SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Sabtu, 26 Desember 1998

TANGAN MILITER UNTUK TANAH PROBOSUTEDJO

SiaR News Service
Thu, 24 Dec 1998 03:08:50 -0500
Ujungpandang, Indonesia
15 November 1998

Oleh Maqbul Halim
Reporter Crash Program


UJUNGPANDANG --- Sejak Soeharto lengser dari kursi kepresidenan, Probosutedjo, pengusaha yang juga adik tiri Soeharto, ikut terusik. Tanahnya yang strategis seluas 2,8 hektar di Jalan Urip Soemohardjo, Ujungpandang, digugat warga sekitarnya.


Lebih dari 100 warga Ujungpandang mengklaim tanah itu sebagai milik mereka. Mereka menuduh tanah yang dijadikan tempat perakitan mobil PT Garmak Motor itu diperoleh Probosutedjo dengan menggunakan tangan-tangan militer. Karena itu, sejak reformasi digulirkan, para warga melakukan aksi pendudukan di lahan itu.

Menurut Makmun Hasanuddin, kuasa hukum dan kuasa direksi PT Garmak Motor, tindakan warga itu sangat sepihak dan tidak punya kekuatan hukum apa pun. "Saya punya banyak dokumen yang menguatkan bahwa lahan yang ditempati PT Garmak Motor itu adalah milik sah Probosutedjo," jelasnya seraya menujukkan sertifikat dan akta pembelian tanah yang menumpuk di atas mejanya.

Achmad, salah seorang warga, berkisah bahwa orang tuanya telah lama mendiami lahan itu, namun kemudian dirampas tentara Jepang pada 1942. Rustam (41), seorang pegawai pemerintah daerah, bahkan punya rincik (peta lokasi) tanah yang dibuat pemerintah Belanda, 1941. Tapi, Surat Edaran Menteri Keuangan yang berlaku sejak 1 Oktober 1998 menyebutkan, rincik tanah tidak bisa dijadikan alat bukti di pengadilan.

Rustam hanyalah salah satu warga. Masih ada puluhan lainnya yang tinggal di belakang areal PT Garmak Motor yang ikut mengklaim tanah itu dan punya juga dokumen yang mendasari klaim mereka. Memang, Undang-undang (UU) Pokok Agraria Nomor 5/1960 memungkinkan lahan yang tak bersertifikat dan bukan milik seseorang atau suatu pihak, tapi seseorang atau badan hukum tertentu bermukim di atasnya, otomatis menjadi milik negara. Yang diutamakan untuk memiliki tanah itu adalah yang bermukim di atas lahan tersebut. Hanya saja dalam UU tersebut tanah negara yang hendak dikonversi menjadi hak milik harus didaftarkan melalui prosedur hukum di Badan Pertanahan Nasional. Justru hal inilah yang tidak pernah dilakukan warga.

Tapi dalam UU yang sama disebutkan bahwa konsekuensi subjek hukum atau badan hukum yang hendak mengkonversi tanah negara menjadi hak milik ini harus mengusahakan lahan pengganti kepada warga yang bermukim sebelumnya atau dengan ganti rugi.

Sejak orang tua mereka diusir dari tanah tersebut oleh tentara Jepang, mereka belum pernah menerima ganti rugi dalam bentuk apa pun -- dan itu sangat muskil dilakukan. Probosutedjo sendiri telah menyiapkan dana Rp 75 juta untuk warga, yang kemudian ditolak mentah-mentah. Alasan mereka, selain angka itu tidak senilai dengan tuntutannya, Probosutedjo juga menganggap bantuan itu sebagai sumbangan kemanusiaan, bukan ganti rugi.

Karena itu pada 1982 segenap warga mengajukan tuntutan ke Pengadilan Negeri Ujungpandang, tapi kalah. Tahun 1984 mereka mencoba lagi mengajukan tuntutan dengan menyertakan beberapa dokumen baru. Lagi-lagi pengadilan tetap memenangkan Probosutedjo. "Pengadilan selalu tidak memihak kepada kami. Mungkin karena kami cuma rakyat biasa," keluh Rustam.

Beralihnya lahan itu ke pihak lain setelah Jepang kalah dari pasukan Sekutu pada Perang Dunia II, 1942, tanah itu lalu dikuasai kembali oleh Belanda yang membonceng pasukan Sekutu (Netherlands Indies Civil Administration atau NICA). Tanah itu kemudian digunakan sebagai lahan pemakaman tentara Sekutu. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, 1949, Sekutu (Belanda) meninggalkan negara-negara bagian (federal) di Indonesia Timur, termasuk Ujungpandang. Lantas, tanah yang ditinggalkan Belanda itu dikuasai negara di bawah UU Nasionalisasi. Setelah dinasionalisasi, Tentara Nasional Indonesia – atas nama Komando Daerah Militer XIV Hasanuddin (sekarang Kodam VII Wirabuana) – mengambil alih tanah itu. Alasannya, status tanah yang ditinggalkan itu adalah tanah angkatan perang Sekutu.

Menurut Brigjen (Purn.) Bachtiar, mantan Asisten IV Komando Daerah Militer (Kodam) XIV Hasanuddin, tidak ada cacat hukum dalam kepemilikan lahan yang ditempati PT Garmak Motor itu. "Kalaupun mereka mengklaim, mengapa bukan dari dulu," ujarnya.

Penjualan tanah itu berlangsung ketika ia sedang mengikuti pendidikan Sekolah Staf TNI-AD di Bandung dan transaksi berlangsung mulus tanpa ada protes dari warga. Waktu itu panglima Kodam XIV Hasanuddin dijabat Mayjen TNI Hasan Slamet. "Ketika itu mereka tidak menyampaikan secara resmi kepada kami bahwa tanah yang ditempati Angkatan Darat itu adalah milik mereka," paparnya.

Pada pertengahan 1970-an, Menteri Perindustrian (kala itu) Jenderal (Purn.) M. Jusuf menganjurkan agar di Makassar didirikan pabrik perakitan mobil. Pemda setempat menyanggupi anjuran tersebut dan memilih lokasi bekas pekuburan tentara Sekutu itu sebagai lokasi pertama pabrik perakitan mobil itu. Luas lahan yang tersedia hanya sekitar 1,93 hektar. Pemda Gowa – waktu itu daerahnya mencakup kawasan Panaikang atau Jalan Urip Sumohardjo -- menawarkan agar tanah untuk perluasan pekuburan Kristen sekitar 0,95 hektar itu turut dijadikan lokasi pabrik perakitan, sehingga luas pabrik menjadi 2,88 hektar.

Atas penyediaan lahan itu pemerintah setempat dinyatakan sebagai salah satu pemilik saham pabrik perakitan mobil yang kemudian dinamai PT Makassar Motor. Selain Pemda Gowa, sebanyak 51 lembar saham juga dimiliki oleh Mayjen TNI Azis Bustam dan Mayjen TNI Hasan Slamet -- keduanya mantan Panglima Daerah Militer -- Brigjen TNI Bachtiar, dan Mohammad Syah, mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Korps Hasanuddin.

Dalam perkembangan berikutnya, ketika Kodam XIV Hasanuddin membangun Taman Makam Pahlawan (TMP) Panaikang, bagian depan lahan itu terpaksa diambil untuk tempat parkir karena letaknya berhadapan dengan TMP, sehingga tanah pabrik perakitan itu menciut menjadi 2,85 hektar. Luas lahan ini terus bertahan hingga sekarang.

Nyatanya PT Makassar Motor tak dapat menjalankan roda operasinya dengan baik. Perusahaan itu lalu dijual kepada pemodal yang berminat, Probosutedjo, yang sejak semula memang mencari lahan untuk pabrik perakitan mobilnya.

Untuk menjual tanah di atas lahan pabrik ini, pihak Kodam mendirikan Yayasan Lontara -- Bachtiar Hasanuddin menjadi komisaris utama. Jauh sebelum itu Probosutedjo memang hendak membangun pabrik perakitan mobil merek Chevrolet. Penandatanganan akta jual beli saham itu dilakukan di hadapan notaris R. Soerodjo Wongsowidjojo, 26 Juli 1976. Oleh Probosutedjo nama perusahaan itu diubah menjadi PT Garmak Motor, yang digunakan sampai sekarang.

Menurut kuasa hukumnya, seharusnya yang warga tuntut adalah pemilik lama, yakni Pemda Gowa dan Kodam XIV Hasanuddin. Berdasarkan pengukuran dan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) tertanggal 18 Agustus 1973 Nomor 763 dan sertifikat HGB Nomor 1814/1994, luas lahan PT Garmak Motor hanya 28.516 meter persegi. Jadi, kalau warga menuntut 3,6 hektar, katanya, itu juga tuntutan yang keliru.

Jadi kuasa hukum PT Garmak Motor ini menduga para warga sebenarnya hendak berspekulasi tentang tanah itu. Karena sekarang dianggap sebagai era reformasi dan Probosutedjo adalah keluarga dekat Soeharto, tanah itu lalu dijadikan sasaran tuntutan.

Sebagai tanggung jawab moral, Kodam Wirabuana menggagas pertemuan antara warga dan pihak terkait di Hotel Kenari, pertengahan Oktober 1998. Hasilnya jalan buntu dan warga kembali menduduki PT Garmak Motor.

(Maqbul Halim adalah reporter tabloid Pancasila, Ujungpandang, dan peserta Program Beasiswa untuk Wartawan LP3Y-LPDS-ISAI)
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim