SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Sabtu, 15 September 2001

Mengulang

Makassar, September 2001

Soekarno mengintip, ada gerakan subversif sistematis kalangan Neo-Kolonialisme (Nekolim) atau imperialime baru yang berusaha menjungkalkan dirinya dari singgasananya. Reputasi kemasyhuran Soekarno akhirnya redup “terpaksa”. Lalu, Seoharto (berikutnya) mengintip dalam Malari 74 (Malapetaka Januari)—banyak juga pada event lain—ada potensi subversif Orde Lama atau nafas laten PKI. B.J. Habibie berkhotbah tentang rencana makar dalam pertemuan tokoh penggagas Presidium Pengganti rezim Habibie. Gus Dur lebih bernuansa akademis: “….. kalau saya diturunkan, sejarah akan mengenangnya sebagai kudeta perlementer.”

Antara Soekarno sampai Gus Dur, ada story board yang terasa ‘goresan tangan tunggal’. Etika mengawetkan kekuasaan di Indonesia adalah sebuah permainan yang telah dilengkapi fasilitas “undo”. Perilaku dapat memundurkan jarum jam dan memodifikasi realitas permanen dalam dimensi waktu. Papan jam sejarah mempunyai 2 jarum pendek: satu indikator genuine, satunya berlaku surut. Oleh karena itu, sebuah realitas permanen dalam dimensi waktu namun tak berkenan, dapat di-“undo”. Keberadaan sekarang (currently) dapat bekerja pada masa silam demi suatu perbaikan (perubahan). Jadi, seseorang boleh dapat tidak menyesali almarhum kakeknya karena berkebangsaan tertentu.

Soeharto sampai Gus Dur, sebagai icon sejarah untuk item zamannya sendiri, masing-masing meninggalkan bekas sidik jari pada jarum pendek yang berlaku surut itu. Mereka pernah memutar mundur jarum pendek tersebut. Namun setiap jarum itu diputar mundur dan digerakkan kembali tapi dalam cara berbeda, selalu saja tetap mendentangkan lonceng kematian. Itu karena mereka berangkat dari watak yang sama, yakni mendustakan manusia. Tuhan menyebut mereka dalam Al-Qur’an: “Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta-pendusta belaka (cetak tebal—pen).” (QS Al-An’am [6]: 28)

Siapa penoreh ‘goresan tangan tunggal’ itu? Yang pasti bukan Louis Morneau, sutradara film berjudul “Retroactive” yang populer tahun 1997. Tapi, belajar sejarah kekuasaan di Indonesia memang berarti menyimak “Retroactive”, atau sekian banyak film yang berkisah turn back the clock seperti “Groundhog Day”. Sebagai sutradara, Morneau punya otoritas membolak-balik Karen Warren’s (Kylie Travis) untuk beberapa kali mundur hingga 20 menit ke silam.

Suspense “Retroactive” bermula ketika Warren’s kembali ke silam 20 menit pertama untuk mencegah Frank Llyod (James Belushi) membunuh istrinya, Rayanne (Shannon Wirry). Warren’s telah mengalami peristiwa itu sebelum ia kembali ke silam 20 menit pertama. Rayanne selamat, tetapi seorang polisi lalu lintas dan seorang pengemudi pick up tewas terbunuh. Warren’s sadar, “ternyata ini lebih buruk”. Warren’s berjanji kepada Briyan, operator “Retroactive Experiment Project”, sebuah mesin turn back the clock (pembalik waktu) di bunker bawah tanah milik depaertemen pertahanan AS (Pentagon), bila ia dapat kembali lagi ke silam 20 menit kedua, situasi akan lebih baik. Kali ini, Rayanne berhasil menyelamatkan polisi lalu lintas dan supir pick up. Tetapi, dua orang suami istri dalam perjalan piknik, kecuali anaknya, dan seorang pemilik stasiun pompa bensin kawan setia Llyod, terimbas tewas dalam aksi baku tembak antara Llyod dengan Warren’s yang menyergapnya.

Warren’s frustrasi tapi tak menyerah. Meski Briyan menolak, Warren’s tetap berambisi sehingga ia kembali lagi ke silam ketiga kalinya. Namun, Llyod tetap tak terselesaikan (terbunuh). Bocah kecil dan Rayanne justru tewas akibat ledakan stasiun pompa bensin yang disengaja Llyod, yang bebas membunuh tanpa beban karena mengidap penyakit psikopat. Warren’s, kesempatan keempat kalinya bersama Briyan, menyusun perangkat antisipasi atas keberingasan Llyod. Rupanya, dentangan lonceng kematian memang agenda permanen. Llyod berhasil ditembak mati oleh istrinya, namun si polisi dan sopir pick up tewas diberondong peluru pistol Llyod sebelum tertembak.

Akhirnya “Retroactive” dirampungkan Louis Morneau dengan mengabaikan kematian yang tercatat. Morneau memang mengintrodusir film ini dengan ambisi untuk mencegah kematian yang dikecualikan bagi Llyod. Tetapi ambisi Warren’s tidak manjur mencegah kematian lain. Sebuah ambisi—yang selalu memandang rendah sebuah pelajaran, sebagaimana mengawetkan singgasana kekuasaan, pun tak kebal dihinggapi krisis berpikir dan berkreasi. “Saya tidak tahu kalau dalam film itu ada pelajaran,” ujar Morneau kepada wartawan BBC dalam Festival “National Film Theatre” di London, Maret 1997.

“Retroactive” berhenti pada garis the end, tetapi sejarah kekuasaan di Indonesia bukan sebuah skenario film yang disusun menurut skenario Morneau. Karena Indonesia adalah sebuah bangsa, yang bercita-cita dan dicita-citakan berusia lebih panjang ketimbang deklaratornya. (Dan) Memang, usia durasi “Retroactive” adalah tempo yang sangat pendek dari pada rentang usia Morneau sendiri.

Setelah Gus Dur, siapa lagi yang akan memutar mundur jarum jam tetapi tetap mengabadikan status quo (kekuasaannya)? Setiap kekuasaan baru mulai merintis fondasi status quo-nya adalah sebuah ‘isyarat’. Maxim Gorky dalam kumpulan cerita pendeknya “Tales of Italy” atau “Pemogokan” dalam versi Indonesia terjemahan Eká Kurniawan (2000), membubuhkan deskripsi pada kata ‘isyarat’ itu: “… merupakan prolog atas drama-drama bernasib suram, balas dendam, dan pertumpahan darah, …” Bila kekuasaan—metaforis dari raga—yang hendak berpisah dari seseorang (fakta individual manusia) dicegah, selalu saja meng-“hadiah”-kan kematian yang berjumbai darah dan kembang melati berbau anyir.

Sekalipun benar dalam catatan “sejarah kemudian”, Salvator Allende telah mencium aroma kematiannya dari celah rantang ajalnya ketika ia sudah ditakdirkan untuk berucap “selamat tinggal” pada kekuasaan, bersamaan ketika Jenderal Agusto Vinoche tak mampu mengendalikan birahi kekuasaannya. Nyatanya, Allende menolak berpisah dan ia pun tewas bersama ribuan nyawa penduduk sipil Chile. Jadi, keterlanjuran mencicipi nikmatnya kekuasaan status quo tidak lebih dari sebuah proyek MENGULANG kematian pada manusia yang berbeda, seperti sejarah kekuasaan di Indonesia, seperti film “Retroactive”, seperti kekuasaan di Chile, seperti seterusnya….. Hanya itulah satu-satunya kebaikan tradisi demokrasi yang belum pasti betul-betul baik: mensyaratkan ketenangan dan kedamaian bagi jiwa hendak meninggalkan raganya.

(Maqbul Halim)
[Pernah dimuat di SK IDENTITAS UNHAS Edisi September 2001
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim