SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Selasa, 24 Juli 2001

Lopa Mengamuk

Oleh Maqbul Halim
(Juli 2001)
"Ada aroma politik sangat kental berlindung di balik 'jurus mabuk' Jaksa Agung Baharuddin Lopa dalam menerabas kasus korupsi," politisi di dewan berkeluh dari bibirnya yang gemetar. Lopa mengamuk, seperti kerasukan arwa David Koresh yang membantai puluhan jamaah Jumat di sebuah mesjid Yerusalem. Lopa seperti sengaja melepas tali kendali "perlawanan"-nya.

Perlawanan? Perlawanan adalah sebuah rekreasi, begitu indah dan dirindukan, bila berasal dari setitik atau lebih dendam. Sungguh, perlawanan itu merupakan doa. Setiap doa selalu dilengkapi alamat yang jelas: harapan. Di dalam perlawanan, ada panji-panji harapan yang selalu menyumbangkan senyum dan spirit pada keletihan. Sebab, harapan yang paling mendesak dari perlawanan adalah "pelaksanaan" dendam. Kita dapat menyaksikan betapa dekat pelaksanaan dendam dapat digapai dalam perlawanan. Tetapi, perlawanan juga kangkala justru mementalkan harapan itu menjauh. Artinya, mencita-citakan pelaksanaan dendam dan melakukan perlawanan juga harus sambil "menghitung". Sudahkah Lopa menghitung?

Dendam tentu efektif terhadap perlawanan selama dendam tidak terjamah oleh pertimbangan, oleh harapan ganda, yang justru menjauhkan harapan primer. Katakanlah bahwa dendam itu saudara kandungnya cinta buta (love is blame), maka seorang jawara atau pendekar silat kelas kakap yang hendak melakukan perlawanan balas dendam sejati, selain buta, mesti juga juga tuli. Ketika Lopa memamerkan amuknya dan mendemonstrasikan jurus-jurus penyelidikan dan penyidikan, boleh jadi itu tidak jauh dari narasi dendam terhadap korupsi. Hanya saja, memang sulit menemukan motif yang definitif dalam perlawanan Lopa. Sejarah beberapa perlawanan Lopa tidak penah mencatatkan tuntutan kemenangan.

Boleh jadi, bagi Lopa sendiri, perlawanan adalah sebuah perjuangan--juga sebaliknya seperti dalam aliran Marxisme Ortodox di Rusia, dan interval kelahiran hingga kematian adalah perjuangan. Bila perjuangan tidak memerlukan segepok atau sebongkah deposito kemenangan, maka mungkin di situlah Lopa membisikkan doa, yang beralamatkan harapan. Tokh kemenangan tidak lebih dari awal perlawanan berikutnya. Kita pun menyaksikan, kutub "dendam sejati" dan kutub "tak butuh kemenangan" telah terassimilasi dalam sebuah "arus deras" yang benama Baharuddin Lopa.

Arus itu pernah mengalir deras sebagai darah "mendidih" dalam diri La Tenri Tatta To Erung MalampeE Gemme'na, Raja (Arung) Palakka--salah satu kerajaan konstituen Kerajaan (Besar) Bone. Ia memiliki keberanian yang pantang ditundukkan oleh keraguan dan musuh. Dalam catatan sejarahwan Bugis-Makassar, karena itulah Arung Palakka diangkat menjabat Mangkau'E ri Bone (Raja Besar di Bone) oleh Arung Pitu, semisal lembaga legislatif dalam negara demokrasi modern. Dendam Lopa kepada korupsi (bukan ke Akbar Tanjung, Arifin Panigoro atau Nurdin Halid) sepadan dengan dendam Arung Palakka pada penjajahan Makassar (bukan ke I Mallombassi Daeng Mattawang, Sultan Hasanuddin atau pendahulunya, Sultan Malikussaid) terhadap kerajaan Bone selama 17 tahun.

Kedatangan Kompeni Belanda dipimpinan Cornelis Janszoon Speelman--Belanda memang sangat dendam kepada kerajaan Gowa karena kalah persaingan perdagangan di Nusantara--di tengah ketegangan antara Bone dan Gowa merupakan momen bagi Arung Palakka, seperti Gus Dur adalah momen bagi dendam Lopa. Dan, Arung Palakka pun menyusun pelaksanaan dendamnya terhadap kerjaan Gowa bersama Speelman. Aliansi Arung Palakka - Speelman berhasil memaksa Sultan Hasanuddin menandatangani perjanjian damai pada 27 Juni 1669. Sesaat kemudian, dendam pula yang memperhebat gairah Arung Palakka membumihanguskan Kerjaan Wajo, sekutu Gowa. Ia juga mengejar dua perwira inti angkatan laut Kerajaan Gowa, Karaeng Bontomarannu dan Karaeng Galesong, hingga gugur dalam pertempuran melelahkan antara Speelman dan Arung Palakka melawan Trunojoyo bersama Karaeng Bontomarannu dan Karaeng Galesong di Kapar, sebuah pedalaman Jawa Timur pada Oktober 1679.

Arung Palakka dendam terhadap Kerajaan Gowa yang penjajah, sekialipun ia teman sepermainan dengan Sultan Hasanuddin sejak kecil (Lontarak Makassar, "Kappala"). Kompeni Belanda juga penjajah. Namun Kompeni Belanda bagi Arung Palakka, meski ia melihat sendiri Belanda melakukan penaklukan di Nusantara, bukan setitik dendam baginya. Kerjaan Gowa lebih dekat ke setitik dendam Arung Palakka karena angka "17" itu. Dendam pula yang menyulut amuk perlawanan terakhir Karaeng Galesong di Kapar yang menewaskan ratusan laskar Speelman dan Arung Palakka. Rangkaian perlawanan melaksanakan dendam itu adalah bukan sebuah hikayat yang berasal dan berakhir hari ini (instan). Amuk Lopa bukanlah peristiwa hari ini "an sich".

Selama itu (separuh masa Orde Baru), Lopa bukan tiarap atau keder, terutama sejak ia menggiring Tony Gozal ke hotel prodeo, kroni keluarga Cendana, yang mereklamasi Pantai Kota Ujungpandang (kini Makassar) tahun 1980-an dalam sebuah "Gerakan September Bersih". Gerakan yang dimotorinya sendiri selaku Kajati Sulsel itu pun memaksanya hengkang ke daerah lain. Lopa dianggap berjingkrak telanjang kaki di atas hamparan beling. "Jubah" sebagai Kajati Sulsel waktu itu, adalah sebuah "structure power", meniru istilah Johan Galtung, untuk menyebut kekuasaan dalam struktur dan hirarki sosial (governance). Ketika Arung Palakka menduduki tahta "Mangkau'E" di Bone, barulah ia menyusun kekuatan perlawanan, sebab ia merasa bahwa "being power" (dimensi 'ada' kekuasaan, istilah Galtung, dalam dirinya) belumlah cukup. Integritas dan "track record" kependekaran hukum Lopa (sebut: being power) serta "structure power" (kewenangan sebagai Jaksa Agung) terakumulasi menjadi sumber kekuasaan (resource power) yang amat mengerikan.

"Arus deras" dan "sumber kekuasaan" itu kemudian melapangkan jalan bagi Lopa menikmati dendamnya terhadap korupsi. Hanya saja, irama orkestra dukungan Lopa kedengaran mendua. Lopa tidak lebih dari salah satu bagian partitur pawai akrobat politik Gus Dur. Perlawanan Lopa yang barasal dari setitik atau lebih dendam terhadap korupsi, adalah harapan yang rela dimasuki persyaratan dan konsekuensi, apa pun isi dan bentuknya. Apalagi sebuah hukum, tentu akan banci bila tidak diletakkan di atas kekuasaan. Sebuah "Baharuddin Lopa" selalu jadi mimpi buruk yang menakutkan bagi sebuah "bangsa yang dipimpin para tersangka" (petikan judul rubrik Opini TEMPO Majalah edisi awal Mei 2001).

Masyarakat Sulsel mungkin lebih memilih memahami dendam lopa sebagai melebihi dendamnya terhadap korupsi. Orang Mandar akan berkata, "Nurdin Halid telah mencekoki orang Mandar untuk mendapatkan kursi bagi dirinya di DPR/MPR RI dalam Pemilu 99 silam. Kami sangat berterima kasih pada Lopa selaku Putra Mandar menjadikan Nurdin Halid tersangka koruptor". Bukankah tidak seperti itu dendam Lopa? Sebaiknya, anda yang tidak setuju dengan diksi dendam, boleh menggantinya dengan kata "benci".

Masyarakat Mandar berterima kasih kepada Lopa, Lopa berterima kasih kepada Gus Dur. Dan, dalam keremangan masa depan kekuasaan politik Gus Dur, Lopa mencabut sumbu granat di persimpangan transisi perubahan social-politik. Seorang aktivis anti korupsi berujar, "Seandainya saya Lopa, saya pasti periksa Gus Dur." "Kalau saya presiden, saya pasti telah periksa Gus Dur," begitu mungkin Lopa menimpali. Mestinya puisi berjudul "Balada Peluru" adalah merupakan karya Baharuddin Lopa, bukan Wiji Tukhul (2000). Dalam "Balada Peluru", ada beberapa bait syair tak berhubungan sama sekali dengan integritas watak Lopa: "aku pengin meledak sekaligus jadi peluru// mencari jidatmu mengarah mampus-Mu// akan kulihat nyawah-Mu yang terbang// dan kukejar-kejar dengan nyawahku sendiri// aku rela bunuh diri...//". Namun, puisi tanpa sengaja telah menjelaskan Lopa yang sesungguuhnya.

Penulis: Koordinator Div. Anti Korupsi ëLSIM Makassar.
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim