SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Senin, 19 Februari 2001

Gus Dur adalah Masalah itu Sendiri

Oleh: Maqbul Halim
(Makassar, Februari 2001)

Sebenarnya, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak sedang menghadapi masalah dalam memimpin bangsa ini. Justru sebaliknya, bangsa ini yang menghadapi masalah berat. Gus Dur adalah masalah berat itu sendiri yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Gus Dur adalah kunci masalah dan oleh sebab itu, menyelesaikan Gus Dur berarti menyelesaikan masalah yang sesungguhnya. Kerangka asumsi ini tidak sepenuhnya benar menurut berbagai macam kepentingan. Tetapi dapat membantu memahami sebagian kecil dari sedikit dimensi ''misterius'' Gus Dur.

Tetapi untuk hal tertentu, Gus Dur bukanlah masalah sebab ia selalu berbuat dan mengambil kebijakan sebelum orang lain memikirkannya. ''Frame of Reference'' Gus Dur dalam me-''review'' realitas kebangsaan dan kenegaraan sama sekali bukan berasal dari pengetahuan dan pengalaman yang transformatif sebagaimana diteorikan Ilmu Politik atau Ilmu Ketatanegaraan maupun teori manajemen modern. GBHN dan Konstitusi bagi Gus Dur tidak lebih dari sebuah formalitas dan justifikasi atas kekuasaan yang digenggamnya. Tetapi dalam mengambil keputusan dan kebijakan dalam kaitannya dengan tugas eksekutifnya, dirinyalah yang menentukan.

Keputusan menunda penuntutan terhadap Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, dan Prajogo Pangestu yang disebut Kwik Kian Gie sebagai pengusaha nakal; negosiasi dengan Hutomo Mandala Putra (Narpidana) yang baru saja dipersalahkan di pengadilan; atau campur tangannya terhadap masalah-masalah teknis di departemen, adalah indikasi yang sangat kuat bahwa memang Gus Dur sedang dalam kondisi disorder. Meninjau rapor pemerintahan Gus Dur selama satu tahun lebih ini, meminjam istilah Amien Rais, yang kita temukan hanyalah angka merah. Perekonomian meningkat menuju kehancuran, grafik jumlah aksi-aksi kekerasan meningkat tajam, proses desintegrasi kian populer, gonta ganti kabinet secara ''like and dislike'' membuka lebar desintegrasi sosial dan politik, pengangguran dan kemiskinan semakin bertambah. Kesemua itu adalah realitas yang tidak signifikan dengan kecenderungan mempertahankan Gus Dur sebagai presiden, bahkan tidak rasional.

Menurut kemampuan intuitifnya, semua keputusan dan kebijakan Gus Dur selama ini adalah wajar dan lebih baik. Gus Dur betul-betul ingin mengatakan bahwa 1 + 1 belum tentu sama dengan dua. Meninjau perilaku Gus Dur dalam memimpin bangsa ini, haruslah menggunakan konsep Manajemen Patrimonial. Dalam Manajemen Patrimonial, wilayah publik dan pribadi (personal) kabur dan tercampur aduk. Seseorang yang berkarakter Patrimonial memangku jabatan publik semisal jabatan presiden akan mengalami konflik peran. Gus Dur yang lahir dari sebuah lingkungan sosial yang Patrimonial dan kemudian menjadi pemimpin atau publik figur dari komunitas yang berbasiskan Manajemen Tradisional-Patriarkhal, tentu akan terisolasi bila hendak menempatkan karakternya itu dalam bingkai manajemen modern.

Apresiasi dari sudut pandang Manajemen Modern dengan menggunakan formulasi Max Weber terhadap perilaku manajemen kepresidenan Gus Dur yang patrmonial itu dalam melaksanakan otoritasnya sudah tentu menjadikan Gus Dur adalah sebuah masalah itu sendiri. Denny J.A., Direktur Pusat Studi Demokrasi, menyebut masalah itu sebagai ''Kesalahan Politik yang Paling Tepat'' (Tempo, 5 Nopember 2000). Ada tiga tipologi otoritas dalam formulasi Max Weber: Tradisional, Legal-Rasional (Modern), dan Kharismatik. Tipologi itu didasarkan pada interaksi dan aksi-aksi sosial yang menjadi ciri khas masyarakat yang bersangkutan (April Carter: 54, 1985). Tipologi otoritas Gus Dur an sich--itu sendiri, harus diapresiasi melalui tipologi Weber yang pertama: tradisional.

Letak Gus Dur Sebagai Masalah
Proses Gus Dur mejalankan otoritas kepresidenan di atas dapat dijelaskan dari dua pendekatan: Pendekatan Otoritas Legal-Rasional (Konstitusional) dan Pendekatan Tradisional. Alasan menggunakan kedua pendekatan ini adalah: Pendekatan Legal-Rasional penting sebab otoritas dalam jabatan kepresidenan Gus Dur diperoleh atau didapatkan dengan cara-cara konstitusional, legal, dan rasional. Sementara, Pendekatan Tradisional lebih merupakan sebagai refleksi latar belakang Gus Dur sendiri: dibesarkan di lingkungan pesantren, kemudian memimpin Ormas NU yang tradisional-patrimonial.

Gus Dur memperoleh otoritas kepresidenannya melalui cara-cara yang konstitusional. Oleh sebab itu, Gus Dur harus menjalankan otoritas tersebut menurut dalil-dalil Legal-Rasional yang merupakan instrumen konstitusi. Bila dieksplorasi lebih jauh menurut tipologi Weber, Gus Dur tidak mungkin memperoleh otoritas itu walaupun telah memiliki potensi personifikasi Tradisional dan Kharismatis dalam dirinya. Sebab Indonesia bukan negara kerajaan (monarkhi) negara hukum (konstitusional).

Dalam tipe legal-rasional semua peraturan ditulis dengan jelas dan diundangkan dengan tegas. Sedang batas-batas wewenang para pejabat ditentukan oleh aturan main dan kepatuhan kesetiaan tidak ditujukan pada pribadi yang menjabat melainkan kepada kepada lembaga yang bersifat impersonal.

Realitas otoritas kepresidenan Gus Dur yang terjadi justru lain. Dalam menjalankan otoritas eksekutifnya, Gus Dur menempatkan dirinya sebagai orang Orang Tua (Bapak) terhadap istri dan anak-anaknya yang belum dewasa. Pola hubungan yang diekspresikan Gus Dur adalah kekuasaan ''Patriarkhat'' yang bersandar pada absolute personal kontrolnya atas setiap individu dan wilayah hukumnya. Aspek legal-rasional tidak lebih sebagai instrumen belaka untuk mendapatkan otoritas dan bukan variabel penentu dalam menjalankan otoritas itu sendiri.

Kekuatan intuitif dan kontemplasinya lebih banyak berperan menjadi konsideran dalam keputusannya ketimbang fakta-fakta objektif yang dapat dipertanggungjawabkan secara institusional dan manajerial. Setiap masalah yang timbul diasumsikan bukan berdasarkan rekomendasi analisis legal-rasional. Begitu tidak pentingnya birokrasi sebagai bentuk paling murni dari orde sosial yang bersifat legal-rasional dapat dilihat dari mengucurnya dana Yanatera Bulog sebanyak Rp 35 milyar itu. Ketika Jusuf Kalla, mantan Menperindag dan Kabulog, membutuhkan Kepres untuk mencairkan dana itu atas permintaan Gus Dur supaya lebih akuntabel dan tranparan, Gus Dur malah memilih jalan sembunyi-sembunyi.

Inti Masalah Gus Dur
Sekali lagi, Tipologi Max Weber memperjelas, dari sudut pandang mana mesti memandang Gus Dur sebagai presiden sehingga kita tidak terjebak oleh wacana benar-salah atau baik-buruk. Mengevaluasi kepemimpinan Gus Dur yang tradisional itu dari kacamata Tipologi Legal-Rasional memang tidak relevan menurut Gus Dur an sich. ''Track Record'' manajemen modern Gus Dur memang memang tidak ada. Pertanyaannya kemudian, mengapa Gus Dur yang tidak punya track record manajemen modern dapat terpilih menjadi presiden? Sementara jabatan presiden yang merupakan komponen organisasi modern yang ditopang oleh birokrasi sebagai satu-satunya ''Social Order'' yang legal-rasional, sangat membutuhkan track record tersebut.

Kerumitan segera menghadang adalah ketika hendak mengevaluasi ''record progress'' jabatan presiden yang dikumpul Gus Dur. Konstitusi menagih tanggung jawab kepresidenan Gus Dur bukan sebagai person yang bertipologi tradisional tetapi legal-rasional. Konstitusi tidak punya alternatif lain sebab konstitusi tidak punya alat kontrol dan alat ukur yang dapat menjangkau prestasi efektivitas yang dihasilkan oleh manajemen Gus Dur yang tradisional. Instrumen birokrasi manajemen modern pun tidak mampu menjelaskan perilaku dan tipologi Tradisional Gus Dur selama ini tetapi sebagai pemimpin dari Organisasi Modern: Republik Indonesia.

Karena ini merupakan ''Kesalahan Politik yang Paling Tepat'', maka materi serangan lawan politik Gus Dur sudah dapat diramalkan.

Alumni Komunikasi Unhas dan Direktur Pengembangan Program Institute of Social Studies (InCials) Makassar.
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim