SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Jumat, 08 Desember 2000

Gus Dur Pro Mahasiswa Anti Gus Dur

Oleh Maqbul Halim
Makassar, Desember 2000


Era Reformasi sebagai hasil dari sebuah perjuangan telah diklaim oleh banyak pihak. Klaim itu didasarkan pada aksesbilitas dan eksistensinya dalam mengisi perjuangan reformasi sejak 21 Mei 1998. Lebih dari itu, mereka malahan menunjuk diri sebagai anak kandung dari dari pencetus reformasi. Dan karena itu, mereka lantas mengaku sebagai pewaris tunggal reformasi itu.


Sebenarnya, klaim sebagai pewaris itu memang sebuah kewajaran sekaligus tanggung jawab berbangsa dan bernegara. Dasarnya adalah, memperjuangkan kebenaran dan keadilan bukan “hak intelektual” belaka para penegak kebenaran dan keadilan. Sayangnya, bahwa para ahli waris itu lupa siapa pemberi warisan. Siapapun di negeri ini (Indonesia) sangat tahu dan mengerti betul bahwa mahasiswalah pencetus reformasi itu, atau pemberi warisan. Melaui transaksi politik, mahasiswa yang kembali ke mejah kuliahnya, merelakan reformasi itu diwarisi oleh pihak lain, seperti partai politik, organisasi sosial, ataupun LSM. Meskipun kemudian mahasiswa tercampakkan, sebagai pihak yang sangat awam terhadap reformasi itu sendiri.

Selama ini, selain mahasiswa, tidak ada lagi kekuatan lain yang dapat dijadikan instrumen untuk menyibak tirai kekuasaan yang otoriter dan biadab dibalik konstitusi dan aspirasi rakyat. Melalui gerakan mahasiswa yang dimotivasi oleh hati nuraninya, pemalsuan kebenaran dan keadilan dapat terungkap. Kekuasaan otoriter rezim Soekarno dan Soeharto tidak mampu menyembunyikan kamuflase kekuasan otoriternya di hadapan mahasiswa. Demikian juga BJ Haibibe, ia harus dicegah oleh mahasiswa karena mahasiswa telah menemukan embrio kekuasaan otoriter di tangannya. Lantas bagaimana dengan Gus Dur? Mahasiswa sedang kembali belajar terhadap prilaku Gus Dur saat ini.

Jika kemudian lantas para kyai --bukan ulama-- merampas podium untuk menyuarakan refromasi pada medio Februari 2001, suatu hal yang sangat aneh. Sebab dalam sejarah kontemporer Indonesia Merdeka, kyai lebih banyak menjadi kuman dalam perjuangan demokratisasi dan HAM. Kyai tidak punya “track record” sebagaimana mahasiswa yang elegan dan tanpa pamri mampu memisahkan kebenaran dari ketidakbenaran atau keadilan dari ketidakadilan. Pekerjaan kyai itu (sekali lagi bukan ULAMA) lebih banyak mendoakan Soeharto untuk tetap terpilih menjadi presiden sidang umum masa Orde Baru. Mahasiswa juga sadar akan pentingnya perjuangan reformasi bukan berkat jasa para kyai. Selama tahun 1997 dan 1998, ketika mahasiswa sedang berjuang meruntuhkan Orde Baru, para kyai sedang sembunyi di bawah tanah bersama tokoh LSM dan tokoh Parpol.

Memang, pada realitas itu mahasiswa dan kyai sangat terpisah. Mahasiswa sama sekali tidak punya kepentingan terhadap kekuasaan politik. Bandingkan dengan kyai NU. Ketika Gus Dur jadi presiden, kyai NU baru memasang mulut untuk meneriakkan reformasi dan pembubaran Golkar. Sebuah niat baik yang hanya dapat dipanuti orang yang sedang tidur. Kepentingan kyai jelas, agar Gus Dur yang sesepuh NU itu tetap menjabat presiden. Salah satu maksudnya, tentu demi kepentingan dagang dan kemenangan PKB pada Pemilu 2004. Kepentingan Golkar sama dengan PRD, yakni hendak memperoleh kekuasaan melalui perjuangan politik. Lantas, apa yang hendak dicapai oleh perjuangan mahasiswa? Tujuannya tidak sama dengan tujuan parpol, LSM, kyai, NU, dan sebagainya.

Ketika kemudian Gus Dur benar-benar terpilih menjadi Presiden RI ke-4, bangsa Indonesia malah terjerumus ke Krisis Jilid II. Krisis Jilid II ini berasal dari sebab yang berbeda ketika Soeharto dan Habibie berkuasa. Soeharto dan Gus Dur mendasarkan pola kepemimpinannya pada tradisionalisme dan paternalisme yang hampir tidak bisa memisahkan urusan privat dengan domain publik. Padahal Gus Dur tengah memimpin “modern nation state”. Style kepemimpinan demikian sangat rawan dan rentan menjadi payung praktek KKN. Gus Dur telah mengembangkan payung itu. Yang terjadi kemudian adalah eskalasi konflik kepentingan tak terhindarkan. Yang lebih parah dari itu menurut Sukidi adalah runtuhnya moralitas politik kaum santri sekelas Gus Dur (Harian Republika, 19 Februari 2001).

Keputusan pribadi Gus Dur atas nama kebijakan publik itu telah berkembang menjadi wacana gerakan mahasiswa. Melalui wacana itu, mahasiswa kemudian bergerak mengawal gagasan DPR RI mengeluarkan memorandumnya yang pertama untuk presiden. Mahasiswa menemukan embrio pada kepemimpinan Gus Dur yang sama dengan yang ditumbuh suburkan Soeharto pada awal kekuasaan otoriternya. Itulah tanda-tanda zaman yang tidak akan mampu menyembunyikan diri dari sorotan mata hati nurani mahasiswa. Sampai kapan pun, mahasiswa tidak akan pernah berkawan dengan tanda-tanda zaman yang potensil membawa kepada kekuasaan otoriter dan demoralisasi politik dalam berbangsa dan bernegara.

Sikap mahasiswa yang tidak bersahabat dengan embrio kekuasaan yang otoriter dan korup ini merupakan wacana yang membedah kebingungan rakyat sehingga menjadi jelas apakah kekuasaan di tangan Gus Dur menjanjikan masa yang lebih mampu mengeluarkan bangsa dari krisis atau justru menjerumuskan bangsa ke Krisi Jilid II. Jadi, kekuatan sosial dan kekuatan politik, termasuk kekuatan ekonomi yang memainkan wacana kekuasaan politik Gus Dur, tidak memberi jaminan bahwa wacana itulah inti ancaman terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil, demokratis, dan apresiatif terhadap HAM.

Penegasan yang penting digarisbawahi dari tesis di atas bahwa wacana yang dikembangkan oleh kyai NU atau Muhammadiyah, misalnya, dalam kaitannya dengan kepemimpinan Gus Dur adalah kamuflase. Tidak heran bila sekarang santri dan kyai baru sekarang bisa ber-“tilawah” tentang reformasi. Demikian pula aktor intelektual PKB, PDIP, Golkar, LSM-LSM. Mereka tidak henti-hentinya menjajakan wacana yang tentu tidak lain adalah untuk kepentingan politik atau kelompoknya. Tetapi wacana yang dimainkan oleh gerakan mahasiswa tidak pernah menyuguhkan cermin yang memantulkan kepentingan pribadi atau kelompok. Tetapi kepentingan bangsa dan masyarakat.

Penulis : Direktur Program Lembaga Studi Sosial (InCials) Makassar dan alumni S1 Komunikasi Unhas.

Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim