SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Kamis, 19 April 2001

Jalan Pintas Berantas Korupsi

Oleh Maqbul Halim
(Makassar, Maret 2001)


Menurut UU No. 28 Tahun 1999, praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tidak hanya dilakukan antar-penyelenggara Negara melainkan juga antar-penyelenggaran Negara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi bermasyarakat, berbangsa, dan seterusnya. Oleh sebab itu, pembasmian dan pemberantasan korupsi (KKN) harus dilakukan dalam segala bentuk dan cara. Korupsi selama 32 tahun masa Orde Baru tanpa perlawanan telah mewariskan sebuah Indonesia, yakni sebuah bangsa, yang cukup sial. Sementara bangsa-bangsa lain tengah bertransformasi dari bangsa yang berbasiskan pembangunan ke suatu wilayah bangsa yang berbasiskan informasi. Sedangkan Bangsa Indonesia melangkah mundur. Itulah efek “maut” dan “nista” korupsi.

Sementara upaya legal-formal untuk memerangi korupsi ternyata tidak sekaligus menggilas moral-hazzard yang telah menjangkiti mental bangsa Indonesia. Apalagi, asaz kepastian hukum untuk kasus-kasus korupsi telah banyak menguntungkan para terdakwa dan tersangka korupsi dalam berbagai event. Alias, akibat satu rumahnya sistem hukum di Indonesia yang abu-abu dan mental korup para penegak hukum, telah menciptakan atmosfer yang tidak pernah cerah bagi pemberantasan dan pembasmian korupsi di Indonesia. Aspek legal-formal sebagai salah satu konstituen pembasmian korupsi belum berwibawa dan terlalu sering menghadiahkan mimpi buruk.


Paradigma Radikal
Pesan yang sangat penting bagi Indonesia untuk soal korupsi, bahwa kreativitas dan kemandirian gagasan (dalam nuansa kebebasan berpikir) untuk menyorot penyakit korupsi yang sudah sangat kronis ini adalah kematangan paradigma realitas sosial. Pada panggung gagasan inilah kemudian Ignas Kleden menemukan mental instan bangsa Indonesia berhadapan dengan realitas sosialnya. Menurut Ignas (Tempo, 14 – 20 Agustus 2000), setiap krisis politik cenderung melahirkan krisis pemikiran. Beban yang terlalu berat mendorong orang mencari jalan pintas yang sesingkat-singkatnya untuk keluar dari kemelut, tanpa memedulikan apakah penyelesaian secara potong kompas itu menimbulkan masalah baru yang barangkali lebih muskil dari keadaan semula.

Kemudian para decision maker yang biasa dikenal gelar kehormatan “Elit Politik” tergiring masuk ke dalam lingkaran krisis berpikir ini. Mereka, elit itu, secara cepat dan bangga mendatangani kesimpulan, tanpa curiga terlebih dahulu benarkah kesimpulan tersebut didukung oleh asumsi-asumsi yang betul dan tepat ataukah lebih merupakan suatu lompatan kesimpulan dalam silogisme yang tidak lengkap, yang hanya menghasilkan salto mortale dalam logika.

Masih tentang krisis berpikir ini, mari sejenak kita cermati artikel Ignas tadi. Dalam biologi, menebang akar pohon akan mematikan seluruh pohon itu. Dalam birokrasi pemerintahan Indonesia, sulit mengandaikan bahwa pemerintahan akan efektif kalau korupsi dikikis habis dengan cara apa pun. Dapat dibayangkan bahwa kalau korupsi diberantas dengan tangan besi dalam waktu singkat, birokrasi akan kehilangan demikian banyak pegawai, di samping hilang juga sistem insentif yang selama bertahun-tahun dimungkinkan oleh korupsi. Akibatnya, seluruh birokrasi mungkin akan macet total, baik karena kekurangan tenaga maupun karena ketiadaan sistem insentif alternatif. Argumentasi ini bukan bermaksud membenarkan korupsi, melainkan ingin memperlihatkan bahwa sukar sekali menentukan suatu keadaan sebagai akar masalah sosial, karena kalau akar itu dicabut, mungkin tumbuh pohon baru yang lain sama sekali wujudnya.

Sekarang, semua orang berpendirian baja, bahwa akar utama masalah korupsi adalah lemahnya penegakan hukum. Setelah tikar penegakan hukum digelar, terbasmikah korupsi? UNESCO juga pernah sangat radikal mengasumsi keterbelakangan bangsa-bangsa di Dunia Ketiga. Akarnya: pendidikan. Konsep Ekonomi John Maynard Keynes, yang kemudian populer Keynesianism, menemukan akar keterbelakangan negara-negara dunia ketiga akibat tiadanya pembangunan yang terencana. Maka, kuncinya adalah pembangunan ekonomi (developmentalism), teori ekonomi keturunan blasteran dari kapitalisme baru dan aliran-aliran teori ekonomi klasik. Dulu, kalangan Marxis Ortodox mengklaim pententangan antar kelas sebagai akar persoalan. Oleh karena itu, maka kalangan borjuasi harus di-enyah-kan. Lantas, selesaikah masalah setelah itu?

Katakanlah korupsi itu sebuah kendaraan mobil. Aspek legal formalnya adalah kunci starter. Dengan starter ini, mesin berputar, ban berjalan, klakson berbunyi, persenelan berfungsi, dan seterusnya. Yang dilupakan, kata Ignas ialah bahwa dalam bidang sosial, baik starter, mesin, gas, maupun gigi, masing-masing punya kehendak dan kemerdekaan sendiri, yang tidak bisa disetel begitu saja. Begitu Anda menghidupkan starter, mesinnya dapat mengatakan "tidak" sekalipun dia berada dalam keadaan baik, dan mobilnya tetap di tempat. Korupsi adalah sebuah perilaku yang fenomenanya tidak mekanistis dalam rumus: jika A maka B. Setiap perilaku individu, selalu mengekspresikan latar sosiologisnya masing-masing namun dapat dijelaskan oleh hampir semua aspek kehidupan. Ingat, efek mematikan korupsi juga merusak hampir semua aspek kehidupan.

Dengan tesis bahwa, setiap manusia membawa individunya masing-masing yang sulit untuk menjauh dari latar sosiologis dan psikososialnya, dan oleh sebab itu maka ia pun mengantongi kehendak dan kemerdekaannya sendiri, maka perspektif mekanistis terhadap konsep pijakan pemberantasan korupsi sangat berbahanya dan beresiko karena sangat berpeluang memperpanjang kerugian negara dalam pemberantasan korupsi. Apa yang hendak dikemukakan dalam persoalan ini, bahwa mendewakan aspek legal formal dalam pemberantasan korupsi sebagai kunci “Juru Selamat Yang Maha Esa” justru akan mengecilkan instrumen lain. Pendewaan seperti itulah salah satu maksud dari krisis berpikir yang cenderung radikal (mencari akar tunggal).


Out of Contest
Tetapi, pada pengertian lain, kita juga sangat kagum dan memuja karena telah melihat bahwa Hongkong (bekas koloni Inggris) dan Singapura berhasil merobek jaring laba-laba korupsi yang karena itu kedua negara in pernah meraih prestasi sebagai termasuk 10 besar negara terkorup di dunia medio 1970-an. Selanjutnya, entah sengaja atau tidak, kita melupakan diskusi tentang prototipe dan struktur sosial kemasyarakatan di kedua negara tersebut. Kita juga lupa bertanya tentang bagaimana korupsi itu terbenam, apakah lambat atau laun. Kita memang hendak mencoba melata dari apa yang dilakukan oleh kedua negara tersebut. Alasannya pun jelas, Indonesia dengan kedua negara itu memiliki masalah yang sama: korupsi. Namun, pertanyaannya, pernakah bangsa dari kedua negara tersebut mengklaim pengakuan bahwa aspek legal formallah akar dari segala kunci pemberatasan korupsi?

Ekspalanasi di atas memang menawarkan kesan pro (favourable) terhadap perilaku praktek korupsi dalam tulisan ini. Hal itu mungkin wajar bila meletakkan korupsi sebagai satu-satunya virus asal krisis bangsa ini bermetamorfosis. Barangsiapa menitipkan pernyataan sanat membela, membela, atau agak membela praktek korupsi, maka itu artinya pro praktek korupsi (pro koruptor). Hanya saja, Indonesia rupanya bukan hanya mengidap virus korupsi, tetapi virus-virus lain juga tak kala ganasnya dan saling bahu membahu mempertahankan cengkramannya. Gambaran kesulitan mengklasifikasi akar-akar krisis ini adalah karena krisis ini tidak punya bahasa verbal yang dapat diiterpretasi secara formal, yang dapat menyurati para decision maker tentang penyebab tunggal sehingga krisis itu sendiri masih tetap bertahan hidup.

Selanjutanya, mari kita mengarahkan pandangan kita sambil berputar pada sumbu tempat kita berdiri. Berputar, karena realitas itu sendiri present sehingga hadir di sekeliling atau di seputaran kita. Persepsi kita tentang korupsi sebagai realitas sosial mungkin akan lebih baik. Katakanlah lebih baik karena, mulai dari otoritas hukum, otoritas lembaga sosial kemasyarakatan, otoritas budaya, otoritas spritual, otorita politik, otoritas local indigenous, otoritas ekologi, dan seterusnya tidak ada dianaktirikan. Pengertian otoritas dalam tulisan ini adalah bahwa dalam dunia sosial setiap agen-agen sosial punya kendendak dan kemerdekaannya sendiri. Kemudian, apa yang menjadi tugas kita adalah membangun konsep pemberantasan korupsi yang berbasiskan pada otoritas-otoritas di atas menjadi suatu model verbal yang memberikan gambaran lebih banyak dari pada yang sesungguhnya kita lihat. Apalagi, antara konsep dan otoritas dapat saling mengindikasikan dengan silih berganti peran sebagai bentuk dan isi.

Sebuah gerakan anti korupsi semestinya menyediakan banyak alternatif dengan alasan bahwa masalah korupsi juga tidak hanya terdiri dari satu entitas causa prima saja. Visi dan misi sebuah gerakan anti korupsi harus mampu merangsang terlembagakannya nilai-nilai dan patron kesadaran kolektif masyarakat sehingga pada akhirnya terbentuklah sebuah pratana sosial. Pranata sosial adalah representase aktualisasi dari berbagai otoritas yang telah disebutkan sebelumnya. Ini memang agak rumit namun lebih terpadu. Bayangkan, suatu fenomena korupsi yang terangkai dari berjumput jaringan otoritas, tetapi pemberantasannya hanya dibebankan pada satu otoritas saja, katakanlah otoritas hukum (aspek legal formal) saja. Beban itu terlalu berat dan mudah menggiring dicapainya keputusan instan.

Tugas masing-masing otoritas memahami dan mengenali wilayah fenomenanya sendiri tetapi tidak mereduksi eksistensi wilayah fenomena otoritas lain. Katakanlah kebijakan Presiden Gus Dur menunda penahanan tiga konglomerat hitam, meminjam istilah Kwik Kian Gie, sebagai keputusan administratif berkonsideran otoritas ekonomi, secara telanjang mereduksi otoritas lain seperti kepentingan penegakan hukum (law enforcement). Gerakan ini juga harus secara tegas mengakui (to be present) klasifikasi basis komunitas sosial tiap-tiap otoritas. Bila hal itu tidak mendapatkan pengakuan, yang terjadi kemudian adalah pengingkaran-pengingkaran yang tidak begitu penting dan merugikan, seperti perspektif otoritas ekonomi yang tidak mengakui urgensi otoritas ekologi, yang keduanya berkepentingan terhadap planet Bumi.

Penataan Ekonomi Internal
Lebih dari sekedar masalah kontemporer korupsi, momentum baru praktek korupsi telah beringsut secara sentripetal (menyebar) ke wilayah-wilayah yang terpisah. Sampai pada tahun keempat usia reformasi, kewenangan daerah ternyata belum terdefinisikan secara tegas, minimal dari sikap elegan pemerintah pusat. Peluang korupsi telah di-floor secara pelan-pelan. Tentu saja ini merupakan rekomendasi bagi gerakan anti korupsi. Gerakan anti korupsi harus menyiapkan energi dan stamina yang lebih bagus dari yang pernah dikeluarkan untuk membasmi dan memberantas korupsi yang diterpusat di jantung pemerintahan. Kesulitannya memang agaknya lebih pada tetap haramnya mengontrol korupsi cemeti kewenangan kekuasaan yang terpusat.

Belum lagi Indonesia keluar dari krisis ekonomi dan politik, tiba-tiba bangsa Indonesia dikejutkan oleh laporan dari salah lembaga audit internasional yang menyebutkan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-2 negara terkorup di Dunia. Tentu saja hal ini sangat kontradiktif dengan komitmen dan keseriusan bangsa Indonesia yang tengah mereformasi diri hampir pada semua sendi kehidupannya dalam berbangsa dan bermasyarakat.

Sembari menunggu Indonesia pulih dari krisis multidimensi seperti sekarang ini, roda pemberantasan korupsi akan terus berputar di luar jalur legal-formal. Salah satu dari jalur jenis tersebut adalah publikasi mozaik dan ikhwal korupsi di Indonesia. Peran pers dalam hal itu telah memberi kontribusi yang sangat besar selama ini. Meskipun demikian, ketersediaan informasi tentang korupsi, baik yang sifatnya “siap hidang” maupun yang “konon”, selalu dibutuhkan dalam akses yang mudah dan praktis.

Kita juga tidak selamnya asyik menyembunyikan kekecewaan resep law enforcement men-“jampi-jampi” realitas kebangsaan Indonesia untuk efektif mengusir “roh jahat” korupsi itu dari mental-mental masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Permakluman terhadap kelemahan jalur legal-formal itu dari kacamata epistemologi positivisme tidak akan membuat kita mengatur langkah mundur dan kemudian berbaring di atas tikar kepasrahan. Itulah sebabnya, mengapa kreativitas berpikir sangat strategis di tengah krisis berpikir para decision maker dalam menyusun langkah maju.

Kebutuhan mendesak yang mesti berjalan beriringan dengan prioritas urgen yang lain adalah penataan internal orde ekonomi baru. Tiga teori ekonomi, teori ekonomi ketergantungan (dependency theorists), teori ekonomi marxist, dan teori ekonomi kapitalis ortodoks, ketiganya gagal menelusuri sejarah dengan baju putih “keselamatan bersama”. Muncullah kemudian teori ekonomi pembangunan (developmentalism) yang dianut lebih separuh negara dunia ketiga di Asia dan Afrika (seperti dijelaskan sebelumnya).

Merasa bahwa tekanan internal untuk merealisasikan azas “tricle down effect”-nya developmentalism semakin berat dan gencar--lihat status quo rezim otoriter, maka penguasa otoriter di negara berkembang pun mengarahkan moncong “meriam”-nya ke Utara. Mereka menuntut dibentuknya orde ekonomi internasional baru. James H. Weaver dan Marguerite Berger berpendapat bahwa tuntutan orde ekonomi internasional baru yang disuarakan pemimpin dunia ketiga merupakan kepalsuan dan penipuan yang dibuat untuk mengalihkan perhatian rakyatnya dari struktur internal yang menghambat pembangunan, membuat rakyat tetap miskin, dan melestarikan kelaparan, penyakit dan buta huruf.

Bila James H. Weaver dan Marguerite Berger benar, daftar pekerjaan rumah bagi negara yang bernama Indonesia menjadi lebih panjang lagi. Salah satu isi daftar itu adalah tuntutan rakyat kepada decision maker untuk segera dibentuknya tata ekonomi internal baru. Salah prasyarat bagi mengejewantahkan tuntutan tuntutan tersebut, secara terpisah dijawab oleh Anthony Giddens dalam “The Third Way” (1999), bahwa negara harus memperluas peran ruang publik yang berarti reformasi konstitusional yang diarahkan pada transparansi dan keterbukaan yang lebih besar, serta pengenalan sarana perlindungan baru terhadap korupsi.

Jadi, tata ekonomi internal baru ini lebih menyangkut yang terakhir di atas. Sebab, manajemen pemerintahan di Indonesia memang lebih banyak bergantung pada perjanjian (transaksi) di bawah meja. Cara-cara melakukan segala sesuatunya tidak diperiksa dengan cermat dengan efek yang amat brutal dalam wilayah kepentingan publik. Contoh, proses penyusunan Perda RAPBD pemerintah kabupaten atau propinsi di Indonesia betul-betul berlansung seperti menarik benang dari tepung dan tepunnya tidak berantakan. Oleh karena itu, Anthony Giddens benar, reformasi konstitusional dalam membentuk tata ekonomi baru internal harus disertakan dengan pengenalan saran perlindungan baru terhadap korupsi.

Pernah dimuat di Harian Fajar pada 2001
Penulis : Koord. Divisi Penerbitan dan Informasi Yayasan Kantata Bangsa (YKB) DPC Makassar.
Selengkapnya >>

Selasa, 03 April 2001

Perempuan Imajiner Dalam Industri Media

Maqbul Halim

SEBUAH perdebatan tentang perempuan menyembul secara tiba-tiba di forum itu. Di forum itu, sejumlah manusia yang telah mendeklarasikan diri masing-masing sebagai pejuang anti korupsi—setidaknya, menurut konsideran surat undangan Anti Corruption Committee (ACC) Sulsel yang mereka terima. Sabtu,14 Mei silam di Hotel DELIA Makassar itu, pada yang disebut “forum itu” tadi, serorang peserta memprotes kepada nara sumber. Pasalnya sederhana, pemateri memaparkan list kasus korupsi pejabat berkelamin “jantan” yang berkorelasi positif dengan dukungan dan desakan sang istri—istri, terlepas ia jantan atau betina. Lelaki yang punya kepekaan dan kritis sehinga mengajukan komplen tersebut menilai bahwa si pemateri hendak menuntun audience dengan premis-premisnya hingga tiba pada suatu konklusi: perlu dicermati jejak-jejak langkah perempuan dalam keputusan bertindak korupsi oleh seorang suami.

Forum waktu itu menyadari bahwa masalah tersebut sangat penting. Pasalnya berbias jender. Dan, tentu saja bila kategori pentng itu dituruti, tentu saja topik orisinil orisinil forum terbengkalai. Tetapi, beberapa peserta kemudian menyusulkan semangatnya untuk melancarkan protes kepada pemateri ketika tiba coffee break. Dari perdebatan kusir itu, rupanya konklusi itu sudah lama merangsek menjadi generalisasi dengan starting point pada list pejabat tadi. Ketika diasumsikan, maka ada serupa rekomendasi yang ikut merumuskan asumsi-asumsi baru yang kemudian bekembang menjadi wacana sosial kolektif bagi masyarakat. Dan, korupsi sebagai perilaku dan juga prototif dalam figuranya, telah terpermak oleh asumsi kolektif tadi. Tetapi, salah juga bila mutlak menyatakan, “gara-gara list itulah biangnya”. Katakanlah bahwa itulah realitas sosial. Tapi, realitas yang tidak memenuhi fungsi modalitasnya, seperti conscientizacao, mencuri istilah Paulo Freire, tentu tidak akan pernah berbicara tentang subtansi dari masalah perempuan yang sesungguhnya. Terutama juga karena modalitasnya—dalam bahasa filsafat—tidak memenuhi elemennya sehingga sukar dijelaskan secara epistemologi.

Mereka, peserta itu yakin bahwa tindakan pejabat laki-laki untuk korupsi atau tidak adalah keputusan bersangkutan, kecuali yang kualitasnya kasuistis. Istri, sebagaimana seorang pemberi saran dan pertimbangan, bukan pengambil keputusan. Namun, meski peserta itu juga benar, penjelasan seperti itu hanya sekadar obat mujarab yang berfungsi tambal sulam. Kalau sekadar tambal sulam, kita memahami masalahnya. Tetapi pertanyaannya kemudian, bagaimana hubungan “materi” antara peluang dan dorongan untuk korupsi bagi pejabat dengan seorang perempuan sebagai istri, utamanya secara genetik? Ilmu anatomi tubuh dalam biologi misalnya, tidaklah jelas. Apalagi bila biologi itu dapat menjelaskan bahwa ada sebentuk susunan gen pada tubuh manusia berjenis kelamin perempuan yang memungkinkannya untuk konsumtif, misalnya. Seterusnya dalam realitas sosial, dapat juga disebut sebagai biang penggagas keputusan dan tindakan korupsi. Hal ini sangatlah tidak bertangung jawab dan amat menyesatkan, alias (mungkin?) berbias jender.

Intermezzo di atas hanyalah sebuah metafor namun telah amat ter-diaspora dalam persepektif kolektif secara sosiologis, yang akhirnya membingkai persepsi sosial dan kultural masyarakat sendiri. Selanjutnya secara dialektis, persepsi itu bermetamorfosis terus secara berkesinambungan sehingga terus terpeliharalah sebuah dunia sosial yang memilihkan tempat bagi perempuan pada posisi yang periferal dan sangat tidak menguntungkan dari aspek keadilan hidup. Hal tersebut dapat dengan mudah diamati pada jejak historis yang lebih banyak mengeksploitasi mahluk yang tidak ada bedanya dengan laki-laki itu—kecuali untuk perbedaan secara bilogis yang semi-mutlak adanya—karena dipersepsi hanya sebagai hal yang instrumen, bukan persoalan humanis. Setidaknya, begitulah cara yang kita melegalisirnya dan terus memodifikasinya dengan epistemologi modern sehingga sejarah dunia dapat terus dipertahankan ketidakadilannya. Itupun sudah sangat banal.

Sebaiknya, kita pun tidak terus menghardik variabel sejarah yang membuat keliru paradigma dan persepsi kolektif sosial tentang perempuan itu. Mari kita mendongakkan wajah ke atas; memutus mata rantai konstruksi sosial tentang predikat perempuan yang terlanjur banal dan merugikan itu. Institusi yang paling gencar mereproduksi dan mengkonstruksi realitas sosial adalah media massa—karena hanya media (baca: fasilitas tulis-dengar-baca) yang abadi membuat dunia verbal menjadi kekal. Merajut ide perempuan menjadi sebuah gagasan, sebab bagi penulis: ide beda dengan gagasan karena gagasan lebih operatif, tentulah menghasilkan barang komoditi yang sangat produktif, terutama karena subjek perempuan dapat memediasi ide menjadi gagasan, dan selanjutnya gagasan menjadi dolar.

Media massa adalah mesin dolar yang tak pernah berhenti menjual gagasan, mereproduksi makna sejarah dan agenda sejarah. Media massa menawarkan dua rana bagi perempuan, ranah jurnalistik dan hiburan (Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme dan Hiburan, LP3Y: Desember 2000). Masing-masing ranah ini mengelola efeknya; realitas sosial adalah sekuen dari ranah jurnalisme. Sedangkan ranah hiburan lebih banyak menggarap efek psikologi yang bersifat personal. Rana hiburan sudah lama menjadi penyakit dunia sosial di hadapan media massa dan terus mandapatkan perlawanan yang tidak efektif, entah dari gerakan pembebasan perempuan, gereakan peminisme, atau soal jender. Sedangkan ranah jurnalisme semakin memperkaya khazanah intelektual dengan wacana perempuan yang tidak lebih dari sebuah ekstraksi imajiner. Beberapa bagiannya selalu hendak difiksionalisasi. Hingga kini, wacana perempuan di media massa terus memendarkan dua rana ini yang nyaris tanpa ampun.

Setidaknya, pemberitaan media di Indonesia telah menunjukkan bahwa korupsi adalah bagian lain dari asumsi kolektif masyarakat yang sering merendahkan martabat perempuan. Tetapi di sini pun ada kelemahan mendasar wacana jender dalam pemberitaan media: jurnalis seringkali menjadi pemburu peristiwa yang sama, bukannya pencari peristiwa yang kira-kira itu adalah embrio suatu eksplosi, yang kemudian akan menjadi incaran pemburu berita. Konsumerisme—atau sikap pasif dan lemah untuk menyebutkan persosokan lain selain dari konsumerisme—yang sering disematkan sebagai predikat perempuan merupakan eksplosi yang tidak bermusim, tanpa jedah. Karya-karya jurnalistik selalu berangkat dari eksplosi tersebut untuk mengeksplorasi realitas soal perempuan sebagai beberapa kepingan realitas sosial-buruk lainnya. Baik konsumen karya-karya jurnalistik maupun penulis yang mengerakkan makna demi makna dalam “kata-kata”-nya, sangat jauh terletak dari wilayah sejarah konstruksi dan reproduksi makna dan simbol subjek dan predikat perempuan itu. Jadi, ada watak ideologis yang bekerja di balik performance media.Maka, sajian hidangan media yang eksplosif itu kita cicipi dengan kepanikan tapi nikmat dan lezat, senikmat dan selezat animasi tubuh erotis perempuan, kata Ruper Murdoch.

Hingga kini, perempuan sebagai obyek dalam dinamika industri media seringkali ditemukan di belantara garis-garis perdebatan tanpa jelas akar masalah dan harapan-harapannya. Tetapi bukankah perempuan sebagai obyek dalam media adalah materi yang manifest sifatnya. Dan pula, tidak merepresentasekan masalah perempuan pada intinya. Ketika seseorang berang terhadap “teks” perempuan di layar perak yang berbias jender, ketika itu pula melempari panggung, membidik sosoknya, menyorotkan cahaya senter kepada bayang-bayangnya. Padahal, “Pesinden memang termasuk bagian penting dari orang di balik layar, tetapi dia tatap bukan dalang,” H. Sujiwo Tejo di TEMPO edisi 3 Juni 2001 bercerita tentang laten dan manifest dalam formula pesinden – dalang. Akibatnya, “teks” perempuan terlalu besar, sementara “konteks”-nya, yang sarat dengan karakter ideologi dan konstruksi dan reproduksi realitas sosial (baca: laten—pen), tak tersibak.

Begitu ada kesadaran tentang dimensi manifest masalah perempuan pada industri media yang menyembunyikan dimensi laten, gerakan yang bermerek pembebasan perempuan pun mulai berhembus masuk ke “ruang” dapur redaksi dan Production House (PH). Lebih dari itu, dapur eksekutif dan dan legislatif dalam institusi negara juga disatroni. Komunitas progresif dan kritis perempuan pun terus mendentangkan lonceng pidatonya. Mereka berteriak tentang rasio perbandingan perempuan dan laki-laki di dapur redaksi; perempuan yang diserahi kewenangan mengambil keputusan redaksi; inisiatif perempuan menggagas materi entertainment (seperti iklan). Perspektif kolektif—utamanya masalah perempuan—telah menginjak ke bentuknya yang lain. Maka, persepsi yang melengkapinya pun semakin operatif, bahkan sangat hingar-bingar.

Namun, ada kelemahan terbesar mempersepsi masalah perempuan. Yakni dalam instrumen sosial. Seperti soal karir dan pengambilan keputusan, selalu ditinjau dari aspek kuantitatif. Padahal itu merupakan perangkap atau jebakan ‘lipstik’ statistik. Seorang semisal Cut Nyak Din, tentu sangat naif jika memandangnya sebagai sekumpulan jumlah unit-unit keperempuanan, sebagai hasil perhitungan atau penambahan. Dan, oleh karena itu, maka sebuah kekuataan telah tersaji di hadapan kita untuk disegani bersama. Yang ada hanyalah keseganan terhadap jumlah, kuantitas. Kita sesungguhnya yakin bahwa soal demokratis bukan terletak pada jumlah: mayoritas atau minoritas, tetapi ada juga keyakinan demokrasi kita sangat kuat bahwa keadilan dan kearifan seringkali jauh lebih menjanjikan masa depan lebih baik ketimbang demokrasi itu sendiri. Maka, seperti yang dilakukan seorang pemerhati perempuan semacam Naomi Wolff pada tahun 1992 ketika hendak mengabstraksi tingkat apresiasi lembaga penyiaran BBC World Service London dalam konsistensi pejuangan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, juga masih harus kita telusuri signifikansinya, yang garisnya akan berakhir pada suatu titik: conscientizacao, dalam istilah Paulo Freire.

Selain jebakan statistik itu, terdapat pula banyak pengalaman penelitian yang difokuskan pada persoalan peran perempuan yang menyebabkan dapat leluasanya sang perempuan mengambil keputusan, minimal tentang upaya pemutusan mata rantai konstruksi dan reproduksi realitas perempuan yang terus berlanjut tadi itu. Itu juga dilakukan oleh Naomi Wolff, masih di BBC World Service. Sejumlah organisasi non pemerintah (Ornop) di Indonesia atas bantuan funding international juga melakukan tiruan serupa dengan penelitian Naomi Wolff itu. Bahwa, posisi pengambil keputusan adalah target yang sangat strategis dan subtansial bagi perempuan. Argumenya pun jelas, bahwa jumlah dalam rasio dominan pada sebuah limit ruang—katakan ruang sosial-kemasyarakatan—belum cukup untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perempuan itu sendiri untuk optimal berperan dalam penentuan dan pengambilan keputusan terhadap peningkatan dan penghormatan terhadap hak dan martabat perempuan sendiri.

Dalam formasi politik pun, peran perempuan dalam pengambilan keputusan, minimal terhadap soal penghargaan dan peningkatan harkat dan martabatnya, dibuatkan agenda khusus dalam Usulan Rancangan Undang-undang Politik di Indonesia yang tawarkan oleh Koalisi Ornop: “Keterwakilan Politik Perempuan”. Goal attainment-nya, agar perempuan dapat memaksimalkan perannya dalam pengambilan keputusan publik, termasuk juga khususnya soal perempuan, karena rasio pemilih perempuan di Indonesia adalah separuh dari keseluruhan pemilih. ‘Tetapi’, baik kita coba me-review soal peran dan posisi strategis perempuan dalam panggung politik. Sejarah telah berkisah tentang kesuksesan perempuan dalam meraih kursi puncak manajemen (termasuk eksekutif) yang (bahkan) mendapatkan dukungan dari kaum laki-laki, meskipun kaum antagonis perempuan ini selalu mayoritas di dewan legislatif. Sebutlah mereka itu antara lain: si “Wanita Besi” Margaret Thatcher, “Kuda Hitam” Qorazon Aquino, “Si Cantik Molek” Benazir Bhutto, “Si Cerdas” Golda Meir, “Pencetak Bola Muntah” Gloria Macapagal Arroyo, dan seterusnya. Tetapi dengan posisi peran kunci demikian, adakah perempuan jadi lebih beradab di hadapan dunia verbal dan tekstual yang didominasi laki-laki? Adakah eksploitasi perempuan melalui reklame / iklan (entertainment) pada industri media menjadi kurang atau tidak sensual dan ganas lagi? Nah, mungkin kita akan bertanya kepada salah satu risalah perempuan yang pernah berkuasa tadi itu!

Di hadapan anggota perlemen, beberapa bulan setelah Thatcher dikukuhkan sebagai Perdana Menteri Inggris, ia berujar, “Everyone want to, I have to ‘U’ turn. Please turn, if you want to. But the lady, not for turning!” Kita belum tahu, apalagi mengerti kalimat “but the lady” yang terlontar dari mulut Thatcher itu. Dewan, kala itu, nyatanya didominasi kaum laki-laki. Dari kalimat “but the lady”, kesannya sangat kuat bahwa Thatcher “ngotot” membedakan perempuan dan laki-laki soal prinsip. Kebijakan Thatcher yang membekukan tunjangan anak, misalnya, ditentang oleh bukan saja kalangan Partai Buruh, tetapi juga partainya sendiri, Partai Konservatif.

Ia didesak untuk memutar haluan (mengubah kebijakan politiknya), berputar kemudian berbalik, sebagaimana model aksara “U”. Namun, seyakin Soekarno manakala mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959—“ ... dan didorong keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya (Dekrit—pen) jalan menyelamatkan Negara Proklamasi!”—Thatcher terus melangkah. Itulah awalnya, Thatcher kemudian digelari “Wanita Besi”. Bahkan kursi perdana menterinya tak tergoyahkan hingga hampir 10 tahun. Lantas, berdayakah perempuan di Inggris (katakanlah di dunia) dengan ucapan Thatcher, “but the lady” itu? Thatcher ternyata malah membersihkan pos-pos jabatan eselon pemerintahannya dari perempuan yang cakap. Cecil Parkinson, ketua Partai Konservatif—partai Thatcher sendiri, dibiarkannya terpental dari gelanggang politik. Padahal dia diunggulkan sebagai Sekretaris Urusan Luar Negeri pemerintahan Kabinet Thatcher. Alasan Thatcher: “itu bukan karena Parkinson berselingkuh dengan sekretarisnya, Sara Keays (pelecehan seksual—pen), melainkan lebih sebagai pelecehan terhadap kehormatan partai.” Hingga puncaknya, Thatcher melakukan ‘penyerangan terbuka’: “Saya tidak berhutang apa-apa kepada gerakan pembebasan perempuan.” Kebijakan politiknya sama sekali tidak mengarah ke agenda Gerakan Pembebasan Perempuan. Hal itu lebih banyak menyangkut bagaimana mematahkan langkah demi langkah terobosan Partai Buruh.

Maka, katakanlah juga bahwa jumlah perempuan yang menduduki jabatan wartawan dan editor di media massa pers, atau juga disainer (juru kreatif) pada biro iklan, atau jumlah mereka yang perempuan di kursi legislatif secara representatif, ternyata lebih berimbang. Adakah dengan sendirinya pula mampu memproduksi kebijakan pemberitaan media tentang perempuan lebih beradab? Atau reklame dan teknik-teknik animasi iklan di layar televisi menjadi kurang seronok dan senonoh, terutama karena hanya mengumbar aspek biologis perempuan ketimbang aspek intelektual, kerampilan atau profesionalitasnya? Atau kebijakan politik tentang pembaruan dan perbaikan layanan kesehatan dan peningkatan taraf hidup perempuan pesisir menjadi lebih baik?

Rupanya, jumlah rasio dominan perempuan dalam limit ruang tertentu dan pencapaian posisi kunci pengambilan keputusan dalam berbagai lini kehidupan bukan garansi bahwa kehidupan dunia sudah menginjak pintu gerbang di mana cita-cita luhur dan adil dalam wacana pembebasan perempuan telah nampak seperti hamparan hijau lembah perbukitan yang menawarkan keindahan dan menjajikan kebahagiaan. Perencanaan publik tentang peningkatan martabat perempuan masih sulit untuk keluar dari lorong-lorong imanjinasi. Perempuan miskin tetap menjadi komoditi yang selalu salah urus.

Meskipun diakui bahwa pekik perempuan melalui “megafon” Gerakan Pembebasan Perempuan telah memberi arti bagi pembuatan program perbaikan kondisi kerja perempuan di se antero dunia. Namun, mereka tetap menjadi korban sasaran pembantaian ganasnya program-program entertainmen dan komersialisasi tubuh sensual perempuan. Jalan memberdayakan perempuan dari gempuran eksploitasi industri media dengan program penyadaran (public awarness) dan pemberdayaan (empowerment), terlalu dini bila hendak dikadaluarsakan. Di sinilah (mungkin?) Paulo Freire, ahli pendidikan Brazil, benar. Perempuan harus hadir dalam realias sosial sebagai hasil dari conscientizacao. Conscientizacao adalah istilah yang digunakan Freire untuk menunjuk suatu proses belajar mengenali kontradiksi sosial, politik dan ekonomi dan untuk bertindak melawan unsur-unsur penindasan realitas.

Biasanya, hal-hal yang selalu menghambat kemajuan perempuan adalah fatalisme, merendahkan diri, kerawanan dan kecemasan, yang kesemuanya berasal dari realitas. Freire pun mencoba mengidentifikasi masalah keterhambatan perempuan untuk mengalami kemajuan: perempuan selama ini diajar bagaimana membaca dan menulis dalam sebuah lingkungan di mana mereka tidak mempunyai sesuatu untuk dibaca, dan tidak mempunyai alasan untuk menulis. Bila perempuan, khususnya yang bergelut di dapur redaksi dan PH—termasuk di dapur perlemen, nyata-nyata mengalami proses belajar conscientizacao itu, industri media boleh jadi akan memiliki kesadaran sendiri tentang issu perempuan dan jender.

Di sana, hal conscientizacao itu, kita dapat menemukan harapan pergerakan kaum feminisme Lana F. Rakow: “... upaya memahami bagaimana cara supaya fungsi-fungsi sistem sosial, politik dan ekonomi yang ada, bisa diubah hingga sekurang-kurangnya menjadi lebih egaliter, kooperatif, dan tidak bersikap eksploitatif terhadap kaum wanita (Lana Rakow: 1991)”. Kepentingan jumlah dan kedudukan perempuan, sekali lagi untuk terakhir, hanyalah bagian kecil dari tema PEREMPUAN.

Penulis: Staff Program dan Koordintor Divisi HAM, Demokratisasi dan Anti Korupsi ëLSIM Makassar
Dimuat pada Majalah MediaWatch eLSIM Makassar, Edisi 08/2001
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim