktor individual memindahkan kata-kata. Karena kata-kata itu adalah rumah kebudayaan, rumah politik, rumah ideologi dari suatu negara. Tidak mungkin kata-kata itu diterjemahkan dengan mudah ke dalam bahasa lain yang digunakan negara lain.

Penterjemahan naskah dari bahasa lain selalu terkait dengan masalah “arti” dan “erti”. Alwi Rahman menjelaskan, arti itu dalam bahasa Inggeris disebut meaning, sendangkan erti disebut sends (logic). Dari mana datangnya logika atau dari mana datangnya sends itu? Umumnya, sends atau logic itu dibentuk dan berasal dari kebudayaan. Kebudayaan adalah sumber-sumber yang mengajarkan kita berlogika. Logika Eropa yang sangat “dan sangat” positivistik tidak sama dengan logika orang Timur yang kadang-kadang sangat religus dan etnik. Saya berharap setiap media sebaiknya punya (room resources?) dalam menstransfer berita-berita yang berbahasa asing. Masalah terjemahan ini dapat dirunut pada terminologi terorisme. Dari mana asal kata terorism? Pada dasarnya memang teror. Tetapi ia berasal dari bahasa latin, Tera. Tera artinya (to fight), menakut-nakuti. Jadi terorisme bukan penyerangan.

Contoh lain tentang perbedaan logic dalam transalting itu adalah ketika editor CNN pertama kali menyiarkan berita dengan subyek judul “Amerika under attacked” yang berarti AS diserang. Judul itu menggambarkan bahwa AS diserang. Namun tidak jelas siapa penyerangnya, tidak diketahui, alias disembunyikan. Logika bahasa demikian disebut pasifism, yakni bagaimana bahasa dipasifkan untuk menyamarkan musuh sebenarnya. Begitulah bahasa-bahasa media Barat membangun wacana.

Tapi kadang-kadang arah kebijakan pemerintah tidak seiring dan seirama dengan kecenderungan media. Media sering menelanjangi pelaku-pelaku misalnya dengan mengaktifkan Osamah sementara pemerintah AS mempasifkannya. Islam dipasifkan oleh Bush, dikaburkan di depan publik. Bahasa media Amerika cenderung menghancurkan kategori berpikir dunia ketiga. Dengan demikian, negara ketiga tidak akan pernah dapat berpikir kategorial setiap berhadap dengan masalah global. Ini dapat dilihat pada perpektif ideologi naskah media-media AS: sebuah negara adikuasa AS (kategori institusi) ingin menangkap Osamah (kategori person/individu).

Media Timur

Paska serangan teroris terhadap AS 11 September 2001, media-media yang terbit di negara Islam, Asia Tengah, Arab atau Timur Tengah (Selanjutnya disebut media Timur) juga berusaha mem-frame (membingkai) peristiwa itu untuk menjadi sebuah berita. Sebagaimana media Barat, media Timur juga membingkai berita untuk membangun realitas yang lain dari media Barat tentang fakta peristiwa yang sama.

Untuk analisis berita media Timur, panelis kedua, Drs. Mulyadi Mau, dosen Komunikasi Unhas dan mahasiswa Pasca Sarjana Unhas ini merujuk terori-teori kontsruktivisme. Teori ini dapat menjelaskan bagaimana proses penciptaan atau penciptaan kembali sebuah realitas. Jesse Delia, seorang penganut teori itu berpendapat bahwa wartawan itu senantiasa memberikan pemahaman atau merekonstruksi setiap peristiwa yang diamatinya, lalu peristiwa tersebut dibuat berita.

Metode framing analisyst, biasanya dijadikan alat bantu untuk mengoperasionalkan teori-teori konstruktivisme dalam menjelaskan proses konstruksi fakta atau peristiwa menjadi sebuah berita. Metode ini, menurut A. Gamson dan Andre Modigliani (1989), memiliki kemampuan untuk mengungkap the power of communication text. Meski menggunakan framming analisyst, pembahasan Mulyadi lebih dititik-berartkan pada muatan-muatan politis berita-berita media Timur tentang peristiwa serangan teroris terhadap AS.

Perangkat-perangkat metode ini antara lain divices atau alat-alat yang bisa dibenarkan untuk menyusun fakta peristiwa menjadi berita. Secara garis besar, perangkat ini terbagi dua. Pertama perangkat framing divices atau alat-alat yang digunakan wartawan menyusun beritanya. Kedua adalah perangkat reasoning divices atau perangkat penalaran yang dapat digunakan sebagai penopang atau backing terhadap framming device. Kata lainnya, perangkat kedua berfungsi sebagai alasan pembenar atas tindakan terhadap wacana yang dibangun oleh perangkat pertama, framming device. Perangkat pertama biasanya membangun wacana atau teks dengan menggunakan metaphor, examplars, catch-phrase, depictions dan visual image. Sementara reasoning devices terdiri atas roots (misalnya analisis kausal) dan appeals to principles (misalnya seperangkat klaim moral). Prosesnya adalah sebagai berikut: Framing devices-nya mengatakan bahwa Osama bukanlah teroris melainkan AS sendiri. Reasoning devices-nya berfungsi mengulas alasan Amerika disebut teroris.

Mulyadi mengangkat dua media yang menurutnya representatif bagi kondisi obyektif Indonesia sebagai negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia. Dua media itu adalah Harian Republika dan Majalah Sabili. Selain kedua media itu, beberapa sampel berita dari media yang terbit di Timur Tengah dan Malaysia, juga disertakan pada pembahasan tentang framming analisyst.

Alasannya framming inilah yang menguatkan keyakinan Mulyadi dan beberapa peserta bahwa tidak ada obyektivitas dalam pemberitaan media. Gejala framming device amat jelas pada saat reporter atau redaktur mulai membingkai laporan atau tulisannya. Keberpihakan merupakan indikator paling dekat dengan gejala tersebut. Format keberpihakan (partisan) berita media adalah menonjolkan fakta tertentu atau mengabaikannya. Fungsi framming device di sini adalah membenarkan atau melegitimasi penojolan atau pengabaian. Berita Harian Republika membangun kesan bahwa ada pelaku lain selain Usama bin Laden. Pelaku lain itulah yang kemudian ditonjolkan, dengan menampilkan kemungkinan lima orang Israel yang tertangkap. Republika mengutip berita itu dari Koran Yordania Al-Wathan. Yang memberi kesan bahwa sebenarnya ada palaku lain yaitu Israel. Berita ini jelas mengabaikan fakta-fakta pendukung atas dugaan keterlibatan Osama bin Laden menjadi sekunder.

Analisis singkat berita Republika dari edisi 12 – 30 September tetang peristiwa WTC dan Pentangon menunjukkan bahwa koran representatif umat Islam Indonesia itu berusaha membangun realitas lain, alias bukan Osama di balik peristiwa itu melainkan Israel. Republika juga menonjolkan berita tentang diliburkannya 4000-an orang-orang Israel yang bekerja di WTC menjadi sebuah pertanyaan yang memang menggelitik.

Majalah Sabili pun demikian. Sabili mengemukakan dua alasan: pertama, pelaku di balik peristiwa tersebut adalah AS sendiri dan kedua, kelompok garis keras dalam internal sendiri yang merasa tidak puas atas kebijakan-kebijakan AS sekarang ini. Sayangnya dalam berita selanjutnya Sabili tidak membuat perangkat penunjuang (reasoning devices), tentang konspirasi internal AS.

Harian Republika edisi 12 September 2001 menurunkan berita headline tentang serangan teroris terhadap gedung WTC dan Pentagon. Pada edisi ini, Republika belum menunjukkan keberpihakan yang signifikan. Pada edisi 13 Sepetember, Republika akhirnya affiliasi ke-Islamannya dengan menurunkan berita yang diantaranya berjudul: “Bush Beri Peluang Negaranya Jadi Sasaran” dengan sub judul “Intelejen AS dikecam”. Judul ini mencoba membangun sebuah bingkai peristiwa bahwa peritiwa itu terjadi akibat kesalahan Bush sendiri. Untuk membernarkan berita itu, Republika menggunakan freming Devices dengan mengutip Daniel Plesch dari royal United Services Instritute, London. Plesch menilai Amerika tak menempatkan masalah keamanan secara serius. Dia mengkritik Bush yang menurutnya membuat kondisi AS semakin berpeluang mendapat serangan.

Karakteristik berita-berita yang partisan dan terassosiasi pada pihak tertentu biasanya akan disusul reaksi afektif dan kognitif dari publiknya pembaca berita itu. Dalam hubungan antara reaksi afektif dan kognitif pembaca terhadap karakteristik berita terdapat kaitan interdependen dan signifikan. Dalam teori komunikasi, media massa dapat mempengaruhi massa (publik), terutama dalam teori hypodermic atau teori jarum suntik. Itupun sebetulnya sangat tergantung tergantung pada khalayak sendiri. Mulyadi Mau menilai, sikap kelompok laskar jihad memberi reaksi afektif terhadap pemberitaan media tentang rencana serangan AS ke Afganistan, sangat terang dalam teori jarum suntik itu.

Selanjutnya Mulyadi juga menanggapi pernyataan dan pertanyaan dari penelpon selanjutnya, yakni pak Husein. Bahwa media bisa menjadi penabuh genderang perang. Dalam jurnalistik diterangkan bahwa teori efek berita yang sentripetal dan sentrifugal. Yang kedua ini lebih cenderung mengatakan bahwa media lebih berpotensi menabuh genderang perang. Ini pernah diulas oleh Dedy N. Hidayat di Kompas edisi, 30 September 2001 dengan mengambil contoh New York Times. Bagaimana New York Time menabuh genderang perang kepada masyarakat supaya kita mengabaikan fakta-fakta kemanusiaan. Yang sekarang kita perlukan bagaimana menyerang Afganistan. Khalayak mampu membuat bingkai kembali terhadap apa yang ditawarkan oleh media.

Sampel Tidak Cukup
Sampel yang dipilih Alwi Rahman dan Mulyadi Mau menimbulkan keraguan. Alwi Rahman misalnya menganalisis berita-berita yang dilansir The Washington Post, New York Times, The Wall Street Journal, dan Assosiated Press masing-masing edisi 29 dan 30 September 2001. Demikian pula sampel yang dipilih Mulyadi Mau. Berita-berita yang dilansir Harian Republika dan Majalah SABILI juga pada edisi yang tidak jauh dari edisi media yang diangkat sebagai sampel Alwi Rahman. Yakni, edisi 26, 27, 28 dan 30 untuk Harian Republika untuk Harian Republika dan Majalah Sabili.

Pada dasarnya, kedua panelis diskusi itu memang hanya sempat melakukan observasi singkat dan sepintas saja. Kesempatan singkat dan keterbatasan sampel itu, pada akhirnya, hanya diharapkan sebagai pembuka cakrawala dan wawasan dalam menyusun sorotan tentang trend berita-berita media Barat dan Timur tentang serangan teroris 11 September di AS dan rencana serangan AS ke Afganistan sebagai balasan.

*) Dimuat pada Jurnal MediaWatch eLSIM Edisi 9 Nopember 2001
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim